Akhir Juni 2011, SMKN 1
Sukabumi
Saya duduk bersampingan,
selang satu kursi, dengan Pak Manager. Posisi saya agak mundur, sehingga saya bisa
melihat ujung pena Pak Manager sudah mengarah ke dua kolom terbawah dari
formulir wawancara; kolom LULUS dan TIDAK LULUS. Dalam hati saya berkata;
“Saatnya pertanyaan pamungkas !.”
Sesuai dugaan,
terlontarlah pertanyaan final tersebut dari mulut Pak Manager :
“Kamu kan tadi saya jelaskan di awal, harus mengikuti pendidikan 3 bulan
di Kalsel, selama pendidikan tidak boleh pulang sama sekali. Nah sekarang, baru 1 minggu kamu ke
sana, tiba-tiba orang rumah nelpon;
‘Ibu sakit !,’ kamu diminta pulang… (menghela napas dengan berat, membuat
suasana dramatis)… kamu pulang atau enggak
?”
Tanpa pikir panjang,
mungkin karena didorong keinginan untuk bekerja yang terlampau besar, yang
diwawancara (anak baru lulus SMK) sigap menjawab :
“TIDAK pulang pak !”
Pak Manager tersenyum
kecut, kepalanya menunduk kemudian sedikit menggeleng-geleng. Si anak yang diwawancara
nampak kaget melihat respon Pak Manager, ketakutan kalau ia sudah salah jawab.
“Begini…. Kamu jangan
buru-buru jawab, coba bayangkan situasinya dengan benar… resapi, hayati…,” Pak
Manager berujar dengan nada berat (tingkat dramatisasi naik se-level lebih tinggi).
“Sekarang saya tanya lagi.
Yang nelpon adalah ibumu sendiri.
Menjelaskan kalau dirinya sedang sakit dan memintamu pulang… (menghela napas
dengan berat lagi)… Kamu pulang atau tidak ?,” lanjut Pak Manager.
Si anak kini nampak
berpikir keras, mencoba mencari formulasi jawaban yang kira-kira pas untuk
meloloskannya masuk ke perusahaan kami. Dan akhirnya dia pun menjawab :
“Saya ikuti kebijakan
perusahaan Pak, saya coba ajukan izin beberapa hari, kalau diizinkan
perusahaan, saya pulang,” jawabnya, diplomatis.
Pak Manager menyeringai
lebar sambil berkata :
“Perusahaan mengizinkan
kamu pulang, silakan kamu pulang tapi kamu gak
usah balik lagi ke pusat pelatihan,” counter
attack yang mantap dari Pak Manager, secara halus menjelaskan bahwa kalau
ingin pulang tidak ada jalan selain mengundurkan diri.
“Bagaimana ? Masih tetap
akan pulang ?”
“Kalau begitu, tidak saja
Pak !”
“Ibumu lho yang telpon ! Mau jadi anak durhaka
?”
“…………….” (terdiam, tengok
kanan-kiri, nampak bingung).
“Pulang Pak… Iya Pak, saya
yakin pulang,” jawab si anak dengan lemah.
Sampai situ sesi wawancara
berakhir, si anak disuruh meninggalkan ruangan dan menunggu pengumuman hasil
seleksi-nya besok pagi.
Waktu itu ada 21 orang
yang kami wawancara (semuanya fresh
graduate SMK) dan otomatis saya juga sudah mendengar 21 kali pertanyaan;
“Ibumu sakit, pulang atau tidak ?.” Sambil memberesi peralatan, saya penasaran
bertanya kepada Pak Manager mengenai pertanyaan pamungkasnya tersebut.
“Sebetulnya jawaban apa
yang Bapak harapkan dari mereka ?,” tanya saya sembari memasuk-masukkan berkas
ke dalam tas.
“Pulang,” jawabnya
singkat.
“Alasannya Pak ?”
“Orang itu harus memiliki
tingkat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya, orang di sekitarnya.
Terlebih lagi pada orang yang telah berjasa pada dirinya. Jangan lupa kacang
pada kulitnya. Setiap orang harus sadar bahwa kesuksesan yang dia capai dalam
karir, dalam hidup, itu semua tidak bisa terlepas dari kontribusi orang lain. Hal
itu yang saya ingin ketahui; apakah anak-anak itu (kandidat yang diwawancara)
memiliki kepedulian tersebut ?. Ibu sendiri yang nyuruh, masak gak pulang
? Banyak orang sukses sekarang San (panggilan untuk nama saya, Ihsan), tapi
sedikit yang mau menyadari; ada siapa di balik kesuksesan mereka. Tidak ngerti arti ‘jaga nama baik’ orang lain,
sedikit balas budi, egois, cuma mikirin
diri sendiri.”
Penjelasan Pak Manager
memperlambat gerakan saya. Tiba-tiba pikiran saya langsung bercabang,
meraba-raba; jangan-jangan saya egois, jangan-jangan saya durhaka pada orang
tua.
Pikiran saya terlempar
jauh ke belakang, tertambat pada serentetan kejadian yang baru dialami sebulan
sebelumnya…….
Mei
2011, di salah satu Kabupaten hasil pemekaran dari Kab. Kutai Timur
Proses penerimaan tenaga
kerja dengan sumber warga sekitar project
(yang biasa melabeli diri mereka dengan “putra daerah”) memasuki fase paling
“heboh,” yakni pengumuman akhir hasil seleksi; siapa BERGABUNG dan siapa yang
GUGUR masuk ke perusahaan. Satu per satu tim kami giliran mendapatkan
“intimidasi” dari warga yang kecewa karena gagal seleksi. Tiada hari tanpa warga
yang datang ke kantor dan “teriak-teriak,” entah pagi, siang, sore bahkan
sampai malam hari.
Pada waktu itu usia kerja
saya sangatlah masih muda. Baru 1 bulan bekerja sudah diterjunkan untuk
menangani perekrutan warga “lokal” di wilayah project berada. Saya yang baru lulus perkuliahan sama sekali tidak
membayangkan bahwa perekrutan bakal “se-seru” ini. Memang sempat sebelumnya
mendengar kabar dari beberapa orang bahwa karakteristik orang di wilayah tugas
saya tersebut “sulit-sulit,” sehingga wejangan “Hati-hati Pak Ihsan !,” cukup
sering saya telan menjelang keberangkatan tugas. Ketika mental, pikiran dan
pengalaman masih “unyu-unyu” (begitu
kata anak zaman sekarang untuk mengganti istilah lugu), beban tugas yang
diberikan benar-benar sudah menguras nyali.
Stress yang saya rasakan kala itu dapat
digambarkan dalam kalimat; “Ingin kabur !.” Pada saat yang sama, kabar duka
meluncur dari Sukabumi nun jauh di seberang sana. “Bapak masuk Rumah Sakit !,”
lapor Ibu di telepon.
Dikabarkan bila kondisi
Bapak benar-benar buruk. Tekanan darah tidak sampai 70, sehingga badannya
hampir tak bertenaga. Racun ureum yang tidak terbersihkan secara sempurna dari
proses cuci darah sudah merasuk ke ubun-ubun, membuat Bapak sering mengigau di
saat tidur, melantur di waktu bangun, belum lagi nuansa emosinya yang
naik-turun. Sempat terlontar dari kakak kedua saya bahwa ini mungkin saatnya
jam kehidupan Bapak berhenti bergerak.
Dalam kondisi – yang
menurut laporan orang rumah, Bapak sudah sering ngawur tersebut – pada satu kesempatan hubungan telepon, Bapak
terjaga dan ingat masih ada satu anaknya yang tidak kumpul menungguinya di
Rumah Sakit. Secara langsung, Bapak saya sendiri yang berbicara di telepon,
meminta saya pulang; “Ade balik (Ade pulang) !,” ujar Bapak, singkat dan tegas.
Kabar duka tersebut
sekaligus menjadi angin segar bagi saya. Kesempatan emas untuk bisa “lari” dari
hiruk-pikuk proses perekrutan yang melelahkan batin. Namun di sisi lain, hati
tetap tidak tega meninggalkan tugas begitu saja.
Saya benar-benar
dipermainkan antara pilihan; tetap di project,
bertahan bersama tim paling tidak sampai tensi agak mereda atau ajukan formulir
izin, pulang ke Sukabumi.
Apakah saya pulang ?
Tidak. Saya bahkan tidak
berusaha untuk mencari formulir izin. Keyakinan saya hanya satu bahwa tim masih
membutuhkan saya untuk menuntaskan pekerjaan. Setiap hari saya kontak orang
rumah dan setiap telepon tersebut, orang rumah selalu mengingatkan untuk segera
pulang. Apa yang membuat saya agak lega ialah masih adanya kalimant; “…kalau
tugasnya sudah selesai,” yang tersisip dalam dialog.
Saya bertahan hingga Bapak
Kabag HR menemui saya, bercerita bila dia baru saja dikontak dari Kantor Pusat,
mendapat titah dari Pak Manager HR untuk mengakhiri masa tugas saya di project. Waktu saya pulang tersebut,
Bapak sudah genap dirawat 2 minggu di Rumah Sakit.
Maret
2013, Kantor Pusat PT.RML (Bekasi Barat)
Bulan
Maret ini dibuka dengan suasana hati menyebalkan. Di minggu pertama, dari site (sebutan untuk distrik kerja) Berau dilaporkan bahwa satu karyawan
FGDP (Fresh Graduate Development Program
– sebuah program khusus untuk karyawan yang baru lulus kuliah) telah “kabur.” Modusnya
ialah yang bersangkutan izin untuk pulang (domisilinya di Jakarta) selama 3
hari dengan alasan kakeknya meninggal. Dikatakan kabur karena sampai
sekarangpun (sampai tulisan ini dibuat), karyawan tersebut belum kembali ke site ataupun melapor ke Kantor Pusat,
padahal sudah dilakukan pemanggilan secara layak, baik via telepon ataupun
surat.
Hal
yang menggelikan ialah cerita dari orang site
bahwa saat si karyawan meninggalkan site,
seluruh perlengkapannya dibawa bahkan sampai ke selimut. Sudah
meng-indikasi-kan bahwa karyawan tersebut memang sudah niat untuk tidak
kembali. Membuat kami, baik yang di Kantor Pusat maupun site menjadi sangsi; jangan-jangan alasan kakeknya meninggal itu
fiktif belaka. Dari awal si karyawan masuk ke perusahaan kami sampai akhirnya
dia menghilang, usia kerjanya baru 1 bulan saja.
Satu
minggu berselang, dari site lain
dilaporkan hal yang serupa, lagi-lagi untuk karyawan FGDP. Kali ini alasan ibu
sakit. Hampir sama, dari pihak site
diberi izin dan sampai kini batang hidungnya belum kelihatan lagi. Untuk kejadian
yang kedua ini lebih luar biasa, karena usia kerjanya baru 2 minggu.
Dua
kejadian berturut-turut ini, seakan menampar saya selaku orang yang bertanggung
jawab dalam hal recruitment. Secara
pribadi saya merasa gagal, karena baru kali ini kejadian karyawan FGDP “kabur”
begitu cepat. Sebelum-sebelumnya, paling tidak mereka bisa menahan diri sampai
2 bulan di site. Di perusahaan kami,
setiap 2 bulan, karyawan berhak mendapat jatah cuti selama 2 minggu. Pada saat
cuti itulah biasanya mereka manfaatkan untuk melarikan diri, hingga terkenal
singkatan CTK (Cuti Tak Kembali) atau CLBK (Cuti Lama Belum Kembali) di
kalangan orang-orang site. Belum lagi
saya harus menebal-nebalkan telinga untuk mendengar orang berseloroh; “Kok bisa
yang kayak begitu lolos seleksi San ?.”
Ugh, Maret ini benar-benar
menjengkelkan !.
* * *
“Bapak saya sekarat saja,
saya gak pulang !,” ucap saya dengan
lantang, emosi.
Yang
diajak bicara, atasan langsung saya, Kasie. Personalia hanya tersenyum.
“Coba
Pak ditekankan ke pihak site agar
tidak memberi izin kepada karyawan kecuali untuk izin-izin yang tertera di
Peraturan Perusahaan saja, nanti ada lagi yang izin karena Pak RT meninggal !,”
tambah saya, masih dengan emosional.
“Susah
San, yang begini-begini nih susah,
perasaan kemanusiaan masalahnya ini…,” jawab beliau.
Saya
berhenti berkicau. Sampai titik ini saya juga memahami bahwa untuk urusan yang
menyentuh ranah “afeksi,” orang sering “salah tingkah,” serba bingung. Jika
dilarang, rasanya kasihan meskipun paham bahwa tidak ada yang namanya kakek
meninggal atau ibu sakit diberikan izin pulang. Jika diperbolehkan, itu namanya
si pemberi izin – yang notabene paham Peraturan Perusahaan – telah melakukan pelanggaran
dengan memberikan izin untuk hal yang tidak semestinya.
Beralih
ke rekan kerja yang duduk bersebelahan, saya bertanya;
“Fair-kah saya Bu bila membandingkan apa
yang saya alami dengan orang lain, sehingga saya mengharapkan apa yang saya
lakukan, juga ikut ditunjukkan oleh orang lain ?”
Rekan
kerja saya tidak langsung menjawab. Beliau nampak berpikir terlebih dahulu.
Dengan nada suara yang kurang begitu yakin, beliau menjawab;
“Mmmm…
saya kira, kalau memang orang itu punya itikad kerja yang baik… mereka akan
melakukan hal yang sama dengan Mas. Kejadian ditinggal mati ayah, ibu, istri,
anak sedangkan si karyawan ada di site,
itu sudah tidak aneh lagi. Padahal tidak sedikit karyawan itu sudah tahu kalau
anggota keluarga mereka tersebut sudah dalam kondisi mengkhawatirkan, tapi
tetap mereka bertahan sampai akhirnya dikabari kalau sudah… yaaaa gitu deh…
Itu konsekuensi sih Mas, kalau kerja
jauh ya mau enggak mau seharusnya
karyawan itu harus sudah berpikir jauh ke arah sana, kemungkinan untuk
kehilangan ‘momen berharga’ di keluarga itu menjadi kecil… Untuk kejadian yang
sekarang, terlepas dari mereka itu sebenarnya bohong atau benar, seyogya-nya
mereka juga sadar akan hal itu, gitu lho Mas,
jadi gak gampang panikan, dikit-dikit minta izin pulang… tapi
kalau bohong, yo kebangeten Mas !”
Jawaban
rekan kerja tersebut mengingatkan saya ke bulan Desember tahun lalu, ketika
kami menggelar acara assessment
karyawan di Balikpapan. Kami bertemu dengan seorang staf yang baru saja “resmi
jadi Bapak”; anak pertamanya lahir sebulan lalu di Pulau Jawa. Tentu saja kami
mengira bahwa karyawan bersangkutan sudah menjenguk anaknya (dengan mengambil
izin istri melahirkan, sesuai dengan Peraturan Perusahaan).
“Endak Pak, saya endak pulang, mau gimana pulang, baru ada accident di tambang, kerjaan lagi repot-repotnya. Padahal istri
saya lahirannya repot lho katanya Pak, sampai harus di-vacuum !,” ujarnya.
“Lah orang rumah gimana dong ?,” tanya saya, heran.
“Saya
waktu itu minta kepastian, apakah saya harus pulang atau tidak, saya jelaskan
situasi di site seperti apa. Ibu saya
dan ibu mertua saya bilang kalau saya endak
harus pulang, nanti saja pas cuti, toh
ada mereka di sana, saya pulangpun kan
tetep pas anaknya sudah lahir, bukan pas istri saya sedang susah-susahnya
proses lahiran,” jawabnya.
“Jadi
kapan cuti ?”
“Harusnya
sih beres acara assessment ini saya cuti Pak Ihsan.”
“Kok harusnya ? Emang mau ke mana lagi ? Mundur cutinya ?”
“Ya
balik ke site lah Pak, masih ada yang
harus dibantu-bantu, minggu depan baru cuti, mundur seminggu gak apa-apa lah Pak.”
“Oalaaaaah……
ck ck ck…”
Konklusi
Nampaknya
untuk karakter pekerjaan yang mengharuskan seseorang pergi meninggalkan keluarga
dalam waktu relatif lama, memang memerlukan perlakuan khusus. Dalam hal ini
sifatnya lebih ke langkah-langkah persiapan. Tidak hanya bagi si karyawan,
melainkan juga melibatkan pihak keluarga dan perusahaan.
Dari
sekian kejadian yang tergambarkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, saya menyimpulkan
bahwa hal-hal yang mesti lebih dipersiapkan tersebut ialah sebagai berikut :
Bagi
(Calon) Karyawan itu Sendiri
1.
Perbincangan
antara karyawan dengan keluarga mengenai konsekuensi harus pisah dalam jangka
waktu tertentu, harus dimulai sedari dini, yakni dari awal si karyawan memulai
proses mencari kerja. Banyak yang berpikir; “Itu saya bicarakan nanti saja
kalau sudah ketahuan diterima atau tidaknya di perusahaan.” Justru ketika
perbincangan mengenai hal ini baru dimulai saat seseorang akan tanda tangan
kontrak, sudah termasuk terlambat.
Kalau ternyata pihak
keluarga tidak setuju, sehingga tanda tangan kontrak terpaksa tidak jadi,
bukankah ini hal yang merugikan ?. Rugi bagi perusahaan karena sudah
mengeluarkan sejumlah biaya untuk melakukan proses penerimaan, sudah siap
gabung eh malah tidak jadi. Dampaknya,
bisa saja perusahaan memasukkan orang tersebut ke dalam daftar black list pelamar, sehingga tertutup
sudah kesempatan orang tersebut untuk bisa berusaha masuk ke perusahaan di lain
waktu. Rugi juga bagi si calon karyawan karena sudah mengeluarkan usaha, menyempatkan
waktu, bahkan mungkin menghabiskan sejumlah biaya. Belum lagi si calon karyawan
mungkin kecewa karena merasa keluarganya sendiri malah menghambat keinginannya
untuk kerja jauh.
Hal yang biasanya membuat
kandidat belum membicarakan sedari awal mengenai kemungkinan kerja jauh ialah
perasaan bahwa dirinya akan diberi kebebasan penuh oleh keluarganya dalam
memilih. “Orang tua saya sih pasti
terserah saya, kalau orang tua kan
yang penting anaknya seneng, ya
izinkan saja, buktinya saya dari Medan tapi boleh kuliah di Yogya.” Agak keliru
jika berpandangan demikian karena orang tua pada dasarnya ialah tetap “orang lain
bagi kita” yang kita tidak tahu persis apa isi dalam hati dan pikiran mereka.
Siapa tahu justru orang tua sampai hati merelakan anaknya sekolah jauh itu
dengan harapan setelah lulus bisa kembali pulang; bekerja di kampung halaman
dan tinggal bersama mereka.
2. Perbincangan
seperti yang tersebut pada poin 1, tentu saja tidak sekedar obrolan “dangkal”; “Bu/Pak,
kalau saya kerja jauh, apakah boleh ?.” Melainkan merupakan perbincangan yang
mendalam, berisi segala kemungkinan-kemungkinan kejadian yang mungkin dialami
selama masa perpisahan tersebut. “Kalau Ibu sakit bagaimana ?,” “Kalau Bapak
meninggal bagaimana ?,” “Kalau kakakmu menikah, bisa pulang atau tidak ?,” dan
sebagainya. Membicarakan hal-hal yang “pahit” bagi sebagian orang akan nampak lebay (berlebihan); kerjanya juga belum kok sudah jauh/ribet banget
pemikirannya. Padahal dengan membicarakan hal-hal tersebut bisa memunculkan deal antara calon karyawan dengan
keluarganya dalam menghadapi suatu masalah atau kemungkinan masalah.
Bagi
Keluarga (Calon) Karyawan
Bagi keluarga yang akan
ditinggalkan karyawan, penting bagi mereka untuk memastikan bahwa mereka bisa
memberikan social support yang
memadai (sehat) bagi si karyawan. Tidak mudah memberikan informasi-informasi yang
menjadi stressor bagi karyawan,
sehingga si karyawan menjadi panik, bingung, alhasil si karyawanpun tidak bisa
nyaman bekerja. Hal tersebut bisa tercapai hanya jika pihak keluarga bisa
mengambil alih peran sehari-hari si karyawan di rumah ketika karyawan tersebut
pergi. Mereka bisa menangani segala hal atau masalah yang biasanya diselesaikan
ketika karyawan ada di rumah. Contoh sederhananya ialah sebagaimana yang
tercantum di petikan dialog saya dengan salah seorang staf site, di Balikpapan. Dalam dialog tersebut terlihat keluarga bisa
menjamin bahwa masalah dapat tertangani (istri trouble dalam proses melahirkan) meskipun tanpa dampingan suami.
Bagi Perusahaan
1.
Perusahaan
nampaknya perlu juga untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai
konsekuensi-konsekuensi yang akan calon karyawan hadapi ketika mereka harus
pergi meninggalkan keluarga. Penjelasan ini bahkan diberikan jauh-jauh saat
proses penerimaan baru memasuki tahap awal seleksi.
2.
Perusahaan
juga seyogyanya bisa merangkul pihak keluarga, misalnya dengan mensyaratkan
adanya surat izin dari keluarga dalam proses menuju tanda tangan kontrak. Di saat proses penerimaan karyawan berada di
titik hampir akhir (tanda tangan kontrak), penjelasan yang termaksud pada poin
1 mesti sekali lagi lebih ditegaskan dengan mengacu kepada implementasi nyata
berdasarkan Peraturan Perusahaan yang berlaku.
Terima kasih Pak, untuk coretannya di blog ini..
ReplyDeleteterima kasih, banyak pelajaran yg bisa saya ambil dari tulisan bapak.
Keren pak tulisannya, banyak hal yang bisa kita petik dari pengalaman yang dipaparkan.
ReplyDeleteSemoga saya diberikan kesempatan di fgdp dalam waktu dekat ini