Friday, May 21, 2010

KATANYA

Diangkat Dari Kisah (Katanya) Nyata



              Melihat si Bapak Tua yang tiba-tiba berjalan pincang, warga seolah diingatkan pada kejadian bertahun-tahun yang lalu. Sebetulnya Bapak Tua tidak tiba-tba pincang. Memang sedari awal jalannya sudah timpang. Hanya saja kini terlihat semakin terpincang-pincang. Warga seperti yang tidak mau melihat hal ini dari kaca mata kewajaran. Ya bisa saja ini lebih karena usia si Bapak yang telah renta, kegagahan tubuh terus merosot dan maklum kiranya kalau ia berjalan tambah pincang. Tapi tidak, warga tidak mau menanggapinya dengan cara lazim seperti itu. Warga lebih senang menyangkut-pautkannya dengan peristiwa di masa lampau.
            Berawal dari jalan pincang yang dikaitkan dengan kejadian basi, kemudian melebar pada cerita-cerita miring lainnya. Tentang pengalaman warga per orang dengan si Bapak Tua. Warga saling bertukar pengalamannya. Semuanya bernada menjelek-jelekkan. Cerita-cerita itupun dijadikan pendukung untuk dugaan mereka tentang si Bapak Tua.
            Mengenai si Bapak Tua yang belakangan rajin datang ke Masjid untuk sembahyang Maghrib dan Isya berjamaah. Sama sekali tidak merubah pemikiran warga. Malah hal ini seakan memperkuat sangkaan mereka. “Tobat”, begitu warga mencap kelakuan ibadah si Bapak Tua. Bagaimana cara mereka mengucapkan kata “tobat” tersebut, sungguh tidak ada kesan mengangumi atau mensyukuri. Malah terdengar menyindir.
            Pembicaraan mengenai si Bapak Tua kembali menghangat. Hampir di setiap sudut kumpulan warga, yang dibicarakan itu terus; Bapak Tua lagi dan Bapak Tua lagi. Warga muda yang pada saat kejadian bertahun-tahun lalu belum lahir, menyimak dengan seksama setiap tuturan cerita orang tua-orang tua mereka.
            Bu Haji yang bersama kedua anak perempuannya mengajar mengaji pada anak-anak setiap sore di Masjid, mulai mengeluh pada Pak Haji, suaminya, yang merupakan ketua DKM. Dengan polosnya anak-anak sekarang sering bertanya pada Bu Haji tentang kebenaran cerita orang tua-orang tua mereka. Kalau jawaban Bu Haji terdengar mengambang di telinga anak-anak, seketika di teras Masjid itu terjadi perdebatan, antara sedikit anak yang mencoba berpikir jernih melawan banyak anak yang menelan bulat-bulat cerita orang tua. Menerima keluhan semacam itu, Pak Haji pun tidak memberikan usulan yang tegas. Sepertinya Pak Haji sendiri, sebagaimana Bu Haji dan kedua anaknya, punya rasa ragu. Apalagi Pak Haji menjadi salah satu saksi waktu kejadian di masa lalu tersebut.
            Pemuda-pemuda mahasiswa yang mengontrak di kamar-kamar milik Bapak Tua, lambat-lambat jadi tahu juga desas-desus tentang induk semang mereka. Cerita mengalir dari seorang pedagang bakso langganan para pemuda mahasiswa. Mulanya mereka merasa gengsi untuk percaya. Akan tetapi, perlahan-lahan benteng ilmiah dan empiris di otak mereka, akhirnya jebol juga. “Pantas setiap malam Jumat kucium bau kemenyan !”, komentar seorang mahasiswa yang benar-benar telah termakan cerita.




            Katanya, Bapak Tua itu sebetulnya bukan warga asli sini, Kecamatan Nyamplung. Melainkan perantau dari pelosok Tasikmalaya sana. Pertama datang ia sudah bawa istri. Mengontrak di sebuah rumah yang sangat sederhana. Di rumah itu juga ia membuka usaha warung kecil-kecilan. Tahun kedua tinggal di Nyamplung, isi warungnya sudah semakin beragam dan lengkap, pembeli bertambah ramai. Apakah dengan hal tersebut, derajat hidupnya meningkat ? Ah, bingung juga menentukannya. Disebut miskin, tidak juga. Disebut sejahtera, belum layak pula.
            Pergaulan Bapak Tua terbatas. Ia hanya bertatap muka dengan warga sekitar di warungnya, sebagai penjual dan pembeli. Kalau ada ramai kegiatan warga, paling ia cuma kasih sumbang dana. Kalau ada rapat tetangga, ia merasa cukup tahu apa hasilnya saja. Sampai sejauh ini semua berjalan biasa-biasa saja.
            Tahun keempat, Bapak Tua mulai bikin geger warga sekitar. Ia membeli sebidang tanah kosong kepunyaan Wan Arab. Segera setelah akad jual-beli tuntas, Bapak Tua langsung memulai pembangunan di tanah itu. Lagi-lagi warga dibuat kaget. Rupanya, Bapak Tua bukan hanya membangun sebuah rumah, tapi juga bangunan kos-kosan dua lantai. Untuk ukuran tahun 80-an, di Nyamplung, bangunan kosan dua lantai itu sudah termasuk mewah. Menunjukkan kalau si orang yang membangunnya tengah kebanjiran duit. Waktu itu, di sekitar Nyamplung, baru Juragan Kayu yang punya kos-kosan dua lantai. Warga masih bisa memaklumi, usaha Juragan Kayu memang menghasilkan banyak uang, sehingga ia pun jadi orang terkaya di Nyamplung. Tapi Bapak Tua ? Dari usaha warungnya ? Semua warga meragukan.
            Kejutan yang dibuat Bapak Tua belum berhenti. Warga dibuat takjub dengan jalannya pembangunan yang begitu lancar. Setiap hari para tukang tak pernah berhenti bekerja. Pasokan bahan bangunan tak pernah macet. Alhasil dalam waktu tak lebih dari enam bulan, rumah dan kos-kosan berlantai dua itu pun berdiri dengan kokoh. Juragan Kayu saja, waktu ia bangun gedung kosan dua lantainya, agak tersendat-sendat. Itu Juragan Kayu lho ! Yang usaha kayu-nya melejit, orang terkaya lagi ! Tapi Bapak Tua ? Dari usaha warungnya ? Semua warga menyangsikan.
           
* * *

            Sore-sore, seorang pemuda mahasiswa langsung bergabung dengan tetangga-tetangganya yang sedang berkumpul menonton bola di salah satu kamar. Ia baru saja pulang kuliah, keringat belum juga kering. Tapi ia seperti yang sudah tidak kuat menceritakan ulang apa yang ia dengar waktu mampir di warung nasi tadi. Suara televisi diperkecil, kelima orang yang tadi serius menonton bola kini memelototi temannya yang duduk di lawang pintu. Sambil membiarkan punggungnya yang agak mejorok ke luar kamar disapu sejuknya angin sore, si pemuda memulai bercerita. Dengan sengaja ia buat suaranya sedikit berbisik.
            “Kau tahu gerobak di depan kosan kita yang setiap sore dipakai Bapak Tua berjualan gorengan ?”. Kelima temannya mengangguk-angguk.
            “Itu ternyata hasil rampasan !”. Kelima teman tersentak kaget.
            “Dulu gerobak itu milik seorang Nenek yang tinggal di gang belakang kosan kita. Gerobaknya sendiri merupakan sumbangan dari ibu-ibu PKK agar si Nenek bisa punya penghasilan memadai. Maklum dia janda tak beranak”. Kelima teman mencondongkan tubuh mereka, semakin terpikat oleh cerita.
            “Setiap pagi si Nenek berjualan ketupat sayur dan nasi kuning di situ. Sialnya, pada saat yang sama, Bapak Tua juga menggelar dagangan serupa di teras rumah. Jadi, secara posisi mereka betul-betul saling berhadapan. Harganya murah, porsinya penuh, maka pantas dagangan si Nenek lebih laris. Bahkan anak-anak kosan yang dulu, juga lebih senang beli sarapan ke si Nenek. Orang baru beli ketupat atau nasi-nya Bapak Tua kalau dagangan Nenek sudah ludes…”, cerita terputus sejenak, si pemuda beri isyarat meminta minum. Cekatan, seorang temannya menyodorkan segelas air. Setelah ada bunyi lega “Aaaah”, kisahpun berlanjut.
            “Si Nenek lantas diberi perlakuan tak sedap oleh Bapak Tua. Jika ketahuan ia mengantar pesanan anak kosan, ia dimarahi habis-habisan. Jika si Nenek sedang tidak melayani pembeli, Bapak Tua pergi menyeberang dan membentak-bentaknya. Lama-kelamaan Nenek letih juga diperlakukan seperti itu. Ia telah renta waktu itu. Sudah lelah badan karena bekerja, masih juga harus lelah batin. Akhirnya, Nenek memutuskan untuk berhenti berjualan. Gerobaknya ? Ya, kosong. Ibu-ibu PKK tak punya waktu untuk memanfaatkannya karena merekapun punya kesibukan masing-masing. Eh, tiba-tiba saja Bapak Tua memindahkan dagangannya ke sana sampai sekarang”, nada bicara pemuda merendah pertanda usainya cerita.
            “Warga merelakan begitu saja gerobak itu dipakai oleh Bapak Tua ?”, tanya salah seorang yang duduk paling belakang. Si pemuda hanya angkat bahu.
            “Sialan, gemas aku dengar cerita itu. Sampai hati dia berbuat tak berperasaan. Tak punya malu, main seruduk saja, sungguh perilakunya itu mirip ……”, seorang teman yang berkata penuh amarah itu tidak melanjutkan ucapannya.
            Tercekat suara si orang di tenggorokan demi melihat Bapak Tua berjalan hilir mudik di luar kamar. Sungguh anak-anak kosan kurang awas kali ini. Suasana jadi hening seketika. Mereka lupa kalau sudah biasanya sore-sore begini Bapak Tua akan naik ke lantai dua untuk mengangkut sampah. Bapak Tua membereskan sampah tanpa berkata-kata. Sesaat kemudian, Bapak Tua turun kembali dengan menjinjing sekarung sampah.
            “Sejak kapan dia ada di sini ? Sudah lama ?”, tanya seseorang. Pemuda pendongeng yang duduk di gerbang pintu geleng-geleng. Saking asyiknya bercerita, ia yang paling mungkin melihatpun, tak menyadari kehadiran Bapak Tua.
            “Apa mungkin ia dengar ceritaku ya ?”, tanya pemuda pendongeng.
            Tidak ada yang menjawab.

* * *

            “… Babi ?!”, teriak Wong Jawa yang kebetulan masih terjaga di pos ronda. Dalam teriak spontannya itu ada setengah kaget dan setengah tak yakin. Kentongan ia pukuli dengan ganas. Serta merta keempat kawan rondanya terbangun. Berlima, kelompok ronda itu meloncat dari pos dan langsung mengejar sosok misterius yang disebut Wong Jawa sebagai babi. 
            Menerobos pekatnya malam dengan cahaya senter yang redup. Sambil lantang berteriak; “Babi !”, berulang-ulang. Satu-satu jendela rumah warga menyala, menandakan penghuninya telah terusik. Beberapa warga yang gesit, langsung turun ke jalan, ikut menguber sasaran.
Wong Jawa kehabisan napas, ia terbungkuk terengah-engah di pinggir jalan. Abang Medan bersama anaknya yang masih tanggung lari mendekati Wong Jawa.
            “Ke mana larinya ?”, tanya Abang Medan. Wong Jawa hanya mengarahkan telunjuk. Di kejauhan, tampak sinar senter bergoyang-goyang. Abang Medanpun segera berlari.
            “Tunggu !”, Wong Jawa mencegah. Abang Medan menengok ke belakang.
            “Tidak bawa senjata kau ?”, tanya Wong Jawa. Abang Medan lalu melihat ke sekitar jalan, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Akhirnya ia dapatkan sebilah bambu yang cukup panjang.
            “Bawa !”, jawab Abang Medan sambil diacungkan bambu temuannya itu pada Wong Jawa. Kemudian ia berlari lagi, anaknya mengekor.
            Jumlah warga yang mengejar semakin bertambah. Namun satu demi satu pula warga berhenti berlari karena kepayahan. Hingga akhirnya rombongan sampai di lapangan kelurahan. Abang Medan serahkan bambu di tangan pada anaknya.
            “Tombak Nak !”, perintah Abang Medan, singkat.
            Seiring bapaknya yang perlahan melambat, si anak menambah kecepatan sampai ada di baris paling depan rombongan pengejar. Sedaya upaya si anak lemparkan bambu, sampai ia terhuyung dan hampir saja jatuh menukik ke atas tanah.
            Terdengar bunyi menguik. Suaranya tak berhenti. Warga yakin kalau tombakan anak Abang Medan berhasil kena sasaran. Namun suaranya terus menjauh, berarti yang dikejar masih kuat untuk kabur. Mendengar bunyi menguik tiada henti itu, warga seolah mendapat kekuatan baru. Mereka semua semakin kencang berlari.
            Bunyi menguik merendah. Lalu tiba-tiba menghilang. Rombongan pengejar memperlambat laju mereka dan berhenti. Setiap kepala menengok kiri-kanan, mencari ke mana gerangan larinya si sosok menguik. Sinar senter menyapu setiap sudut. Nihil. Warga tidak mendapati apa-apa. Apa yang mereka temui hanya sebuah rumah dan gedung kos-kosan yang dulunya tanah kosong milik Wan Arab.
           
Suara menguik hilang di sana
Kecurigaan muncul di sana
Jejak cecer darah memang tiada
Namun suara menguik hilang di sana
Wajar curiga muncul di sana

Waktu subuh segera tiba. Rombongan pengejarpun lalu bubar begitu saja. Sebagian pulang langsung ke rumah. Sebagian lagi mampir sejenak ke Masjid. Rumah dan Masjid riuh dengan cerita. Sampai waktu itu, isi cerita masih serupa.

2 comments:

  1. weuw,,
    kesan-kesan:
    awalnya bingung,,,
    udah gitu dapet insign,,,
    trus speechless,,,
    dan hanya bisa kembali berkata weuw

    tutur berceritanya keren kang!

    ReplyDelete
  2. Makasih ya Ira atas pujiannya.

    silakan tunggu cerpen2 berikutnya !!!
    hehehe...

    ReplyDelete