Artikel ini pernah kami tayangkan di www.ikapsiunisba.org pada Mei 2016 dengan judul; "Memaklumi Pemunduran Pak Wali." www.ikapsiunisba.org sendiri merupakan situs resmi dari organisasi Ikatan Keluarga Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung yang di dalamnya, penulis menjadi salah satu pengurus. Saat ini, situs termaksud sedang mengalami kendala sehingga tidak bisa diakses. Pada blog pribadi penulis ini, artikel tersebut kami tampilkan ulang dengan perubahan judul dan beberapa perubahan kecil pada isinya.
Senin
maghrib tanggal 25 April 2016 yang lalu. Secara tidak sengaja saya menonton sebuah
siaran berita di Metro TV yang tengah mengumbar perihal pengunduran diri
Walikota Jakarta Utara, Rustam Efendi. Hal yang menjadi bahasan utama adalah
isi curhat sang walikota yang ia
tumpahkan di laman Facebook
pribadinya. Di situ, Pak Walikota mengungkapkan latar belakang dirinya
mengambil keputusan resign yang salah
satunya dikarenakan merasa terhina oleh mulut atasannya sendiri yang tak lain dan tak bukan ialah Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok. Perkara lidah Pak Gubernur yang brutal, sepertinya
hampir semua orang Indonesia sudah mafhum. Sudah sangat sering Ahok muncul di
berbagai media massa karena tingkah kontroversialnya dalam memimpin Ibu Kota.
Hal yang
menjadi perhatian saya pada saat itu adalah adalah bagaimana si pembawa berita
membacakan sebaris demi sebaris curahan perasaan Pak Walikota. Sungguh tidak
enak didengar. Sangat jelas si pembawa berita menyepelekan alasan Pak Walikota yang
mundur karena faktor atasan. Kehadiran pengamat politik melalui sambungan teleconference semakin mempertajam kesan
tersebut. Si pengamat tersebut bahkan dengan gamblang menyatakan; “Alasan
mundur Pak Rustam sangat tidak professional !.”
Di beberapa
situs berita on line, kabar
pengunduran diri Rustam Efendi juga sempat menjadi trending news ketika itu. Respon pembaca berupa-rupa dan tak
sedikit yang mencibir langkah Pak Rustam. Bukan soal mundurnya yang jadi
sorotan, tapi lebih karena alasannya. Mundur hanya karena tidak cocok dengan
atasan dinilai sebagai wujud dari “mental tempe.”
Mari kita
kesampingkan terlebih dahulu unsur politik yang mungkin terlibat. Dunia
pemerintahan DKI Jakarta menjadi begitu “hidup” sejak Ahok berkuasa, baik
ketika mendampingi ataupun ditinggal Jokowi. Pro dan kontra nampak dengan
kentara di depan mata bahkan berbuah menjadi konflik nyata, entah antar elit
pemerintahan itu sendiri maupun dengan elemen-elemen masyarakat. Terlebih
belakangan ini suhu politik makin memanas menjelang Pemilihan Gubernur.
Pemerintahan
tak selalu melulu soal politik. Ketika di dalam suatu kelompok terdapat
pembagian strata anggota yang masing-masing anggotanya memiliki lingkup peran,
tugas serta tanggung jawab sendiri-sendiri dan segenap anggota tersebut dengan
segala sumber daya yang mereka punya harus bergerak mencapai tujuan bersama.
Maka pada konteks tersebut bahasan manajemen organisasi dan/atau psikologi
organisasi juga menjadi sangat relevan. Pemerintahan pada dasarnya sama dengan organisasi
secara umum, di dalamnya ada manajemen orang, manajemen tugas, manajemen
target, manajemen kompetensi dan lain-lain.
Sekarang, bila
kita lihat permasalahan resign-nya
Pak Rustam ini hanya dari sisi resign-nya
(baca: ke-organisasi-an), tanpa memasukkan dugaan-dugaan politis, pertanyaannya
adalah : “Benarkah keputusan mundur Pak Rustam itu tidak pantas ? tidak
profesional ?.”
Tentu saja
jawabannya adalah tidak !. Mundur dari pekerjaan karena faktor atasan adalah
sesuatu yang lumrah, wajar dan oleh karenanya dapat dimaklumi.
Penyebab Turnover
Berbeda
dengan institusi pemerintahan, di korporasi swasta isu turnover menjadi salah satu topik yang tidak pernah ada habisnya
dibahas. Dalam hal ini, turnover yang
dimaksud adalah keluarnya karyawan dari perusahaan atas kemauan sendiri. Biasa
kita kenal dengan istilah resign (mengundurkan
diri). Pihak perusahaan selalu penasaran; “Apa sih yang membuat karyawan-karyawan pada cabut ?.”
Referensi
yang paling populer untuk mempelajari masalah resign ini adalah penelitian yang dilakukan oleh lembaga Gallup.
Sebuah lembaga yang mendedikasikan diri pada penelitian dan pengembangan dunia
manajemen organisasi. Pada tahun 2006, mereka menggelar survey perihal resign tersebut dan diperoleh hasil sebagai
berikut :
- Penyebab tertinggi karyawan resign ialah alasan pengembangan karir dan kesempatan promosi (31,5 %),
- Sebanyak 20,2 % responden menyatakan bahwa alasan mereka resign lebih karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang mereka jalani (job fit),
- Alasan lingkungan kerja atau manajemen yang tidak kondusif dipilih oleh 16,5 % responden,
- Sekitar 9-10 % responden resign karena faktor jam kerja dan jaminan sosial bagi tenaga kerja.
Di mana
faktor atasan ?.
Seperti
yang bisa dilihat, poin 1 sampai 3 merupakan hal-hal yang berada di bawah
pengelolaan seorang atasan. Masalah promosi karyawan bukan semata-mata soal ada
atau tidaknya sistem di perusahaan yang mengatur karir karyawannya. Sering kali
atasan memiliki sense yang tumpul
dalam memilah siapa di antara anak buahnya yang berprestasi, punya potensi dan
kompeten. Keputusan promosi dari atasan tak jarang hanya memunculkan kontroversi di kalangan karyawan. Demikian pula masalah kecocokan dengan pekerjaan. Terkadang hal ini
menjadi masalah bukan karena soal struktural organsasi, tetapi memang atasannya
saja yang kurang bisa membaca kemampuan bawahan sehingga kurang bisa
mengarahkan mereka untuk mendapatkan amanah tugas yang sesuai.
Secara
spesifik, faktor atasan masuk ke dalam poin 3 yakni lingkungan kerja/ manajemen
yang tidak kondusif. Gallup mengidentifikasi ada 9 (sembilan) situasi di
lingkungan kerja yang membuat seorang karyawan tidak betah bekerja, yaitu :
- Atasan yang tidak mampu menjelaskan kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan bisa dikerjakan dan dicapai oleh mereka (unclear expectation),
- Atasan yang kurang peduli pada bawahan,
- Atasan yang kurang memotivasi bawahan untuk dapat mengembangkan dirinya,
- Karyawan merasa pendapat atau ide-idenya kurang diakomodir dan dihargai,
- Memiliki rekan kerja yang tidak kompeten,
- Karyawan merasa bahwa pekerjaan yang dia lakukan tidak dinilai penting oleh perusahaan. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak ada korelasinya dengan pencapaian visi perusahaan,
- Tidak adanya dukungan fasilitas kerja yang memadai sehingga karyawan tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik,
- Karyawan merasa kurang leluasa untuk melakukan sebuah pekerjaan dalam cara yang menurutnya terbaik,
- Karyawan memandang bahwa kesempatan untuk belajar (mempelajari hal-hal yang menambah kompetensi) di perusahaan sangat kecil.
Siapa yang pertama harus berintrospeksi ?
Selama
kurang lebih 30 tahun, Gallup menaruh perhatian pada konsep yang mereka sebut
dengan workplace engagement. Melalui
konsep ini, Gallup mencoba menerangkan mengapa sebagian karyawan ada yang
sangat membaur dengan pekerjaannya dan sebagian lagi tidak. Engaged employee didefinisikan sebagai
karyawan yang terlibat (involved in),
antusias dan berkomitmen terhadap pekerjaan serta perusahaannya. Istilah engaged tidak sekedar menunjukkan adanya
ikatan antara karyawan dengan perusahaan. Oleh karenanya, dalam tulisan ini padanan
kata yang dipilih untuk mengganti engagement
dalam Bahasa Indonesia ialah keeratan.
Hubungan
antara tingkat keeratan dan turnover
sangat jelas. Jika karyawan memiliki tingkat keeratan yang tinggi, maka dia
akan cenderung bertahan lama pada pekerjaan dan perusahaannya. Sebaliknya, bila
karyawan memiliki tingkat keeratan yang rendah, semakin cepat karyawan
meninggalkan perusahaan.
Banyak
elemen di tempat kerja (workplace)
yang dapat memengaruhi keeratan karyawannya, mulai dari yang bersifat fisik
sampai yang non-materil. Hasil survey Gallup menunjukkan bahwa tingkat keeratan
karyawan, 70 %-nya dipengaruhi oleh peran para atasan. Dari 7.272 responden
yang ditanya, separuhnya (50 %) resign
karena faktor atasan.
Survey juga
menanyakan kepada responden; “Perilaku apa yang menjadi kunci dari peran atasan
?.” Sebanyak 7.712 orang menjawab bahwa ada 3 (tiga) perilaku utama yang jika
seorang atasan dapat melaksanakannya dengan benar maka jadilah dia the best boss ever, namun jika tidak
becus, jadilah atasan the common enemy
bagi para bawahan. Ketiga perilaku itu adalah :
- Komunikasi kepada bawahan yang intens dan berkualitas,
- Kejelasan arahan kerja. Dapat menunjukkan kepada bawahan hubungan antara pekerjaan mereka dengan target besar perusahaan yang akan dicapai,
- Fokus pada aspek yang menjadi kelebihan bawahan, bukan “menghajar” habis-habisan kekurangan/ kesalahan-kesalahan bawahan.
Jadi, ketika diketahui bahwa ada karyawan yang resign karena alasan tidak cocok dengan atasan. Siapakah pihak yang pertama kali harus berintrospeksi ?. Mengacu kepada hasil penelitian, telunjuk mesti dituduhkan kepada si atasan dulu. Mereka harus segera mengkaji diri; “Hal apa yang telah saya lakukan selama ini pada bawahan sehingga akhirnya mereka mundur ?.” Jika disimpulkan, keseluruhan hasil penelitian pada ujungnya seolah menegaskan sebuah pemeo yang berbunyi; “People leave their boss, not the company.”
No comments:
Post a Comment