Saturday, October 31, 2015

KIAMAT




Aku berjalan membuntutinya. Ayu, wanita yang dipilihkan untuk menemaniku bernyanyi-nyanyi ria. Kami berjalan menyisir lorong temaram yang diapit kamar berderet-deret di kanan-kirinya. Genderang musik, riuh tawa, dentang gelas semakin sayup terdengar di belakang. Gerah, entah karena alkohol yang menguap dari dalam perutku atau memang lembabnya udara di sepanjang lorong. Kami berhenti di depan sebuah pintu. Ayu menengok dan mengangguk kecil padaku. Setelah memutar kunci, dengan dorongan yang lemah pintu itu terbuka, Ayu masuk duluan.

Berdebar. Aku menoleh menyusuri lorong yang barusan kami lewati, seolah ingin memastikan tidak ada orang lain yang menguntit. Kosong. Aku menoleh ke sisi lorong lainnya, mengamati sampai mana lorong ini berujung. Sepi.

“Mas ?,” Ayu memanggil dari dalam. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu masuk.

Yang memanggil kulihat sudah merebahkan diri di atas kasur yang telanjang tak beranjang. Kasur itu hanya sebadan, hampir tidak ada celah bagiku untuk ikut berbaring. Aku pun bersila di atas lantai semen berlapis karpet plastik tipis. Adem.

Sadar telah lalai, Ayu bergeser merapatkan badannya ke dinding. Tangannya menepuk-nepuk lemah bagian kasur yang tersisa. Aku hanya mesam-mesem. Ia mengernyitkan kening. Ditepuk-tepuknya lagi kasur itu, aku masih mesam-mesem. Ia menatapku dalam-dalam, mungkin mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang aku inginkan. Kemudian ia tersenyum seakan telah menemukan jawabannya. Tanpa benar-benar bertanya, ia mengangkat badan sampai terduduk dan langsung melucuti pakaiannya, luar maupun dalam, semuanya. Segala pakaian itu melambung, masuk ke sebuah keranjang yang ada di seberang kakinya. Polos. Ia kembali menepuk-nepuk kasur. Rahangku mengeras, mata terbelalak, namun aku tetap bergeming. Ayu mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian, kami hanya saling bertatapan. Aku gelisah, Ayu tersenyum. Mungkin ia merasa telah mendapatkan jawaban lainnya. Tanpa berkata-kata, ia bangkit. Berjalan melintasiku menuju sebuah pintu lain di kamar ini. Kepalaku memutar mengikutinya. Ia cabut selembar handuk yang menggantung di pintu, menengok sebentar kepadaku, melempar senyum kemudian menghilang ke balik pintu. Terdengarlah suara gayung.

Sendirian. Mataku mengitari seluruh kamar yang hanya berdinding lembaran papan kayu. Asal menempel telinga di papan itu, aku yakin sudah cukup kuat untuk menyerap hembusan napas tetangga sebelah. Malah jika cukup keras, serba suara dari sebelah bisa hinggap sendiri ke telinga. Aku mendongak ke atas, menatap lampu bohlam yang sesekali mengerjap-kerjap, mengkhawatirkan. Semilir angin menyusup, sejuk. Kulihat ia datang dari celah di atas pintu setinggi kira-kira satu jengkal. Celah yang cukup sulit digapai jika orang hanya berjinjit. Tetapi tetap saja cukup mencemaskan bagiku. Beralih ke kasur yang meninggalkan tapak tubuh Ayu, aku menelan ludah. Tapi kemudian aku jadi penasaran kenapa seprai kasur itu terkesan muram; karena cahaya bohlam yang kurang ? atau karena sekedar sudah terlalu sering dicuci ? atau pengaruh hawa alkohol yang sudah menguap di mataku saja ?.

“Ikut sekalian mandi, Mas ?,” Ayu tiba-tiba muncul di lawang pintu kamar mandi yang terbuka lebar-lebar. Aku terkesiap yang berubah dengan cepat menjadi terpana.

Tajam aku memandanginya. Aku bisa melihat setitik air di puncak kepala Ayu yang jatuh bergulir dengan khidmatnya, dari rambut ke dahi, pipi, dagu, leher, bahu terus mengikuti alur lekuk tubuhnya sampai ke ujung jari kaki.

“Mas ?,” Ayu menunggu jawaban. Aku menengadah dan mesam-mesem.
Keheranan, Ayu lantas kembali menutup pintu kamar mandi. 

Mataku masih terpaku pada pintu itu, sedang pikiranku merambah ke baliknya. Sampai tiba-tiba terdengar suara derap-derap langkah dari luar. Seketika, aku berpaling ke arah pintu kamar. Langkah itu terdengar menjauh, lemah dan hilang. Aku tertegun, menunggu. Kudengar lagi suara derap-derap langkah, kali ini lebih cepat seperti orang berlari-lari kecil. Kuikuti suara itu sampai lenyap. Lama kutunggu, tak ada suara lagi. Baru saja hendak memalingkan muka, kudengar suara derap yang lain. Langkah yang pelan tapi ramai. Aku menebak ada lebih dari dua pasang kaki di luar sana. Baru aku menyadari bahwa tempo detak jantungku mengikuti setiap bunyi derap yang masuk ke kuping. Semakin dekat semakin berdegup, begitu terasa mencengkeram ketika langkah itu tepat berada di depan pintu, melandai seiring langkah menjauh. Aku meniup napas panjang-panjang.

“Lihat apa sih ?,” tahu-tahu Ayu sudah berjongkok persis di belakangku. Darahku mendidih. Aku berputar, ia sudah berpindah ke atas kasur.
 
“Sekarang ?,” tanya Ayu.
Aku menegang. Ia duduk menyandar dinding, rambut basah menjuntai menutup dada, tangan terkulai, kaki terjulur sampai kedua tumitnya bertumpu pada pahaku. Wajahku memanas.

“Ayo…,” ajaknya dengan lembut. 
Napasku tak beraturan.

“Mas ?”
Aku mesam-mesem.

“Mau enggak nih ?,” Ayu menyibak rambut yang menutupi gundukan dadanya.
Aku tersenyum dalam tekanan.

Dari dalam perut, aku merasa ada sesuatu yang mendesak. Bergelombang, mendorong-dorong, menusuk dada. Tersangkut di kerongkongan. Dan termuntahlah :
“Saya mandi dulu ya ?,” sebaris kalimat yang aku sendiri tak tahu datang dari mana dan bagaimana bisa aku mengucapkannya.

Ayu terkikik dalam sikap tak habis pikir; kepala menunduk dengan tangan menopang dahi sembari geleng-geleng. Bahunya naik-turun seirama tawa. Tanpa menunggu persetujuannya, aku mencoba berdiri. Anggun kuangkat kedua tumit Ayu menjauh dari pahaku. Seseret demi seseret aku menuju pintu kamar mandi. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke belakang.

“Di dalam tak ada gantungan,” cegah Ayu. Aku berhenti dan berusaha untuk tetap memunggunginya.

“Gantung saja di situ,” lanjutnya. Kali ini aku terpaksa berbalik untuk mencari ke mana jari Ayu menunjuk. Aku maju tiga langkah, mendekati sebuah gantungan yang bertengger di atas keranjang tempat pakaian Ayu tadi mendarat.

Lamban aku menarik kaos. Aku tak tahu pasti mana yang menyebabkan gerakanku sampai jadi terbata-bata seperti ini; apakah ragu atau malu. Kaos lepas, kugantung. Lamban kudorong celana jins. Aku menahan pandanganku pada gantungan demi tidak bersitatap dengan Ayu yang kusadari betul tengah mengamatiku lekat-lekat dari samping. Celana lepas, kugantung. Ayu terkikik, bergegas aku masuk kamar mandi. Menemukan sebatang paku menonjol di dinding kamar mandi, aku ingat ada yang tertinggal. Akupun membuka lagi pintu sebatas cukup untuk kepala ini menjulur ke luar. Kikuk. Aku dapati Ayu masih terkikik. Nampaknya dia langsung paham apa yang kucari. Dilemparnya handuk yang tergeletak tak jauh dari kasur ke arahku. Sigap, kusanggap dengan sebelah tangan dan cepat aku menarik diri kembali ke dalam kamar mandi.

Beberapa saat hanya kupandangi saja handuk yang melebar di pangkuanku itu. Selembar handuk yang sama digunakan Ayu untuk menyusuti tubuh basahnya. Hidungku bertanya-tanya apakah ada sesuatu aroma yang membekas di situ. Ah tidak ! Ini keterlaluan !, otakku menyergah. Hidung menyerah dan kutinggal handuk itu bergantung.

Kubuka keran air sampai penuh. Air deras meluncur ke dalam tong plastik warna biru yang isinya tinggal separuh. Suara air bergema dua kali, di dinding tong dan di dinding kamar mandi. Gemuruhnya cukup memenuhi seruangan kamar mandi yang lebarnya hanya setengah rentangan tangan lebih sedikit. Kurogoh tong plastik dan menarik ke luar sebuah gayung.

Gamang. Kutilik-tilik gayung itu sambil memikirkan apa sebenarnya yang akan kulakukan. Mau mandi, tak ada niatan mandi. Mau tak jadi, sudah terlanjur di kamar mandi. Jadi mandi, terus mau apa setelah mandi ?.

Bingung. Namun tetap kuayunkan juga gayung itu. Menumpahkan air ke badan dengan hampa.

Byuuur…
Byuuur…
Byuuur…
Begitu saja.

Aku berhentipun, begitu saja. Ada yang buat tak nyaman. Kulempar gayung itu ke dalam tong. Dia terombang-ambing, bentur sana-bentur sini, berputar mengitari cucuran air dari keran yang menderas. Resah. Kuperhatikan air keran yang memancar kuat, sambil mengatur napas. Berkali-kali aku menyeka air di wajah yang bercucuran dari ujung-ujung rambut. Keran kumatikan. Si gayung masih berputar, namun dengan lebih tenang sampai akhirnya berhenti sama sekali. Hening.

Handuk menyusur dari rambut, muka, telinga, leher sampai ke setiap sela. Handuk sama yang dipakai Ayu, otakku mengingatkan. Kulitku tiba-tiba menghangat. Menghanduki badan rasanya tak pernah semenghayati ini. Merasa cukup kering, kusarungkan handuk, dengan jemari kusisir ke belakang rambutku. Kuatur napas benar-benar dan pintu kubuka. Mantap.

Aku disambut oleh sebuah sinar yang menyorot wajahku. Kesilauan, serta merta aku mengangkat tangan kanan untuk melindungi mata. Aku mencoba mengintip dari bawah punggung telapak tangan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku melihat beberapa sosok tengah berdiri menghadang, ada yang tak beres. Seseorang dari mereka berjalan menghampiri, aku hendak mundur dari bibir pintu kamar mandi tetapi cepat ia meraih tanganku yang sedang menghalau cahaya dan menariknya dengan kasar. Aku keluar kamar mandi dengan terhuyung. Hampir saja melorot sarung handukku, cekatan tangan kiri menggapai pinggang, menahan lipatan handuk. Sinar itu kini langsung menerpa wajah, aku membuang muka dengan mata terpecing. Tanganku terus ditarik. Sekilas aku melirik ke kasur, Ayu entah ke mana. Seseorang yang lain mendorong-dorong punggungku, sama kasarnya.

Aku dibawa ke luar kamar kemudian didorong agar berdiri tegak merapat ke dinding. Dalam kekagetan yang belum reda, aku menurut dengan tangan kiri tetap memegang lipatan handuk di pinggang, erat-erat. Sorot sinar berlalu. Aku mengedip-kedipkan mata, mencoba mendapatkan kembali fokus penglihatan. Perlahan sosok di hadapanku mulai hadir dalam garis yang tegas. Seorang pria berwajah menantang, menentang mataku. Mulutnya membuka-tutup dengan cepat, sepertinya ia sedang berbicara atau mungkin lebih dari itu, berteriak-teriak kepadaku. Entahlah, aku tak dapat mendengar suaranya. Sekali, dua kali, tiga kali ia menampar-nampar pipiku, mencoba mendapatkan perhatian dariku yang terbengong-bengong. Ruh-ku belum hadir seutuhnya, sebagian masih lari dan bersembunyi saking kagetnya.

Linglung. Yang kudengar hanya lorong ini yang menjadi gaduh. Sangat gaduh. Aku menoleh ke kanan. Seorang laki-laki paruh baya tengah ditarik paksa oleh dua pria yang lebih muda untuk keluar dari kamar. Seorang wanita terlihat sedang beradu mulut dengan tiga lelaki yang mengerumuninya. Aku tak bisa menangkap apa yang terlontar dari mulut wanita itu, tapi dari ekspresinya yang memancarkan kemarahan, sudah kupastikan itu adalah umpatan. Aku menoleh ke kiri. Seorang perempuan sedang berjongkok, menangis sesenggukan. Dibantu agar berdiri oleh pria di hadapannya, perempuan itu menolak. Ada juga seorang lelaki yang menarik kerah jaketnya tinggi-tinggi sampai menutupi muka. Seseorang di sampingnya mencoba menarik-narik ke bawah jaket lelaki itu, mungkin supaya kamera yang menodong persis di depan muka si lelaki dapat menembak dengan jelas seperti apa rupanya. Kamera dengan sorot lampunya yang menyilaukan itu.

Sontak pilar-pilar dunia rubuh di hadapanku…

No comments:

Post a Comment