Saturday, June 5, 2010

GILA (?)


            “Bikin malu !”, memerah muka Pak Dekan, seolah mendidih darah di bawah permukaan kulitnya.
            “Begini Pak…”, si pemuda mencoba beralasan.
            “Diam ! Ini sudah cukup menjelaskan semuanya !”, Pak Dekan memutusnya, sambil menodong-nodongkan selembar surat tepat ke depan wajah si pemuda.
            “Tapi Pak…”, si pemuda masih mencoba menyela.
            “Diam ! Saya bilang diam !”, lagi-lagi Pak Dekan memotong.
            Ada jeda beberapa menit. Mata Pak Dekan melotot, tak lepas dari si pemuda yang menundukkan kepala.


* * *

            “Oh tak bawa surat pengantarpun sebetulnya tak apa-apa”, kata Ibu Kepala Bagian Umum dengan wajah yang ramah.
            “Prosedur dari Universitas kami memang seperti ini Bu”, balas pemuda.
            “Ya, saya paham, tapi kamu kan beda…”, ucap Ibu Kepala sambil membaca surat itu dengan kurang serius, benar-benar menganggapnya tak bernilai. Sejurus kemudian ia lipat kembali surat itu dan diserahkan lagi ke pemuda.
            “Beda bagaimana Bu ?”, tanya si pemuda, menyambung omongan Ibu Kepala yang terputus.
            “Apa ?”, Ibu Kepala tidak mengerti.
            “Tadi… Kata Ibu saya ini beda…”.
            “Oh itu… Iya, kamu ini beda, kamu ini kan rujukan langsung dari Pak Dirut (Direktur Utama)”, jawab Bu Kepala.
            “Pak Dirut ?”, giliran si pemuda yang kurang mengerti.
            “Ya, pasti dosen pembimbing kamu itu bicara langsung ke Pak Dirut kalau ia bakal punya titipan anak didik di sini, lalu Pak Dirut bilang ke saya agar siap-siap jika nanti ada mahasiswa yang datang ke sini untuk numpang praktek kerja barang sebulan dan sekarang saya bertemu dengan si mahasiswa itu”, urai Bu Kepala dengan diakhiri senyum.
            “Pasti ada hubungan khusus di antara mereka berdua, sobat waktu kuliah kali ya Bu ?”, tanya pemuda dengan niat bercanda.
            “Bukan, dosenmu itu, yang sekarang juga jadi Bapak Dekan di kampusmu, dulu Dirut sini juga, sekitar tiga atau empat… mmm… lima sampai enam tahunan yang lalu deh kayaknya. Beliau berhenti pas ada tawaran studi ke luar negeri. Nah, Pak Dosenmu pergi, Dirut yang sekarang naik deh buat gantiin”.
            Pemuda hanya mengangguk-angguk. Sikap badannya tampak kaku. Selama Bu Kepala menulis-nulis sesuatu di sebuah buku catatan yang lebar, si pemuda melihat-lihat kondisi di sekitar ruang kerja yang sempit dan berantakan. Lamat-lamat ia mendengar keramaian. Jauh dari ruang ini nampaknya, entah di mana, hanya terdengar samar-samar saja.
            “Kamu langsung saja ke ruang perawat. Dari ruangan ini ke arah kiri, jalan terus nanti juga ketemu, ada plang namanya kok. Temui Pak Kepala Perawat, katakan saja; ‘Saya anak titipan Pak Dirut’, beliau pasti ngerti”, Bu Kepala mengarahkan dengan rinci.
            Pemuda segera beranjak dan pergi, tentu saja setelah mengucap terima kasih serta melempar senyum dulu pada si Ibu Kepala yang baik hati ini.

* * *

            “Semua yang di sini juga pasti punya delusi lho Dik”, ujar perawat muda yang diberi tugas mengaping si “anak titipan Pak Dirut” selama kerja praktek.
            “Betul… “, sambut pemuda dengan nada mengambang.
            “Lantas apa yang membuat orang satu ini spesial di matamu dan juga pastinya di depan dosen pembimbingmu ?”, tanya perawat muda.
            “Jujur ya Mas…” pemuda menghentikan langkahnya, otomatis si perawat juga ikut-ikutan berhenti. Pemuda kini lebih mendekatkan kepalanya ke arah si perawat, sebuah pertanda bahwa informasi ini hanya boleh diketahui di antara mereka berdua saja.
            “Sebenarnya saya juga endak ngerti Saya disuruh amati orang ini, ya saya ikuti saja. Ini semua ide Pak Dosen. Asal Mas tahu saja, pada awalnya skripsi saya sendiri tidak ada kaitannya dengan bidang klinis seperti ini. Endak tahulah, Pak Dosen malah suruh saya ganti tema yang ujung-ujungnya membuat saya terdampar di sini, tapi dia berani jamin saya lancar skripsi, lulus dengan nilai A, kalau nurut maunya dia ini.  Kata Pak Dosen sih, nanti hasil laporan saya itu, selain buat kepentingan skripsi saya sendiri, ini juga akan jadi bahan karya ilmiahnya. Saya mau-mau saja, kalau ditentang malah takut saya lama lulus”, terang si pemuda dengan suara yang setengah berbisik.
            Terdengarlah derai tawa perawat muda demi mendengar alasan tersebut. Si pemuda senyum-senyum malu sendiri. Sambil keduanya melanjutkan berjalan, tampak perawat muda menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata; “Oh itu toh alasannya, ada-ada saja”.

* * *

Nama Pasien            : TS
Usia                            : 42 tahun
Mulai dirawat             : 27 Mei 2003
Akhir perawatan       : -

Gambaran Umum
            TS memiliki ciri gangguan skizofrenik pada umumnya, yakni perilaku kacau yang ditandai dengan delusi, halusinasi serta bermasalah dengan hubungan sosial. Dalam pikiran TS ia selalu merasa dirinya adalah pemburu harta karun. Sehari-hari, di lingkungan Rumah Sakit, TS menyibukkan diri dengan berkeliling ke sana-ke mari untuk mencari harta karun. Ini merupakan masalah yang sering membuat TS sulit untuk mengikuti kegiatan-kegiatan perawatan yang telah direncanakan. TS juga sering menggali di sekitar lingkungan Rumah Sakit. TS memiliki tokoh imajinasi yang bernama Ki Batu, seorang yang menurutnya sering memberi petunjuk di mana lokasi harta karun berada.

* * *

            “Maaf Bang, sebetulnya Abang tahu tidak kenapa Abang bisa ada di sini ?”, tanya pemuda dengan penuh kehati-hatian.
            “Apa lagi kalau bukan karena mereka pikir saya ini gila”, jawab pasien itu dengan suara pelan.
            “Kalau begitu sebenarnya Abang sendiri tidak merasa kalau Abang ini…”
            “Gila ?”
            “Ya”
            “Ya enggak lah. Kau kira Ki Batu itu hanya khayalan saya belaka ?”
            “Mmm… Tidak ada bukti kalau Ki Batu itu ada”
            “Kau tahu dari mana aku dapat jam tangan ini ?”, pasien itu memperlihatkan jam tangan di pergelangan kirinya. Warnanya emas mengkilap, setelah disidik dengan benar, pemuda melihat bahwa jam tangan itu merupakan merk kenamaan dari Negeri Swiss sana.
            “Nampak mahal jam tangannya, siapa yang kasih ?”
            “Kasih ? Kudapat jam tangan ini kemarin lusa. Hasil menggali di bawah pohon belimbing yang ada di taman. Ki Batu yang memberi tahu saya”
            “Begitu ya ?”
            “Ya, itulah yang terjadi”
            Di tengah wawancara diagnostik berbalut obrolan biasa itu, sebuah suara memanggil-manggil nama si pasien. Wajah enggan segera terpancar dari si pasien. Ia harus mengikuti kegiatan senam bersama sore ini. Dengan malas ia berdiri.
            “Percaya, tidak percaya, Ki Batu bilang kalau di suatu tempat, di bawah Rumah Sakit ini, ada harta karun berupa peti yang penuh dengan batangan emas”, kata si pasien, berbisik.
            “Oh ya ? Di mana ?”
            Suara panggilan itu terdengar lagi, lebih keras dan memaksa. Setelah membisikkan kata-kata terakhir, ia pun segera pergi menuju ke ruang aula tempat kegiatan sore akan berlangsung. Adapun si pemuda hanya tinggal sendirian, mukanya merenung.      

 * *  *

            “Hei ! Hei !”, Pak Satpam menyalak-nyalak dari kejauhan. Ia membawa lari perutnya yang tambun itu sekencang mungkin.
            Sampai di tempat, orang yang ia teriaki sudah terlanjur pergi. Apa yang ia dapati hanya sebatang sekop dengan gundukan tanah yang cukup tinggi. Dilihat dari dalamnya, orang itu nampaknya sempat menggali beberapa lama sebelum akhirnya ketahuan. Pak Satpam menghalau sinar senter yang menyorot ke wajahnya tiba-tiba dengan telapak tangan. Seseorang datang menghampiri dengan tergesa-gesa.
            “Ada apa ini ?!”, tanya orang itu dengan mematikan lampu senter terlebih dahulu.
            “Molor saja kerjamu ! Ada maling tadi di sini tahu !”, sambar Pak Satpam pada rekan jaga malamnya yang datang lebih telat.
            “Mana ? Mana ? Sekarang ke mana ?”, baru si rekan jaga malam itu bertanya-tanya dengan panik. Sinar senter ia sorot ke segala arah.
            “Ke sana !”, tunjuk Pak satpam, ke sebuah celah sempit di antara bangunan gudang dan dapur Rumah Sakit.
            “Hah dasar maling bodoh ! Itu kan jalan buntu ! Ayo cepat kita ke sana, nanti keburu kabur !”, kata si rekan yang lalu berlari penuh semangat. Pak Satpam mengikuti dengan kepayahan.
            Sadar bila jalannya buntu, si maling segera membalik arah. Terlambat, belum sempat ia keluar dari gang kecil itu, sebuah sinar telah menghadangnya. Mungkin karena kesilauan, ia pun tak bisa menghindar atau menangkal pukulan pentungan karet yang tepat mendarat di bahu kirinya. Si malingpun lantas rubuh. Pukulan-pukulan berikutnya menyusul menghujam, hingga akhirnya…
            “Stop ! Berhenti !”, Pak Satpam datang dengan napas tersenggal-senggal, menyuruh rekannya untuk berhenti memukuli si maling. Susah payah ia memasuki celah sempit di antara dua gedung itu.
            “Ampun… ampun…” , rengek si maling, tangannya disilangkan di atas kepala, melindungi diri dari pukulan-pukulan selanjutnya.
            “Jangan dipukuli !”, kata Pak Satpam.
            “Biar tidak kabur !”, sambut si rekan jaga malam dan mulailah ia memukuli lagi orang itu.
            “Jangan !”, sergah Pak Satpam, kini terpaksa ia menahan tangan rekan kerjanya dengan kuat.
            “Kenapa ?”
            “Dia itu si anak titipan Pak Dirut tahu !”
           
* * *

            “Jangan bertindak bodoh kamu ya ?! Mau mati kamu hah ?!”, Pak Dirut meluapkan amarah sejadi-jadinya.
            “Tidak Pak… Jangan… “, orang itu menjawab dengan terisak-isak. Lecet sudah pipinya karena ditampari, entah berapa kali.
            “Kamu beri tahu orang luar itu begitu saja ! Kenapa ?! Ki Batu yang suruh ?!”, Pak Dirut berteriak-teriak sembari mengelilingi orang yang duduk terikat di kursi itu.
            “Bukan Pak, saya cuma bercanda…”, orang itu menjawab masih dengan terisak-isak.
            PLAK !
            Sebuah tamparan kembali melayang. Tambah banyak air mata yang keluar, seiring dengan darah segar yang mengalir dari pipi.
            “Cukup Pak”, kata Ibu Kepala Bagian Umum yang sedari tadi berdiri bersandar ke pintu, seakan menghalangi agar tidak ada orang lain yang bisa masuk ke ruangan itu.
            “Ini keterlaluan Bu !”, ujar Pak Dirut mencoba membenarkan tindakannya.
            “Pak… kalau saya dibeginikan terus… nanti malah Ki Batu gak akan datang memberi wangsit ke saya Pak… sebab dia kasihan melihat saya yang kesakitan disiksa begini… belum juga ia beri kabar itu, akibatnya saya sudah disiksa seperti ini…”, orang yang duduk terikat di kursi itu memelas.
            “Tuh kan Pak, sudahlah, bahaya… Lagi pula ini salah kita-kita juga, semestinya dari awal kita sudah curiga akan maksud anak itu yang hanya ingin meneliti dia seorang”, Ibu Kepala membujuk Pak Dirut untuk segera berhenti menyiksa.
            Pak Dirut menatap Ibu Kepala tanpa berkata-kata. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada orang yang sedari tadi ia gampari. Melihat pipi orang itu yang merah berdarah, Pak Dirut mulai merasa menyesal.
            “Maafkan saya”, ujar Pak Dirut. Lalu ia memeluk orang tersebut yang masih menangis ketakutan bercampur menahan sakit.
            “Kalau Ki Batu sudah kasih tahu ada di mana petinya, cepat kamu cari saya ya“, bisik Pak Dirut sambil mengelus-elus punggung orang itu.

* * *

            Pak Dosen meremas-remas kemudian melempar ke kotak sampah surat berisi hal pemulangan secara tak terhormat anak didiknya dari urusan praktek kerja.
            “Urusan kita selesai, sudah ketahuan belang kita, tidak becus rupanya kamu ini. Uang yang saya janjikan segera dikirim ke rekeningmu nanti siang. Saya lebihkan sedikit untuk biaya pengobatan memar-memarmu itu. Sekarang cepat keluar dari ruangan saya”, merendah di akhir nada suara Pak Dosen.
            Mahasiswa itu segera berdiri dan melangkah menuju pintu ruangan. Sebelum ia putar gagang pintu, ia menoleh kepada Pak Dosen dan dengan memberanikan diri dia bertanya…
            “Dosen-dosen lain di luar pasti mendengar keributan Bapak di ruangan ini. Apa yang harus saya katakan kalau mereka menanyakan tentang hal ini ?”
            “Bilang saja urusan pribadi antara kamu dengan saya, pinta-pintar kaulah untuk cari jawaban, yang jelas kau pasti cukup cerdas untuk tidak mengatakan yang sebenarnya”, jawab Pak Dosen tanpa sedikitpun memandang anak bimbingannya itu.
            Mahasiwa itupun pergi berlalu. Pak Dosen berusaha untuk mengatur dirinya agar tenang kembali. Pendingin ruangan serasa tidak berguna. Di dahi Pak Dosen, butir-butir keringat masih belum kering, sebagaimana belum mengering juga ambisi di dalam rongga dadanya.

2 comments:

  1. hahahaha
    awalnya di kirain pengalaman pribadi *efek pembimbuingmu juga seorang dekan siy :p*

    pas di baca-baca lagi,,ooo ternyata cerpen toh,,,
    good work kang

    ReplyDelete