Saturday, May 8, 2010

NABI PALSU DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI

“Apakah nabi-nabi palsu itu bisa dikatakan orang-orang yang sehat mental ?”, atau lebih gamblang lagi; “Gilakah mereka itu ?”.
Kemunculan seseorang yang menyatakan diri sebagai nabi, mesias (juru selamat) atau bahkan mengaku sebagai tuhan, bukanlah sesuatu hal yang baru baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Di Amerika, kita mengenal Anton Szandor La Vey yang mendirikan sekte gereja setan (church of satan) dan juga menulis Satanic Bible sebagai kitab suci agama barunya. Sathya Sai Baba, seorang penduduk India, belakangan ini namanya semakin mencuat setelah menobatkan diri sebagai tuhan. Bob Marley, penemu aliran musik reggae dari Jamaika juga termasuk golongan orang yang mengaku bahwa dirinya adalah nabi. Di Indonesia, sejak dahulu sampai sekarang sudah banyak tercatat nama-nama orang yang menjadi terkenal karena keberanian mereka untuk menyatakan diri sebagai nabi atau tuhan. Nama-nama seperti; Syekh Siti Jenar, Lia Aminudin (Agama Salamullah), Mangapin Sibuea (Sekte Hari Kiamat / Jemaat Pondok Nabi), Ahmad Moshaddeq (Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah), atau Ahmad Sayuti, mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita.

Selama ini, setiap kali berita keberadaan nabi palsu beserta ajarannya muncul ke permukaan, wacana yang berkembang ialah seputar “normal atau tidak normalnya” perilaku mereka dari sudut pandang agama. Keberadaan mereka lebih banyak dibahas dari segi isi ajarannya; menyimpang atau sejalankah dengan ajaran yang sudah baku. Kontroversi yang dibicarakan selalu seputar berhakkah suatu institusi agama menyesatkan keyakinan “baru” yang dianut oleh mereka para nabi palsu. Jarang sekali atau bahkan belum ada studi yang membahas isu nabi palsu ini dari kaca mata psikologi. Padahal studi psikologis ini sangat penting, karena dengan demikian kita bisa mengetahui normal atau tidak normalnya tindakan-tindakan para nabi palsu. Kita mungkin selalu bertanya-tanya; “Apakah nabi-nabi palsu itu bisa dikatakan orang yang sehat mental ?”, atau lebih gamblang lagi; “Gilakah mereka itu ?”.

Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV), yakni suatu pedoman keluaran American Psychologist Association (APA) yang berisi daftar panjang jenis-jenis gangguan jiwa beserta gejala-gejalanya. Terdapat suatu gangguan jiwa yang disebut dengan delusi messianic. Sebuah tipe gangguan yang membuat pengidapnya merasa bahwa dirinya hadir ke dunia sebagai seorang mesias, juru selamat yang akan mengangkat manusia dari keterpurukan. Seorang delusi messianic tidak timbul begitu saja. Ia merupakan buah hasil pengalaman hidup yang panjang. Anton T. Boisen – pakar psikologi agama asal Amerika – menyatakan bahwa gangguan ini muncul karena terjadinya konflik moral yang berat dan berkepanjangan dalam diri individu.


Apa itu Delusi ?

Delusi ialah salah satu bentuk perilaku abnormal. Jenis gangguan ini biasanya (tapi tidak selalu) ditemukan pada orang-orang schizophrenia. Umumnya, delusi itu didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang salah (false belief). Dalam konteks patologi, Prof. Sutardjo AW – guru besar Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran – mengartikan delusi  sebagai gagasan atau pendapat bahwa seorang individu meyakini suatu kebenaran, yang kemungkinan besar bahkan hampir pasti (keyakinannya itu – pen), jelas, tidak mungkin (terjadi – pen).
            Ciri-ciri dari sebuah delusi adalah :
a.       Keyakinan – yang salah – ini mustahil terjadi secara mutlak.
b.      Orang-orang yang mengalami delusi mencari bukti-bukti untuk mendukung keyakinan mereka, berusaha untuk meyakinkan orang lain, dan melakukan tindakan-tindakan tertentu berdasarkan keyakinan tersebut.
c.       Orang yang mengalami delusi akan terkuasai oleh keyakinan yang dianggapnya benar itu. Sangat bertahan dan mengacuhkan fakta-fakta atau argumen-argumen masuk akal yang berlawanan dengan keyakinan mereka. Malah bisa jadi, semua argumen yang melawan mereka itu dianggap sebagai konspirasi untuk membungkam mereka atau mereka jadikan sebagai bukti kebenaran atas keyakinannya.

Munro (1999) berpendapat bahwa meskipun keyakinannya dipegang secara sangat mendalam dan kuat, di dalam diri seorang pengidap delusi masih sering terdapat kerahasiaan atau keraguan.
Keyakinan yang salah, yang dipegang teguh orang pengidap delusi berasal dari informasi yang salah atau tidak lengkap, atau merupakan dampak tertentu dari persepsi yang tidak benar (sering disebut ilusi).  
Ada banyak tipe delusi, yakni : delusi penyiksaan (persecutory), delusi kebesaran (grandiose), delusi rujukan (reference), delusi diawasi (being controlled), delusi somatik, delusi erotomanik (erotomanic), delusi kecemburuan (jealousy) dan tipe lainnya. 
Masing-masing tipe diberi nama sesuai dengan keyakinan seperti apa yang dimiliki oleh seseorang. Misalnya, delusi kecemburuan, diberi nama demikian karena si pengidapnya memiliki keyakinan (walau terbukti tidak benar) bahwa pasangannya sangat tidak bisa dipercayai.
Dalam DSM IV, para psikolog Amerika yang tergabung dalam APA (American Psychologist Association) menambahkan satu tipe delusi lagi, yaitu apa yang disebut dengan delusi mesianik. Sesuai dengan namanya, mesianik berasal dari kata mesias, mesiah, al-masih, yang berarti juru selamat. Orang dengan tipe delusi seperti ini memiliki keyakinan bahwa ia adalah seorang juru selamat yang hadir ke muka bumi guna menyelamatkan segenap umat manusia. Penyebab utamanya ialah konflik moral yang sangat berat dalam diri individu. Anton T. Boisen, menyatakan bahwa akar konflik moral ini ialah hubungan kasih sayang seseorang.
Grof dan Grof menggambarkan konflik moral ini sebagai suatu krisis identitas yang kemudian berujung pada keyakinan bahwa nilai-nilai lama yang dulu dipegang erat (bisa berarti norma agama) tak akan bertahan lama.  Konflik moral menuntut tanggung jawab, yang lalu diselesaikan melalui delusi mesianik.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa faktor kebudayaan tidak dapat dilepaskan. Kebudayaan yang berbeda dapat mengakibatkan masalah spesifik yang berbeda pula. Misalnya, untuk tipe persecutory (penyiksaan), orang Amerika cenderung merasa takut kalau orang CIA akan menangkap mereka, sedangkan di Jepang orang-orang lebih takut menjadi bahan fitnah orang lain.
             Contoh lainnya ialah, orang-orang Islam yakin bahwa jin mempunyai daya kekuatan untuk menampilkan diri (dalam berbagai bentuk) secara kasat mata. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bila seseorang merasa melihat pocong, kuntilanak, genderuwo dan makhluk-makhluk halus lainnya. Akan tetapi, bagi orang Amerika yang mengutamakan teknologi dan cenderung tidak percaya hal-hal yang berbau gaib, pandangan orang Islam itu sangat mungkin dianggap sebagai sebuah delusi.

4 comments:

  1. mungkin ini salah satu tanda dari sudah dekatnya hari kiamat. untuk masalah gila or tidak itu bisa saja terjadi sepeti Delusi yang anda sebutkan bahwa keyakin yg salah dan cenderung meyakinkan orang lain.
    jelas ini merupakan tanda-tanda hari kiamat, contoh tanda2 lain seperti yang sedang ramai dibicarakan benda planet berjatuhan.
    subhanallah ..

    ReplyDelete
  2. Tulisan ini spektrumnya luas sekali.

    Apakah memang benar pemimpin Cult itu mengidap waham kebesaran atau dia manipulator atau entah apa, sangat tak jelas. Apalagi nama Syeh Siti Jenar ikut didaftar di sini.

    Barangkali studi yang fokus pada satu dua pemimpin cult yang punya waham kebesaran justru dapat meningkatkan kredibilitas klaim utama dalam artikel di atas.

    ReplyDelete
  3. Waktu Nabi Muhammad SAW diutus ke bumi membawa risalah, belum ada pelajaran psikologi.
    Didalam salah satu ayatNya Allah berfirman bahwa akan ada hijab antara Allah dengan makhlukNya ketika peristiwa penyampaian ayat.
    Dalam ayat lain diberitakan juga bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir.
    Jadi kita semua harus menyadari bahwa, berbicara dengan Allah adalah ilusi yang sesat inisiatip setan yang terkutuk

    ReplyDelete