Tuesday, November 17, 2009

TERJEBAK

TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Jon terjaga dari lelap. Ketukan pada pintu itu bagai petasan yang meledak di telinga. Setiap ketukan yang didengar membuat Jon tersentak kaget. Dengan cepat Jon bangkit, mengambil sikap duduk. Jon melihat ke arah pintu, tiba-tiba saja dalam pandangannya, pintu itu berubah menjadi sebuah mulut besar dengan deretan gigi-gigi tajam yang siap melahapnya. Nyali Jon menciut. Jon terdiam, serangan kecemasan membuatnya tak bisa berpikir jernih. Keringat dingin mulai mengalir. Jon panik. Ia tak tahu mesti berbuat apa.
Adapun Jen, sama sekali tidak tergubris, ia masih tidur, memunggungi Jon.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Bergegas Jon membangunkan Jen. Ia menggoncang-goncang tubuh Jen. Perlahan mata Jen membuka. Ia balik badan menghadap Jon. Jen kebingungan melihat raut wajah Jon yang panik. Mulutnya hendak bertanya ; “Ada apa Jon ?”, tapi Jon meletakkan telunjuknya di depan mulut, menyuruhnya diam. Jon mengangkat tubuh Jen sehingga ia terduduk. Telinga Jen mulai menangkap bunyi ketukan. Jen melirik pintu kamar. Lalu pandangannya beralih pada Jon. Jon menganggukkan kepalanya dengan yakin. Seketika Jen langsung meringis ketakutan.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Keduanya masih duduk diam di atas kasur. Jen menggigit bibirnya sendiri, menahan luapan kecemasan. Jon menggigiti kuku-kukunya, mencoba mengurangi ketegangan. Ketukan belum berhenti. Bagi Jon dan Jen, suasana kamar ini menjadi sangat mencekam.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Bagaimana ini ?”, tanya Jen dengan berbisik.
“Aku tak tahu Jen !”, jawab Jon, berbisik pula.
“Sudah, kita diam saja terus, supaya orang di luar itu mengira kamar ini kosong !”, usul Jen.
“Tidak mungkin, sandalmu ada di luar kamar, orang pasti tahu ada orang di kamarku ini !”, kata Jon.
“Dasar bodoh kau ! ditaruh di mana otakmu itu ? Sudah kubilang, masukkan sandalku itu ke dalam kamar !”, Jen marah.
Jon menundukkan kepala. Ia menyesal karena tidak mematuhi titah Jen. Habis, tadi itu kostan sedang sepi-sepinya. Jon merasa bebas, tidak ada yang melihat ia membawa Jen masuk ke kamar. Jadi ia merasa tak perlu sampai memasukkan sandal Jen ke dalam kamar.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Biarkan saja orang itu, nanti juga ia pergi sendiri !”, kata Jen.
“Iya, orang itu akan pergi dan kemudian kembali dengan kapak dan palu di tangan untuk menjebol pintu kamar ini !”, ujar Jon.
“Tidak mungkin, orang itu pasti gila kalau sampai nekad berbuat demikian”
“Bapak Kost memang gila, Jen !”
“Bapak Kost ?…jadi orang di luar itu…”
“Aku sempat mendengar batuknya, tak salah lagi…itu Bapak Kost !”
Jen termangu. Pikirannya membayangkan, bagaimana jadinya kelak kalau Bapak Kost berhasil masuk ke kamar ini. Malunya akan terasa begitu dahsyat. Kalau ketahuan oleh sesama tetangga kostan sih Jen tidak terlalu bermasalah. Mereka pasti mau mengerti karena toh mereka juga sama bejatnya.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Aku punya ide !”, kata Jon.
“Bagaimana ?”
“Pakai baju kita secepatnya, buat serapi mungkin, aku pergi membuka pintu dan kita berlagak seperti tidak ada kejadian apa-apa”
“Kalau Bapak Kost curiga ?”
“Bilang saja kita sedang mengerjakan tugas kelompok !”
“Berduaan, laki-perempuan, di kamar yang remang-remang dan terkunci serta telah berada di dalamnya selama berjam-jam, logiskah itu ?”
“Tapi…..”
“Cari alasan lain yang logis, Jon !”, potong Jen.
Jen menggigit bibirnya lebih keras lagi. Ia tak bisa memikirkan jalan pemecahan masalah ini. Otaknya mendadak buntu. Jon menggaruk-garuk kepalanya. Ia mencoba mencari solusi lain yang lebih masuk akal untuk dilakukan.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Jen menarik diri, ia berlindung di balik punggung Jon. Seolah mengatakan ; “Kau laki-laki, hadapilah masalah ini !”. Jon ikut menarik badan, mensejajarkan kembali posisinya dengan Jen. Seakan Jon menjawab ; “Tidak, kita akan hadapi bersama, Jen !”. Jon dan Jen bertatapan, dua mata yang memancarkan sinar ketakutan saling beradu.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Sudah Jon, temui sajalah Bapak Kost itu, kau kan anak kost-nya !”
“Kau gila Jen ! aku pasti diusir !”
“So… apa masalahnya ? tempat buat tidur ? kamu bisa nginep di kostan si Dedi, Rudi, Toni…”
“Bagaimana dengan orang tuaku ?”, sela Jon.
“Ada apa dengan orang tuamu ?, mereka tak akan tahu masalah ini !. Hei Jon, sadarlah, orang tuamu ada di pulau seberang sana !”
“Secara rutin mereka menelepon ke Bapak Kost, menanyakan kabarku, bahkan tak disangka-sangka mereka kadang suka bertandang juga ke sini. Baru tiga bulan yang lalu, ayahku datang !”
“Ah, matilah kau Jon !”
Jikalau kejadian ini sampai diketahui oleh orang tuanya. Jon tak bisa membayangkan betapa hancurnya hati bunda dan ayah. Betapa marahnya mereka mempunyai anak semacam Jon. Betapa sedihnya mereka telah dilukai anak yang jadi harapan keluarga. Betapa malunya mereka di depan Bapak Kost, di depan kerabat-kerabat, di depan warga sekampung.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Berbuatlah sesuatu Jon ! ini kan kamarmu !”, Jen memberi perintah.
“Ya ini memang kamarku, tapi ada kau di sini !”, kata Jon sambil mengarahkan telunjuknya tepat ke depan hidung Jen.
“Memangnya kenapa bila ada aku di sini ?”, Jen bertanya, ditepisnya telunjuk Jon.
“Malu Jen ! lihat telah berbuat apa kita di kamar ini ?”, Jon hampir saja terlalu mengeraskan suaranya.
“Ah, buat apa malu segala ?”
“Apa maksudmu Jen ?”
“Zaman sudah berganti, Jon. Bukan hanya diri kita yang berbuat begini. Teman-temanku juga melakukan hal yang sama. Jangan-jangan tetangga-tetangga kostmu pun pernah bahkan sering melakukannya. Malah siapa tahu anak Bapak kost juga. Ini memang zamannya, Jon. Tak usahlah malu. Ini wajar !”, jelas Jen.
“Hentikan ucapanmu itu, Jen !. Kalau begitu, kalau kau memang tak malu, kau saja yang membuka pintu !”, bentak Jon.
Jen tak menanggapi. Malu ?. Tadi, hal ini secuilpun tak terpikirkan, seakan lenyap. Rasa ini tertutup bisingnya bujuk rayu dari Jon. Terhalangi sosok tubuh Jon. Terhapus oleh hembusan napas Jon. Baru sekarang perasaan ini sangat terasa keberadaannya.
Jon menunggu tanggapan selanjutnya dari Jen. Jon terkejut, perkataan pacarnya itu menyiratkan bahwa ia telah kehilangan rasa malu. Malu ?. Mengapa kata ini begitu mudah diucapkannya sekarang ?. Sebelumnya, ada banyak alasan yang membuat mulut Jon terasa berat untuk sekedar mengatakan malu. Ketika itu mulut Jon hanya mampu berkata-kata rayuan gombal.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Kalau saja kau tidak duluan memancingku”, kata Jon.
“Apa ?”
“Ya, kau duluan yang menciumku !”, tegas Jon.
“Tapi kau yang minta !”, bantah Jen.
“Aku hanya minta cium di pipi, bukan melumat bibirku !”, Jon tak mau kalah.
“Kau Jon, tanganmu yang menggerakkan kepalaku, kau yang mengarahkan bibirku !”
“Oke, tapi kan kau yang pertama melepas pakaian !”
“Lalu bagaimana dengan tanganmu yang meraba-raba ? aku lepas pakaian karena tanganmu itu terus berusaha meraba ke balik baju !”
“Kau bahkan merobek-robek pakaianku !”
“Baiklah Jon, tapi setidaknya bukan aku yang meminta duluan, ya kan ?”, tanya Jen, sinis.
“Lalu kenapa kau malah mau ?”, Jon balik tanya.
“Huh… aku sempat menolak, kau yang memaksa, pembuktian cinta katamu waktu itu !”, Jen berkilah.
“Memaksa ? ah persetan dengan semua itu !”
Jon memalingkan mukanya dari Jen. Penyesalan selalu datang di akhir. Jon tahu, menyalahkan Jen tetap tidak bisa mengatasi masalahnya. Jon hanya mencari-cari alasan agar ada semacam pembenaran atas tindakannya.
Jen balas memalingkan muka. Bagaimanapun ia tak mau jadi yang tersalahkan. Jen lebih senang, kalau Jon mengakui perbuatan ini sebagai kesalahan bersama. Meskipun jauh dalam lubuk hatinya, Jen tetap mengatakan Jonlah yang paling bersalah karena dia biang keladinya.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Ayolah Jon, kita sudahi saja perkara ini, buka pintu dan hadapi Bapak Kost itu !”, Jen gemas.
“Kalau mau menyudahinya, kenapa tidak kau saja yang menghadap Bapak Kost ?”
“Buktikan cintamu Jon ! kau memintaku berbuat seperti ini dengan alasan pembuktian cinta. Sekarang aku minta buktikan cintamu, selesaikan masalah ini secepatnya, demi aku, lindungi aku !”
“Ah, bukti cinta tahi kucing !”, umpat Jon.
“Dasar buaya, kamu gunakan kata-kata itu hanya untuk merayu diriku !”
“Salah kau sendiri hai buaya betina, kenapa percaya dengan ucapanku ?”
Jen ingin menangis sekencang-kencangnya. Menumpahkan ketegangan, ketakutan, yang ia hadapi saat ini. Meminta bantuan pada siapapun yang bisa menolongnya keluar dari masalah ini. Jen tahan keinginan itu, walau air mata sudah mengisi sudut-sudut matanya.
Jon tak habis pikir, kenapa pacarnya jadi egois seperti itu. Mengorbankannya untuk melindungi dirinya sendiri. Ini bukan perkara, Jon seorang lelaki dan Jen perempuan, sehingga Jon lebih pantas yang menghadapinya. Perkara ini adalah perkara yang harus diselesaikan bersama.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
“Jon !”, seru Jen.
“Apa ?”
“Gimana dong ?”, Jen sedikit merengek.
“Diam dan berdoa saja kepada Tuhan. Mohon pertolongan dari-Nya !”
“Gila kau Jon. Berdoa kau bilang ?”
“Ya, apa aku salah ?”
“Tidak tahu diri kau !. Dalam keadaan berdosa seperti ini kau suruh aku berdoa ?”
“Dosa ? katakan itu tadi Jen ! jauh sebelum kita seperti sekarang ini !”
Jon membenamkan kepalanya ke antara dua lutut. Sejenak Jon merenungi dosa yang baru saja ia perbuat bersama Jen. Jen menutup wajahnya dengan kedua tangan. Malu pada Tuhan. Jen menyesal, sesal yang mendalam, sudah tahu perbuatan ini dosa, kok masih saja ia berani labrak.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Air mata Jen jatuh tak terbendung. Jen sekuat mungkin menahan suara tangisnya hingga terdengar seperti suara orang yang tercekik. Jon merangkul Jen dengan sebelah tangan. Serta merta Jen menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Jon. Tangan Jon yang satunya lagi mengusap-usap kepala Jen, memberinya ketenangan.
TOK ! TOK ! TOK !, pintu diketuk berkali-kali.
Bunyi ketukan semakin kencang. Iramanya terdengar bagai genderang perang, sangat memacu adrenalin. Lama kelamaan Bapak Kost mungkin tidak lagi mengetuk, ia akan meninju atau menendang-nendang pintunya. Jon menarik napas panjang, mengumpulkan keberaniannya. Ia sudah putuskan untuk maju, membuka pintu dan menemui Bapak Kost. Ketegangan memuncak. Jen tetap dalam posisinya sambil terus menggigit bibirnya sampai berdarah.
Jon berdiri. Ia ambil handuk yang tergantung. Dijadikannya handuk itu sebagai sarung. Tangannya mulai memegang kunci pintu. Sebelum memutarnya, Jon ambil napas panjang sekali lagi dan menghembuskannya sedikit demi sedikit. Kunci berputar dua kali ke arah kanan. Jon lalu menekan ke bawah gagang pintu dan menariknya ke dalam.
“Jon tunggu, jangan dulu dibuka, aku belum berpakaian !”, pekik Jen.
Pintu terbuka lebar. Sesosok manusia langsung nampak di depan mata. Menghalangi jalannya sinar matahari sore yang masuk ke dalam kamar. Bapak Kost berdiri dengan tegap dan memasang wajah bengis. Jon tak kuasa menatap muka Bapak Kost, ia menunduk. Di dalam kamar, Jen berlindung di balik selimut.

No comments:

Post a Comment