Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Saturday, October 31, 2015

KIAMAT




Aku berjalan membuntutinya. Ayu, wanita yang dipilihkan untuk menemaniku bernyanyi-nyanyi ria. Kami berjalan menyisir lorong temaram yang diapit kamar berderet-deret di kanan-kirinya. Genderang musik, riuh tawa, dentang gelas semakin sayup terdengar di belakang. Gerah, entah karena alkohol yang menguap dari dalam perutku atau memang lembabnya udara di sepanjang lorong. Kami berhenti di depan sebuah pintu. Ayu menengok dan mengangguk kecil padaku. Setelah memutar kunci, dengan dorongan yang lemah pintu itu terbuka, Ayu masuk duluan.

Berdebar. Aku menoleh menyusuri lorong yang barusan kami lewati, seolah ingin memastikan tidak ada orang lain yang menguntit. Kosong. Aku menoleh ke sisi lorong lainnya, mengamati sampai mana lorong ini berujung. Sepi.

“Mas ?,” Ayu memanggil dari dalam. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu masuk.

Saturday, December 3, 2011

SEBUAH AKHIR DI SANGKURIANG



Sabtu malam, lewat pukul sembilan. Terminal Leuwi Panjang masih menyisakan satu bus terakhir menuju Sukabumi. Bus belum bergerak sama sekali, tertahan kursi-kursi penumpang yang masih kosong di sana-sini. Sesekali Pak Supir menengok ke belakang atau hanya melihat melalui kaca dalam, berharap ada tambahan muatan yang naik dari pintu belakang. Percuma karena yang ia lihat hanya wajah-wajah kesal menunggu dari para penumpang.

Hasan duduk merapat ke dinding bus, menatap ke luar jendela, berharap pemandangan di depannya segera bergerak. Malam ini, ia dan penumpang lainnya terpaksa mengalah dari Pak Supir. Mau bagaimana lagi ? Ini bus terakhir, menunggu selama apapun, Pak Supir yakin benar tidak akan ada penumpang yang “sok protes”; mengancam akan pindah ke bus lain saja kalau bus tidak maju-maju. Mau bagaimana lagi ? Ini bus satu-satunya, parkir selama apapun, Pak Supir tidak akan mendapat teguran lewat pengeras suara dari pihak pengelola terminal karena membuat antrian panjang bus-bus lain yang akan masuk terminal.

Saturday, February 19, 2011

MAJALAH ALITA


Ternganga mulut Bapak Kepsek menahan ketidakpercayaan atas apa yang ia baca sekarang. Dua lembar terakhir edisi perdana majalah sekolah yang awalnya akan berisi artikel tentang profil dirinya, kini malah penuh dengan tulisan-tulisan tak keruan. Di hadapan Pak Kepsek, Ketua OSIS beserta Pemimpin Redaksi majalah, duduk dengan menundukkan kepala, malu sekaligus takut.
            “Siapa yang melakukannya ?”, Kepala sekolah bertanya dengan penuh amarah.
            “Andik Pak”, jawab Pemred, gemetaran.
            “Siapa ?”
“Anak kelas XI-1 Pak”, kini Ketua OSIS yang menyahut, gemetaran juga.
“Siapa ?”
“Penanggung jawab soal pencetakan majalah Pak”, Pemred lagi yang menjawab, masih gemetaran.
“Kok bisa ?”
“Format akhir yang kita kasih kepada Andik pada mulanya sudah sesuai rencana. Tidak tahunya sebelum dicetak, Andik mengganti isi dua lembar terakhir majalah dengan…”, saking gemetarnya, penjelasan Ketua OSIS sampai terputus.
“Kok bisa ?”
“Tanpa sepengetahuan kami Pak, luput”, Pemred memberi alasan, belum berhenti gemetaran.
“Kok bisa ?”
            Sebelum keduanya atau salah satunya hendak menjawab, masuk ke ruang kerja Kepala Sekolah, Kepala Depkominfo OSIS beserta dua orang stafnya.
            “Simpan di mana Pak ?”, tanya Kepala Departemen, tangannya memangku tumpukan 100 eksemplar majalah sekolah yang langsung ditarik dari peredaran hanya selang satu jam setelah resmi diterbitkan. Termasuk yang ikut ditarik ialah majalah yang sudah sempat dibeli oleh para siswa. Dua orang stafnya masing-masing membawa 100 eksemplar lainnya.
            “Di situ saja. Sudah semuanya kalian ambil ?”
            “Jumlah total 299”, jawab Kepala Departemen.
            “Harusnya ?”
            “300 Pak”
            “Satu lagi ke mana ?”
            “Tidak ditemukan, sepertinya dipegang pelaku Pak”
            Menyusul masuk ruangan Ketua organisasi ekstrakulikuler PKS (Patroli Keamanan Sekolah). Kedatangan Ketua PKS langsung disambut Pak Kepsek dengan pertanyaan.
            “Mana si Andiknya ?”
            “Tidak ada Pak !”, jawabnya dengan tegas, namun dalam hati tetap saja sebetulnya dia juga gemetar ketakutan.
            “Sembunyi di WC barang kali ?”
            “Sudah saya berikut anggota inspeksi ke segala tempat, negatif Pak, tersangka kabur”
            “Alita ?”
            “Nampaknya ikut bersama tersangka Pak, mereka berdua hilang seketika”
            Bapak Kepsek menepak-nepak dahi, kacau pikirannya. Sudah profil dirinya gagal dimuat, secara finansial sekolah juga merugi karena masalah ini.
            “Sobek dua lembar terakhir yang konyol itu ! Lalu pasarkan kembali majalah, jual setengah harga saja !”, perintah Pak Kepsek yang segera dilakukan oleh para wakil siswa yang ada di situ.
            “Apa sama sekali tidak ada kabar positif ?”, tanya Pak Kepsek dengan lemas, seolah tenaganya sudah terkuras karena soal majalah ini.
            “Ada Pak !”, sambut Ketua PKS dengan sigap.
            “Apa ?”
            “Akibat dua lembar ini, menurut kabar yang merebak di kalangan siswa, sebelum sekarang Andik-Alita hilang entah ke mana, Alita akhirnya mau jadian sama Andik Pak !”, urai Ketua PKS secara tegas.
            Bapak Kepsek tidak berkata-kata, hanya saja mukanya memerah dan matanya melotot kesal pada Ketua PKS. Sadar bahwa ia telah memberikan pernyataan yang tidak signifikan terhadap perkembangan kasus ditambah membuat murka Kepsek semakin memuncak, saat itu juga Ketua PKS segera ngacir dari ruangan.

Saturday, February 5, 2011

BAPAK PULANG JAM BERAPA ?


“Kapan Bapak mau pulang?”
“Mmmh?”
“Pulang… kapan Bapak pulang ?”
“Oh, ini masih pagi Nak, biarkan Bapak renggangkan badan dulu, kemarin sangat melelahkan, nanti saja tunggu matahari naik lebih tinggi, baru Bapak pulang”
            Bapak datang kemarin pagi. Paman-paman dan bibi-bibiku yang memintanya untuk bertandang ke Bandung ini. Katanya mau menyelesaikan soal harta waris kakek yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Bukan karena harta tersebut terlalu banyak hingga butuh waktu berlarut-larut untuk membagikannya. Urusan memanjang lebih karena ego masing-masing anak.
Kujemput Bapak di terminal dan langsung mengantarkannya ke rumah salah satu pamanku. Lucu, sebelum masuk rumah paman, Bapak merogoh tas dan mengenakan dulu sebuah jam tangan perak di pergelangan kirinya (aku menyebutnya jam tangan sakti !). Satu-satunya jam tangan kebanggaan kakek yang diberikannya pada Bapak, si anak kesayangan. Bagi Bapak, jam tersebut menjadi semacam tanda legitimasi, dengan menggunakannya, secara tersirat Bapak mencoba mengatakan pada paman dan bibi; “Meski aku bungsu, kakak-kakak sebaiknya lebih mendengarkan perkataanku, sebab aku adalah anak emas ayah !”.
Aku tidak menemani Bapak di sana, sebab aku harus masuk kuliah. Rencana awal, sorenya, Bapak akan kujemput dan dibawa ke terminal untuk pulang ke Sukabumi. Aku ke rumah paman selepas Ashar dan kudapati rupanya debat harta waris itu belum selesai. Menjelang Isya, barulah tercapai kata mufakat. Bapak enggan pulang malam itu, lagi pula aku juga mencegahnya. Paman tawari untuk menginap di rumahnya, Bapak menolak. Ia beralasan ingin tidur bersamaku, di kosanku. Aku senang Bapak mau tidur di kosanku (karena kupikir tadinya Bapak akan lekas-lekas pulang keesokan paginya).
           

Tuesday, August 3, 2010

JEJAK CINTA


Di suatu malam pengantin yang paling ditunggu-tunggu oleh seorang manusia di dalam hidupnya. Pasangan pengantin baru itu masing-masing telah tanggal pakaian. Berbaring hadap-hadapan di atas ranjang yang elok dirupa-rupa. Saling lemparkan senyum, nuansa kehangatan mengisi ruangan. Aroma berahi merebak, sesakkan dada. Tiada gelap maupun remang, terang benderang saja, biar setiap momen dapat terlihat dengan jelas. Istri pandang lekat-lekat raga suaminya, begitupun suami melihat dengan teliti tubuh si istri. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Saturday, June 5, 2010

GILA (?)


            “Bikin malu !”, memerah muka Pak Dekan, seolah mendidih darah di bawah permukaan kulitnya.
            “Begini Pak…”, si pemuda mencoba beralasan.
            “Diam ! Ini sudah cukup menjelaskan semuanya !”, Pak Dekan memutusnya, sambil menodong-nodongkan selembar surat tepat ke depan wajah si pemuda.
            “Tapi Pak…”, si pemuda masih mencoba menyela.
            “Diam ! Saya bilang diam !”, lagi-lagi Pak Dekan memotong.
            Ada jeda beberapa menit. Mata Pak Dekan melotot, tak lepas dari si pemuda yang menundukkan kepala.

Friday, May 21, 2010

KATANYA

Diangkat Dari Kisah (Katanya) Nyata



              Melihat si Bapak Tua yang tiba-tiba berjalan pincang, warga seolah diingatkan pada kejadian bertahun-tahun yang lalu. Sebetulnya Bapak Tua tidak tiba-tba pincang. Memang sedari awal jalannya sudah timpang. Hanya saja kini terlihat semakin terpincang-pincang. Warga seperti yang tidak mau melihat hal ini dari kaca mata kewajaran. Ya bisa saja ini lebih karena usia si Bapak yang telah renta, kegagahan tubuh terus merosot dan maklum kiranya kalau ia berjalan tambah pincang. Tapi tidak, warga tidak mau menanggapinya dengan cara lazim seperti itu. Warga lebih senang menyangkut-pautkannya dengan peristiwa di masa lampau.
            Berawal dari jalan pincang yang dikaitkan dengan kejadian basi, kemudian melebar pada cerita-cerita miring lainnya. Tentang pengalaman warga per orang dengan si Bapak Tua. Warga saling bertukar pengalamannya. Semuanya bernada menjelek-jelekkan. Cerita-cerita itupun dijadikan pendukung untuk dugaan mereka tentang si Bapak Tua.
            Mengenai si Bapak Tua yang belakangan rajin datang ke Masjid untuk sembahyang Maghrib dan Isya berjamaah. Sama sekali tidak merubah pemikiran warga. Malah hal ini seakan memperkuat sangkaan mereka. “Tobat”, begitu warga mencap kelakuan ibadah si Bapak Tua. Bagaimana cara mereka mengucapkan kata “tobat” tersebut, sungguh tidak ada kesan mengangumi atau mensyukuri. Malah terdengar menyindir.
            Pembicaraan mengenai si Bapak Tua kembali menghangat. Hampir di setiap sudut kumpulan warga, yang dibicarakan itu terus; Bapak Tua lagi dan Bapak Tua lagi. Warga muda yang pada saat kejadian bertahun-tahun lalu belum lahir, menyimak dengan seksama setiap tuturan cerita orang tua-orang tua mereka.
            Bu Haji yang bersama kedua anak perempuannya mengajar mengaji pada anak-anak setiap sore di Masjid, mulai mengeluh pada Pak Haji, suaminya, yang merupakan ketua DKM. Dengan polosnya anak-anak sekarang sering bertanya pada Bu Haji tentang kebenaran cerita orang tua-orang tua mereka. Kalau jawaban Bu Haji terdengar mengambang di telinga anak-anak, seketika di teras Masjid itu terjadi perdebatan, antara sedikit anak yang mencoba berpikir jernih melawan banyak anak yang menelan bulat-bulat cerita orang tua. Menerima keluhan semacam itu, Pak Haji pun tidak memberikan usulan yang tegas. Sepertinya Pak Haji sendiri, sebagaimana Bu Haji dan kedua anaknya, punya rasa ragu. Apalagi Pak Haji menjadi salah satu saksi waktu kejadian di masa lalu tersebut.
            Pemuda-pemuda mahasiswa yang mengontrak di kamar-kamar milik Bapak Tua, lambat-lambat jadi tahu juga desas-desus tentang induk semang mereka. Cerita mengalir dari seorang pedagang bakso langganan para pemuda mahasiswa. Mulanya mereka merasa gengsi untuk percaya. Akan tetapi, perlahan-lahan benteng ilmiah dan empiris di otak mereka, akhirnya jebol juga. “Pantas setiap malam Jumat kucium bau kemenyan !”, komentar seorang mahasiswa yang benar-benar telah termakan cerita.


KETIKA RAHASIA BOCOR


            Pada satu kesempatan, malaikat Raqib1 pulang bertugas dengan wajah yang muram. Tuhan melihatnya, pasti melihatnya. Dipanggillah Raqib agar segera menghadap. Raqib berjalan dengan lesu menuju singgasana Tuhan. Sujud sembah Raqib lakukan begitu bertatap muka dengan Tuhan.  
            “Ada apa wahai malaikat ?” tanya Tuhan. Sudah barang tentu ini pertanyaan formalitas belaka. Sebab Tuhan pasti telah tahu apa yang terjadi pada Raqib, pasti telah tahu.
            “Ya Maha Raja, hamba hendak bertanya; bukankah aku, Engkau ciptakan tanpa perasaan ?”, kata Raqib malah balik bertanya, sambil berlutut penuh penghormatan.
            “Betul”, jawab Tuhan, singkat.
            “Tapi… hamba heran… karena hamba merasa telah melakukan sebuah tindakan berperasaan… hamba yang seorang makhluk tak berperasaan berbuat sesuatu yang berperasaan, bagaimana ini Tuhan-ku Yang Maha Agung ?
            “Perihal apa ini ? Coba kau ceritakan !”
            “Tak perlulah kiranya hamba ceritakan. Engkau Yang Maha Mengetahui pasti sudah tahu gerangan apa yang hamba lakukan”, jawab Raqib, lemas.
            “Oh betul itu ! Aku tahu, ya Aku mutlak sudah tahu ! Tapi ayo ceritakan saja, biar terasa adil nantinya atas apa yang akan Aku putuskan untuk perbuatan melanggarmu itu”
            Malaikat Raqib menghela napas. Sembari tertunduk, ia memulai ceritanya.


Friday, April 9, 2010

PANGGILAN


             Dua, dua, dua…
            Dua kali kau ingkari

            Tejo langsung terperanjat. Merangkak cepat ia meraih sebuah telepon seluler yang nongkrong di atas monitor komputer. Dilihat layar, nomornya ia tak kenal, segera ia tekan tombol “yes” dan berhentilah Mansyur S berdendang.

Wednesday, March 31, 2010

PURITAN


Ia kurang pandai bergaul. Begitu teman-teman kampus mencap dirinya. Jika tak ditanya ia tak akan bicara, dalam obrolan ia hanya menyimak. Kelakuannya canggung, apalagi jika disapa oleh teman-teman wanita. Saat kuliah selesai, ia segera pulang, tak pernah ikut nongkrong dulu dengan kawan-kawannya di taman atau kantin kampus. Bila diajak main atau jalan-jalan, selalu ia menolak.
Di lingkungan kosan, ia malah dicap lebih parah lagi oleh para tetangga; tak mau bergaul. Dalam sehari, pintu kamarnya hanya terbuka dari waktu ashar sampai maghrib tiba. Biasanya ia sedang membaca koran, majalah atau main game komputer sambil ditemani segelas susu putih panas. Jika ada tetangganya yang masuk dan mengajak ngobrol, ia layani dengan setengah hati. Selepas adzan maghrib, pintu kamar tertutup, ia biasanya sedang belajar. Pukul 10 malam ia naik ranjang, tak pernah kurang. Tak sekalipun ia tertarik untuk ikut bergadang bersama tetangga-tetangga kosannya.
Apa yang menarik dari pemuda ini ialah dia yang rajin shalat tahajud di setiap malam. Pukul dua atau kadang setengah tiga dini hari ia bangun. Cuaca sedingin apapun, ia kuatkan untuk mandi junub (mandi besar). Tak ada satupun ustadz atau mungkin ulama yang memberi keterangan bahwa harus mandi besar dulu sebelum sembahyang tahajud. Namun si pemuda berpendapat kalau ia merasa lebih sempurna tahajudnya kalau mandi besar terlebih dahulu. Jumlah rakaatnya 23, ia jalani dengan waktu yang relatif singkat. Maklum, ia hanya baca surat-surat pendek atau potongan-potongan ayat yang juga pendek. Yang lama ialah dzkir dan doa setelah selesai tahajud.
Sebetulnya bila dikatakan dzikir dan berdoanya lama pun kurang tepat. Keduanya selesai dalam waktu sekejap saja. Hal yang membuat ia tahan duduk bersila adalah sesi curhat dengan Tuhan. Seperti itulah, setiap ia selesai berdoa, segera disambung dengan bercerita kepada Tuhan, mencurahkan segala yang mengganjal di hati dan pikiran. Sambil menengadahkan kepala ke langit-langit kamar, ia mengobrol kepada Tuhan selayaknya mengobrol pada sesama. Jika ia sedang punya kekesalan, ia berbicara dengan intonasi marah. Kala sedang merasa jenuh, ia bicara datar saja. Waktu punya sesuatu asa, nada bicaranya memelas. Kalau sedang bersuka hati, ada tawa dan senyum dalam omongannya yang berirama bahagia.
Sampai datanglah waktu adzan shubuh berkumandang. Ia lekas-lekas pergi ke masjid. Sesudah pulang dari masjid, ia tidur lagi. Tepat pukul enam pagi ia kembali bangun. Entah itu hari biasa atau hari-hari libur, ia selalu bangun sepagi itu. Tak suka ia untuk bermalas-malasan.
Diam-diam, ternyata si pemuda punya rasa pada seorang gadis, teman sekelasnya di perkuliahan. Rambutnya panjang sepinggang, kulitnya putih mulus, tinggi badannya ideal, badannya sehat berisi. Bicaranya manja, bikin gemas orang yang dengar. Tingkahnya lincah dan centil, sangat enerjik. Dengar-dengar, rupanya si gadis itu mantan penari pemandu sorak di SMA-nya. Ia adalah tipe wanita yang suka dibawa para pria ke dalam lamunan mesumnya. Di kelas, pemuda selalu berusaha duduk tepat sebaris di belakang gadis. Supaya dengan puas ia dapat amati kemolekannya.
Mitos mengatakan; “kecantikan selalu berbanding terbalik dengan kepintaran”. Sayangnya hal itu tampak berlaku pada si gadis. Jika ditanya dosen, ia jawab sekenanya. Nilai kuisnya hampir selalu jongkok. Saat presentasi, ia sering bicara keluar konteks. Soal IPK (indeks prestasi kumulatif), mencapai angka 2,5 pun itu sudah alhamdulillah. Tapi… ah masa bodoh dengan kepintaran. Mahasiswa paling cerdas di kelas sekalipun, masih selalu berharap bisa menjadikannya kekasih.
Gara-gara si gadis, pemuda jadi suka telat tidur malam. Ia memang tetap pada jadwalnya, yakni jam 10. Namun hampir sejam lebih ia tak kunjung dapat memejamkan mata. Begitu saja, ia berguling-guling dengan gelisah di atas kasur, mengkhayalkan hal-hal yang tidak senonoh tentang ia dan si gadis.
Bangun tahajud dengan celana basah. Kini ia punya alasan kuat kenapa mandi besar dahulu sebelum melaksanakan shalat malam. Bacaan shalat tertukar-tukar, lupa atau kadang ia jengah sendiri; “Sedang baca apa saya barusan ?”. Konsentrasi bersembahyang diganggu sosok imajiner si gadis.
Sudah hampir dua bulan ini, pemuda mencurahkan isi perasaan yang selalu sama. Mengenai keinginannya yang semakin hari semakin mencuat ke ubun-ubun untuk mendapatkan hati si gadis. Bahkan ia berjanji pada Tuhan, untuk mengajarkan si gadis pelajaran-pelajaran kuliah, agar prestasi akademiknya dapat terdongkrak. Ia juga bertekad untuk mengajak si gadis sama-sama mendalami ilmu agama. Menjilbabinya, itulah jaminan yang diberikan pemuda pada Tuhan, bila Tuhan memperkenankan dirinya menjadi kekasih si gadis.
Waktu terus bergulir, pemuda tetap pada pola kehidupannya sehari-hari yang seperti itu terus. Cap kurang pandai bergaul atau tak mau bergaul, belum juga lekang dari dirinya.
Suatu hari, ada kabar angin tak sedap hinggap ke telinga pemuda. Katanya, mahasiswa fakultas lain ada yang sedang dekat dengan si gadis. Selintas-selintas, dari obrolan kawan-kawan sekelas, si pemuda tahu kalau si anu tersebut sering mengantarkan pulang si gadis.
Saking penasaran, pemuda melanggar keteraturannya sendiri. Selepas kuliah, ia tak lantas pulang. Bak mata-mata, ia duduk mengintai di seberang gerbang kampus, menunggu si gadis keluar bersama si anu, lelaki yang katanya sedang gencar menebar bibit cinta pada hati si gadis. Mengempislah dada si pemuda demi melihat si anu yang dimaksud. Rupanya dia adalah si putra Bapak Rektor yang jadi kapten tim bola kasti kampus. Dibanding-banding dari segi manapun, si pemuda kalah dalam segalanya. Pantas kalau kawan-kawan kelas mengatakan mereka yakin si gadis akan terpaut hatinya pada si anu.
Ada banyak semangat dan harapan yang menguap dari diri pemuda. Setelah rutinitas terganggu sedikit oleh aktifitas memata-matai, selanjutnya pemuda menjalankan hari seperti biasanya. Hanya saja sekarang dengan setengah daya. Segelas susu tak habis, beberapa lembar koran sudah membuatnya lelah membaca, belajar tapi tak fokus, mau tidur namun hati gundah gulana. Hingga akhirnya ia teringat pada kisah yang diceritakan pak ustadz dulu. Tentang tiga orang pemuda yang terkurung di dalam gua. Satu demi satu pemuda itu menukar amal baiknya selama hidup dengan kekuatan untuk mendorong batu dari mulut gua. Tuhan terima amal baik mereka dan kisah berakhir bahagia, mereka terbebas dari gua yang gelap. Terbesit pada benak pemuda; “Kenapa aku tak berbuat semacam mereka ?”
Maka dibuatlah kontrak pada pukul setengah 4 dini hari waktu itu. Seusai panjang-panjang ber-curhat, dengan tegas si pemuda mengajukan aplikasi permohonan pada Tuhan. Ia tukar pahala shalat tahajudnya selama ini dengan sebuah permintaan; mohon agar si gadis beralih hati padanya. Di akhir, kata “amin” diucapkan berkali-kali dengan nada mengharap yang semakin mendalam. Adzan shubuh berkumandang, rapat dengan Tuhan itupun selesai. Semangat dan harapan yang tadinya menguap, sekarang berganti dengan yang baru, bahkan lebih membludak. Ada keyakinan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada pemuda.
Pagi menjelang, pemuda melenggang dengan penuh percaya diri. Kawan-kawan sekelas yang nampak tak peduli rupanya menangkap ada sedikit gelagat tak wajar dari diri si pemuda. Yang biasanya ia dingin dan kaku, kini tersenyum berseri-seri meski tetap irit bicara. Kuliah berlangsung seperti biasanya, demikian pula dengan pemuda yang duduk sebaris tepat di belakang si gadis idola. Tak sabar ia menunggu jam kuliah selesai.
Ketika kuliah usai, dosen meninggalkan kelas dan begitu juga hendak beranjak para mahasiswa. Pemuda berdiri dengan cekatan, mencegah si gadis untuk pergi.
“Tunggu Nona !”, katanya, tegas, menarik perhatian kawan-kawan yang masih tersisa di dalam kelas.
Si gadis menengok ke belakang. Teman-teman yang belum sempat meninggalkan kelas seolah terkesima. Jarang sekali mereka melihat pemuda memulai percakapan terlebih dahulu. Seakan ada paku yang menancap kaki-kaki mereka, membuat mereka terdiam dan menonton gerangan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Adakah suatu perasaan khusus yang dirasakan Nona hari ini ?”, tanya pemuda yang kini sudah berhadap-hadapan dengan si gadis. Kepala gadis menggeleng-geleng.
“Suatu perasaan khusus dari Nona kepada saya ?”, tanya pemuda lagi dengan lebih menjurus. Kembali si gadis hanya menggeleng.
“Perasaan bahwa Nona suka pada saya ?”, tanya pemuda dengan langsung menohok.
“Ada yang salah rupanya dengan dirimu hari ini Bung ! Pergilah ke dokter, sepertinya kau sedang sakit”, jawab si gadis dengan agak jengkel, lalu pergi berlalu.
Para penonton ikut pergi dengan kebingungan yang kurang lebih sama dengan si gadis; “Ada apa dengan dirimu Bung ?”. Tinggallah si pemuda seorang diri di dalam kelas. Ada segenap cinta yang hancur remuk, sedikit rasa tidak percaya, beberapa tamparan malu dan banyak rasa mual yang bangkit.
“Kenapa jadinya begini Ya Tuhan ?”, katanya, bergumam sendiri di dalam hati.

* * *

            Seperti biasa, pemuda bangun pada dini hari. Langit-langit kamar bedebum-debum, pertanda penghuni kamar di atas masih terjaga. Bunyinya yang gaduh menunjukkan ada orang ramai di sana. Lamat-lamat terdengar tawa riang. Ya, ini malam minggu, jadwalnya para tetangga kosan untuk mabuk berjamaah. Pemuda keluar kamar dengan rasa jijik. Di luar, suara-suara dari atas tambah jelas terdengar. Ia terus melangkah ke kakus dan melaksanakan mandi besar di sana untuk beberapa lama. Usai mandi, hatinya terusik. Langkahnya menyimpang, menyentuh anak-anak tangga satu demi satu. Malu-malu, ia muncul di muka pintu salah satu kamar kos yang terbuka.
            “Boleh saya ikut bergabung ?”

Tuesday, March 30, 2010

SELINGKUH MAYA


“Tidur yuk Mas !”, ajak istri dengan lembut. Ia bersender di pinggir lawang pintu. Mengenakan daster sepanjang paha yang berwarna putih mengkilap. Di tangan kanannya, segelas coklat panas mengepulkan asap tipis.
“Urusan belum beres, Adik tidurlah duluan, Mas masih lama”, jawab si suami yang dipanggil Mas. Tak sedikitpun ia melongokkan kepalanya yang terhalangi layar laptop. Cahaya biru dari layar menciptakan suasana remang-remang di kamar kerja. Suami memang senang bekerja gelap-gelapan. 
“Ya sudah…”, istripun berlalu dengan malas.
Sampai di kamar, istri mengambil posisi duduk bersila di atas kasur yang empuk. Di rumah ini setiap anggota keluarga punya laptop pribadi masing-masing. Tidak hanya suami, istri dan satu orang anak perempuan remajapun punya.
Laptop di belah ke atas, cahaya kebiruan menerpa tubuh istri yang licin karena luluran. Sebatang flashdisk modem dicucukkan ke bagian sisi. Siap sudah kini si istri mengarungi dunia maya. Facebook, itulah tujuannya. Di situs jejaring sosial ini, istri banyak menghabiskan waktu. “What’s on your mind ?”, sapa Facebook di lembar utamanya. Tanpa pikir panjang, ia menulis; Gagal “Memancing” Suami…

* * *

            Beruang Putih. Begitu istri menamakan dirinya di Facebook, sesuai dengan foto profil yang ia pasang. Ini akun kedua yang dia buat dan sifatnya khusus. Akun pertama, sama seperti orang kebanyakan, istri mengungkap jati diri yang sebenarnya. Belakangan ini, istri lebih banyak berselancar di Facebook dengan topeng Beruang Putih. Si Beruang ini memilih teman secara acak, pria ataupun wanita. Ia dapat dari friendlist teman-temannya. Asal menurut istri nama seseorang itu menarik dan unik, maka iapun segera add as friend orang tersebut.
            Melalui cara seperti inilah ia terhubung dengan Subakti. Pria empat puluhan yang mengaku sudah berkeluarga. Apakah Subakti itu memang nama aslinya atau bukan, istri tidak tahu dengan pasti. Untuk foto profilnya, Subakti memasang foto dirinya yang sedang memandang hamparan laut biru dengan pose memunggungi kamera. Nampak gagah, dengan kedua tangan yang menyiku dan berakhir di pinggang. Pertama kali melihat foto itu, berdesir pengalaman de ja vu di otak istri, seakan ia pernah kenal dengan lelaki itu. Di mana dan kapan, ia tak tahu pasti. Istri menduga-duga kalau Subakti ialah seseorang dari masa lalunya. Tapi ia ragu; “Apa betul saya pernah punya teman bernama Subakti ?”.
            Dengan Subakti, Beruang Putih banyak bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Entahlah, istri hanya merasa kalau dirinya nyambung dengan Subakti. Sebaliknya juga demikian, Subakti sering menceritakan mengenai ia dan keluarganya pada Beruang Putih.
            Pada malam-malam seperti inilah, biasanya Subakti sedang on-line. Keduanya saling bertukar cerita lewat fasilitas chatting yang disediakan Facebook. Ada perasaan aneh tersendiri yang dirasakan istri kalau tahu Subakti juga sedang on-line. Semacam gairah, tapi entahlah apa sebutan yang lebih tepatnya.
            Coba yang dipancing aku, pasti gak akan gagal, he…
            Kata Subakti, mengomentari status Beruang Putih, sekaligus menunjukkan kalau ia juga hadir di Facebook malam itu. Melihat komentar Subakti, istri sumringah tiba-tiba.

* * *

Subakti                      : Nampaknya kita mesti bertemu
Beruang Putih         : Kenapa ?
Subakti                      : Sudah tiga bulan lebih kita berhubungan dan aku merasakan sudah sewajarnya kita bertemu langsung
Beruang Putih         : Kenapa ?
Subakti                      : Entahlah, aku merasa bahwa di antara kita banyak kesamaan. Bisa mati penasaran aku kalau sampai tak bisa melihatmu langsung. Perasaanku sering tak menentu sekarang-sekarang ini. Sejak aku mengenalmu.
Beruang Putih         : Kenapa ?
Subakti                      : Makanya aku ingin kita bertemu, untuk memastikan apa yang aku rasakan selama ini tentangmu, tentang hubungan kita.
  
Beruang Putih off line


* * *

“Papa tahu kan si Irfan temanku di tempat kursus ?”, tanya anak disela-sela menikmati es krim. Yang diajak bicara hanya mengangguk. Seperti biasa, di hari Jumat, seusai jam kantor suami akan menjemput anaknya yang baru pulang kursus Bahasa Inggris.
“Tadi pacarnya datang tiba-tiba, mengacau !”, lanjut si anak. Tanpa bersuara, suami menoleh pada anaknya dan menunjukkan ekspresi bingung.
“Iya… padahal dia bukan murid kursus… dia datang langsung memarah-marahi Irfan…eh akhirnya minta hubungan pacaran mereka putus !”, semangat sekali si anak bercerita. Suami hanya geleng-geleng kepala sambil bergumam; “ck…ck…ck” beberapa kali.
“Padahal Irfan gak salah-salah amat. Pacarnya selingkuh, dia balas selingkuh. Lho kok pacarnya marah seberingas tadi ya ? Aneh…”, ujar anak, suaranya merendah.
Suami jadi terheran-heran. Ia menengok ke si anak yang kini terdiam, mungkin sudah habis bahan bercerita. Benar, suami jadi heran. Apakah yang diceritakan anaknya barusan ialah benar-benar kejadian nyata atau seperti itulah cara halus seorang anak menyindir kelakuan orang tua mereka ? Jika benar yang pertama, maka tak jadi soal. Tapi jika benar yang kedua, timbul pertanyaan baru; dari mana anak mencium ada bau perselingkuhan di dalam keluarganya ? Suami heran, benar-benar menjadi heran. Mobil terus melaju dengan kecepatan rendah.  

* * *

Suasana meja makan begitu hening. Hanya terdengar bunyi dentang sendok-garpu beradu dengan piring. Anak selalu makan lebih cepat. Tanpa basa-basi, anak segera pamit ke kamar begitu porsi makan malamnya sudah habis.
“Jangan lupa gosok gigi sebelum tidur !”, istri mengingatkan. Anak hanya menengok kemudian dengan genit mengerdipkan mata kirinya, seolah mengatakan; “Oke !”.
Makanan istri sudah ludes pula, namun tentu saja ia tetap di meja makan, menemani suami. Mana boleh ia bertingkah macam si anak. Tidak etis itu namanya.
“Pacar Irfan selingkuh, kemudian Irfan sendiri membalasnya dengan selingkuh juga. Akhirnya mereka putus”, ujar suami tiba-tiba. Istri jadi kaget.
“Maksud Mas ?”, tanya istri.
“Anak kita yang cerita, Irfan itu temannya di tempat kursus. Aku hanya menyampaikan ulang cerita itu padamu. Tidak tahulah, aku hanya merasa bahwa kau sebaiknya tahu cerita tersebut”, jawab suami, datar. Memerah wajah istri dibuatnya.
“Seperti inilah suamiku ! Tak banyak berkata-kata, namun lidahnya pandai menyindir laku orang !”, ucap istri dengan sedikit berteriak.
Seketika istri langsung meninggalkan suaminya yang tinggal menyisakan beberapa suap nasi di piring. Di dalam hati, ia berharap-harap kalau Subakti sedang on-line sekarang. Setelah kenal Subakti, di saat kesal begini, istri segera ingin berubah jadi Beruang Putih dan bebas curhat kepada Subakti.
“Jangan sampai aku jadi Irfan. Jangan kau kira lelaki pendiam seperti aku tak handal cari selingkuhan”, ujar suami hampir berbisik, berkata-kata pada dirinya sendiri.
Hilang sudah nafsu suami untuk melanjutkan makan yang tinggal sedikit. Ia beranjak, meninggalkan meja makan begitu saja. Tenang ia berjalan menuju ruang favoritnya. Di kamar kerja yang gelap, suami menyalakan laptop.

* * *

Status Beruang Putih :
                         Apa sih maunya dia ?!

            Komentar Subakti :
                                    Mau dibelai kali… he… Omong-omong, kita lanjut obrolan kemarin yang terputus.

NB : Aku sudah benar-benar ingin ketemu

            Komentar Beruang Putih :
Oke, aku tak bisa lagi mengelak, kali ini memang nampaknya kita mesti bertemu

            Komentar Subakti :
                                    Yes ! Akhirnya ! Nanti aku atur acaranya, cuman… apa suamimu gak kan curiga atau gimanaaaa gitu ?

            Komentar Beruang Putih :
                                    Malah aku berharap dia memergoki kita, biar puas sekalian ho ho ho ho…. (devil mode : on)

* * *

“Kau kenal dia di Facebook ?”, seorang teman bertanya dengan warna yang bercampur-campur; antara tak percaya dengan meremehkan. Suami mengangguk-angguk.
“Alamak, kalau aslinya jelek bagaimana ?”, teman melanjutkan. Suami hanya mengangkat bahu, baginya saat ini yang penting bisa bertemu dulu dengan kekasih on-line tersebut, sesuai janji yang telah disepakati.
“Tidak masalah, toh dia juga belum tahu kan rupa aslimu ?”, teman masih saja penasaran. Suami mengangguk kecil, menandakan adanya rasa cemas. Ia takut si teman wanita tersebut akan kecewa melihat tampang aslinya.
“Boleh juga ya… cari selingkuhan di Facebook… supaya tak ketahuan bini, tinggal bikin account baru dan spesial… Tapi kalau begitu, berarti kau jauh bertingkat-tingkat di bawah istrimu kawan ! Dia dapat selingkuhan dari dunia nyata kan ?”, cecar si teman. Suami tidak menjawab. Ia malah pergi.
“Hei belum kau jawab pertanyaanku !”, protes si teman.
“Aku mau bersiap, kan sudah kubilang, nanti sore aku ada kencan dengannya !”, jawab suami sambil melambaikan tangan.

* * *

            Sunyi. Keduanya hanya saling tatap dengan rasa malu yang amat sangat. Sejenak kemudian keduanya saling palingkan muka. Istri tertunduk, adapun suami melempar pandang entah ke mana.
            “Subakti ?”, suami mengangguk segan.
            “Beruang Putih ?”, istri terdiam namun menandakan iya.
Di benak masing-masing, keduanya berpikiran sama; dunia sudah gila ! Tak tahu harus berbuat apa, akhirnya keduanya duduk di meja yang telah dipesan. Restorannya megah, alunan musiknya elegan, pelayannya ramah, masakannya kelas dunia. Akan tetapi, sepasang suami istri di meja itu malah risih menjurus jijik dengan suasana sekarang ini.

* * *

Pesan Subakti :
            Kita bertemu di Restoran Grand Royale. Kamis sore, pukul 3. Aku memakai kemeja bergaris coklat dengan dasi yang coklat pula (warna kesukaanmu). Sudah kupesan meja dari sekarang. Kau tidak akan sulit mencariku, karena aku menunggumu di pintu restoran. Sampai Nanti Beruang Putih-ku.

            Balasan Beruang Putih :
            Oke. Aku mengenakan gaun merah menyala. Khusus untukmu.