Friday, March 15, 2013

IBUMU SAKIT, PULANG ATAU TIDAK ?



Akhir Juni 2011, SMKN 1 Sukabumi
Saya duduk bersampingan, selang satu kursi, dengan Pak Manager. Posisi saya agak mundur, sehingga saya bisa melihat ujung pena Pak Manager sudah mengarah ke dua kolom terbawah dari formulir wawancara; kolom LULUS dan TIDAK LULUS. Dalam hati saya berkata; “Saatnya pertanyaan pamungkas !.”
Sesuai dugaan, terlontarlah pertanyaan final tersebut dari mulut Pak Manager :
“Kamu kan tadi saya jelaskan di awal, harus mengikuti pendidikan 3 bulan di Kalsel, selama pendidikan tidak boleh pulang sama sekali. Nah sekarang, baru 1 minggu kamu ke sana, tiba-tiba orang rumah nelpon; ‘Ibu sakit !,’ kamu diminta pulang… (menghela napas dengan berat, membuat suasana dramatis)… kamu pulang atau enggak ?”
Tanpa pikir panjang, mungkin karena didorong keinginan untuk bekerja yang terlampau besar, yang diwawancara (anak baru lulus SMK) sigap menjawab :
“TIDAK pulang pak !”
Pak Manager tersenyum kecut, kepalanya menunduk kemudian sedikit menggeleng-geleng. Si anak yang diwawancara nampak kaget melihat respon Pak Manager, ketakutan kalau ia sudah salah jawab.
“Begini…. Kamu jangan buru-buru jawab, coba bayangkan situasinya dengan benar… resapi, hayati…,” Pak Manager berujar dengan nada berat (tingkat dramatisasi naik se-level lebih tinggi).
“Sekarang saya tanya lagi. Yang nelpon adalah ibumu sendiri. Menjelaskan kalau dirinya sedang sakit dan memintamu pulang… (menghela napas dengan berat lagi)… Kamu pulang atau tidak ?,” lanjut Pak Manager.

Si anak kini nampak berpikir keras, mencoba mencari formulasi jawaban yang kira-kira pas untuk meloloskannya masuk ke perusahaan kami. Dan akhirnya dia pun menjawab :
“Saya ikuti kebijakan perusahaan Pak, saya coba ajukan izin beberapa hari, kalau diizinkan perusahaan, saya pulang,” jawabnya, diplomatis.
Pak Manager menyeringai lebar sambil berkata :
“Perusahaan mengizinkan kamu pulang, silakan kamu pulang tapi kamu gak usah balik lagi ke pusat pelatihan,” counter attack yang mantap dari Pak Manager, secara halus menjelaskan bahwa kalau ingin pulang tidak ada jalan selain mengundurkan diri.
“Bagaimana ? Masih tetap akan pulang ?”
“Kalau begitu, tidak saja Pak !”
“Ibumu lho yang telpon ! Mau jadi anak durhaka ?”
“…………….” (terdiam, tengok kanan-kiri, nampak bingung).
“Pulang Pak… Iya Pak, saya yakin pulang,” jawab si anak dengan lemah.

Sampai situ sesi wawancara berakhir, si anak disuruh meninggalkan ruangan dan menunggu pengumuman hasil seleksi-nya besok pagi.
Waktu itu ada 21 orang yang kami wawancara (semuanya fresh graduate SMK) dan otomatis saya juga sudah mendengar 21 kali pertanyaan; “Ibumu sakit, pulang atau tidak ?.” Sambil memberesi peralatan, saya penasaran bertanya kepada Pak Manager mengenai pertanyaan pamungkasnya tersebut.
“Sebetulnya jawaban apa yang Bapak harapkan dari mereka ?,” tanya saya sembari memasuk-masukkan berkas ke dalam tas.
“Pulang,” jawabnya singkat.
“Alasannya Pak ?”
“Orang itu harus memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya, orang di sekitarnya. Terlebih lagi pada orang yang telah berjasa pada dirinya. Jangan lupa kacang pada kulitnya. Setiap orang harus sadar bahwa kesuksesan yang dia capai dalam karir, dalam hidup, itu semua tidak bisa terlepas dari kontribusi orang lain. Hal itu yang saya ingin ketahui; apakah anak-anak itu (kandidat yang diwawancara) memiliki kepedulian tersebut ?. Ibu sendiri yang nyuruh, masak gak pulang ? Banyak orang sukses sekarang San (panggilan untuk nama saya, Ihsan), tapi sedikit yang mau menyadari; ada siapa di balik kesuksesan mereka. Tidak ngerti arti ‘jaga nama baik’ orang lain, sedikit balas budi, egois, cuma mikirin diri sendiri.”
Penjelasan Pak Manager memperlambat gerakan saya. Tiba-tiba pikiran saya langsung bercabang, meraba-raba; jangan-jangan saya egois, jangan-jangan saya durhaka pada orang tua.
Pikiran saya terlempar jauh ke belakang, tertambat pada serentetan kejadian yang baru dialami sebulan sebelumnya…….

Mei 2011, di salah satu Kabupaten hasil pemekaran dari Kab. Kutai Timur
Proses penerimaan tenaga kerja dengan sumber warga sekitar project (yang biasa melabeli diri mereka dengan “putra daerah”) memasuki fase paling “heboh,” yakni pengumuman akhir hasil seleksi; siapa BERGABUNG dan siapa yang GUGUR masuk ke perusahaan. Satu per satu tim kami giliran mendapatkan “intimidasi” dari warga yang kecewa karena gagal seleksi. Tiada hari tanpa warga yang datang ke kantor dan “teriak-teriak,” entah pagi, siang, sore bahkan sampai malam hari.        
Pada waktu itu usia kerja saya sangatlah masih muda. Baru 1 bulan bekerja sudah diterjunkan untuk menangani perekrutan warga “lokal” di wilayah project berada. Saya yang baru lulus perkuliahan sama sekali tidak membayangkan bahwa perekrutan bakal “se-seru” ini. Memang sempat sebelumnya mendengar kabar dari beberapa orang bahwa karakteristik orang di wilayah tugas saya tersebut “sulit-sulit,” sehingga wejangan “Hati-hati Pak Ihsan !,” cukup sering saya telan menjelang keberangkatan tugas. Ketika mental, pikiran dan pengalaman masih “unyu-unyu” (begitu kata anak zaman sekarang untuk mengganti istilah lugu), beban tugas yang diberikan benar-benar sudah menguras nyali.
Stress yang saya rasakan kala itu dapat digambarkan dalam kalimat; “Ingin kabur !.” Pada saat yang sama, kabar duka meluncur dari Sukabumi nun jauh di seberang sana. “Bapak masuk Rumah Sakit !,” lapor Ibu di telepon.
Dikabarkan bila kondisi Bapak benar-benar buruk. Tekanan darah tidak sampai 70, sehingga badannya hampir tak bertenaga. Racun ureum yang tidak terbersihkan secara sempurna dari proses cuci darah sudah merasuk ke ubun-ubun, membuat Bapak sering mengigau di saat tidur, melantur di waktu bangun, belum lagi nuansa emosinya yang naik-turun. Sempat terlontar dari kakak kedua saya bahwa ini mungkin saatnya jam kehidupan Bapak berhenti bergerak.
Dalam kondisi – yang menurut laporan orang rumah, Bapak sudah sering ngawur tersebut – pada satu kesempatan hubungan telepon, Bapak terjaga dan ingat masih ada satu anaknya yang tidak kumpul menungguinya di Rumah Sakit. Secara langsung, Bapak saya sendiri yang berbicara di telepon, meminta saya pulang; “Ade balik (Ade pulang) !,” ujar Bapak, singkat dan tegas.
Kabar duka tersebut sekaligus menjadi angin segar bagi saya. Kesempatan emas untuk bisa “lari” dari hiruk-pikuk proses perekrutan yang melelahkan batin. Namun di sisi lain, hati tetap tidak tega meninggalkan tugas begitu saja.
Saya benar-benar dipermainkan antara pilihan; tetap di project, bertahan bersama tim paling tidak sampai tensi agak mereda atau ajukan formulir izin, pulang ke Sukabumi.
Apakah saya pulang ?
Tidak. Saya bahkan tidak berusaha untuk mencari formulir izin. Keyakinan saya hanya satu bahwa tim masih membutuhkan saya untuk menuntaskan pekerjaan. Setiap hari saya kontak orang rumah dan setiap telepon tersebut, orang rumah selalu mengingatkan untuk segera pulang. Apa yang membuat saya agak lega ialah masih adanya kalimant; “…kalau tugasnya sudah selesai,” yang tersisip dalam dialog.
Saya bertahan hingga Bapak Kabag HR menemui saya, bercerita bila dia baru saja dikontak dari Kantor Pusat, mendapat titah dari Pak Manager HR untuk mengakhiri masa tugas saya di project. Waktu saya pulang tersebut, Bapak sudah genap dirawat 2 minggu di Rumah Sakit.

Maret 2013, Kantor Pusat PT.RML (Bekasi Barat)
            Bulan Maret ini dibuka dengan suasana hati menyebalkan. Di minggu pertama, dari site (sebutan untuk distrik kerja) Berau dilaporkan bahwa satu karyawan FGDP (Fresh Graduate Development Program – sebuah program khusus untuk karyawan yang baru lulus kuliah) telah “kabur.” Modusnya ialah yang bersangkutan izin untuk pulang (domisilinya di Jakarta) selama 3 hari dengan alasan kakeknya meninggal. Dikatakan kabur karena sampai sekarangpun (sampai tulisan ini dibuat), karyawan tersebut belum kembali ke site ataupun melapor ke Kantor Pusat, padahal sudah dilakukan pemanggilan secara layak, baik via telepon ataupun surat.
            Hal yang menggelikan ialah cerita dari orang site bahwa saat si karyawan meninggalkan site, seluruh perlengkapannya dibawa bahkan sampai ke selimut. Sudah meng-indikasi-kan bahwa karyawan tersebut memang sudah niat untuk tidak kembali. Membuat kami, baik yang di Kantor Pusat maupun site menjadi sangsi; jangan-jangan alasan kakeknya meninggal itu fiktif belaka. Dari awal si karyawan masuk ke perusahaan kami sampai akhirnya dia menghilang, usia kerjanya baru 1 bulan saja.   
            Satu minggu berselang, dari site lain dilaporkan hal yang serupa, lagi-lagi untuk karyawan FGDP. Kali ini alasan ibu sakit. Hampir sama, dari pihak site diberi izin dan sampai kini batang hidungnya belum kelihatan lagi. Untuk kejadian yang kedua ini lebih luar biasa, karena usia kerjanya baru 2 minggu.
            Dua kejadian berturut-turut ini, seakan menampar saya selaku orang yang bertanggung jawab dalam hal recruitment. Secara pribadi saya merasa gagal, karena baru kali ini kejadian karyawan FGDP “kabur” begitu cepat. Sebelum-sebelumnya, paling tidak mereka bisa menahan diri sampai 2 bulan di site. Di perusahaan kami, setiap 2 bulan, karyawan berhak mendapat jatah cuti selama 2 minggu. Pada saat cuti itulah biasanya mereka manfaatkan untuk melarikan diri, hingga terkenal singkatan CTK (Cuti Tak Kembali) atau CLBK (Cuti Lama Belum Kembali) di kalangan orang-orang site. Belum lagi saya harus menebal-nebalkan telinga untuk mendengar orang berseloroh; “Kok bisa yang kayak begitu lolos seleksi San ?.”
Ugh, Maret ini benar-benar menjengkelkan !.
* * *
“Bapak saya sekarat saja, saya gak pulang !,” ucap saya dengan lantang, emosi.
            Yang diajak bicara, atasan langsung saya, Kasie. Personalia hanya tersenyum.
            “Coba Pak ditekankan ke pihak site agar tidak memberi izin kepada karyawan kecuali untuk izin-izin yang tertera di Peraturan Perusahaan saja, nanti ada lagi yang izin karena Pak RT meninggal !,” tambah saya, masih dengan emosional.
            “Susah San, yang begini-begini nih susah, perasaan kemanusiaan masalahnya ini…,” jawab beliau.
            Saya berhenti berkicau. Sampai titik ini saya juga memahami bahwa untuk urusan yang menyentuh ranah “afeksi,” orang sering “salah tingkah,” serba bingung. Jika dilarang, rasanya kasihan meskipun paham bahwa tidak ada yang namanya kakek meninggal atau ibu sakit diberikan izin pulang. Jika diperbolehkan, itu namanya si pemberi izin – yang notabene paham Peraturan Perusahaan – telah melakukan pelanggaran dengan memberikan izin untuk hal yang tidak semestinya.
            Beralih ke rekan kerja yang duduk bersebelahan, saya bertanya;
            Fair-kah saya Bu bila membandingkan apa yang saya alami dengan orang lain, sehingga saya mengharapkan apa yang saya lakukan, juga ikut ditunjukkan oleh orang lain ?”
            Rekan kerja saya tidak langsung menjawab. Beliau nampak berpikir terlebih dahulu. Dengan nada suara yang kurang begitu yakin, beliau menjawab;
            “Mmmm… saya kira, kalau memang orang itu punya itikad kerja yang baik… mereka akan melakukan hal yang sama dengan Mas. Kejadian ditinggal mati ayah, ibu, istri, anak sedangkan si karyawan ada di site, itu sudah tidak aneh lagi. Padahal tidak sedikit karyawan itu sudah tahu kalau anggota keluarga mereka tersebut sudah dalam kondisi mengkhawatirkan, tapi tetap mereka bertahan sampai akhirnya dikabari kalau sudah… yaaaa gitu deh… Itu konsekuensi sih Mas, kalau kerja jauh ya mau enggak mau seharusnya karyawan itu harus sudah berpikir jauh ke arah sana, kemungkinan untuk kehilangan ‘momen berharga’ di keluarga itu menjadi kecil… Untuk kejadian yang sekarang, terlepas dari mereka itu sebenarnya bohong atau benar, seyogya-nya mereka juga sadar akan hal itu, gitu lho Mas, jadi gak gampang panikan, dikit-dikit minta izin pulang… tapi kalau bohong, yo kebangeten Mas !”
            Jawaban rekan kerja tersebut mengingatkan saya ke bulan Desember tahun lalu, ketika kami menggelar acara assessment karyawan di Balikpapan. Kami bertemu dengan seorang staf yang baru saja “resmi jadi Bapak”; anak pertamanya lahir sebulan lalu di Pulau Jawa. Tentu saja kami mengira bahwa karyawan bersangkutan sudah menjenguk anaknya (dengan mengambil izin istri melahirkan, sesuai dengan Peraturan Perusahaan).
            Endak Pak, saya endak pulang, mau gimana pulang, baru ada accident di tambang, kerjaan lagi repot-repotnya. Padahal istri saya lahirannya repot lho katanya Pak, sampai harus di-vacuum !,” ujarnya.
               Lah orang rumah gimana dong ?,” tanya saya, heran.
            “Saya waktu itu minta kepastian, apakah saya harus pulang atau tidak, saya jelaskan situasi di site seperti apa. Ibu saya dan ibu mertua saya bilang kalau saya endak harus pulang, nanti saja pas cuti, toh ada mereka di sana, saya pulangpun kan tetep pas anaknya sudah lahir, bukan pas istri saya sedang susah-susahnya proses lahiran,” jawabnya.
            “Jadi kapan cuti ?”
            “Harusnya sih beres acara assessment ini saya cuti Pak Ihsan.”
            Kok harusnya ? Emang mau ke mana lagi ? Mundur cutinya ?”
            “Ya balik ke site lah Pak, masih ada yang harus dibantu-bantu, minggu depan baru cuti, mundur seminggu gak apa-apa lah Pak.”
            “Oalaaaaah…… ck ck ck…”

Konklusi
            Nampaknya untuk karakter pekerjaan yang mengharuskan seseorang pergi meninggalkan keluarga dalam waktu relatif lama, memang memerlukan perlakuan khusus. Dalam hal ini sifatnya lebih ke langkah-langkah persiapan. Tidak hanya bagi si karyawan, melainkan juga melibatkan pihak keluarga dan perusahaan.
            Dari sekian kejadian yang tergambarkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, saya menyimpulkan bahwa hal-hal yang mesti lebih dipersiapkan tersebut ialah sebagai berikut :

Bagi (Calon) Karyawan itu Sendiri
1.    Perbincangan antara karyawan dengan keluarga mengenai konsekuensi harus pisah dalam jangka waktu tertentu, harus dimulai sedari dini, yakni dari awal si karyawan memulai proses mencari kerja. Banyak yang berpikir; “Itu saya bicarakan nanti saja kalau sudah ketahuan diterima atau tidaknya di perusahaan.” Justru ketika perbincangan mengenai hal ini baru dimulai saat seseorang akan tanda tangan kontrak, sudah termasuk terlambat.
Kalau ternyata pihak keluarga tidak setuju, sehingga tanda tangan kontrak terpaksa tidak jadi, bukankah ini hal yang merugikan ?. Rugi bagi perusahaan karena sudah mengeluarkan sejumlah biaya untuk melakukan proses penerimaan, sudah siap gabung eh malah tidak jadi. Dampaknya, bisa saja perusahaan memasukkan orang tersebut ke dalam daftar black list pelamar, sehingga tertutup sudah kesempatan orang tersebut untuk bisa berusaha masuk ke perusahaan di lain waktu. Rugi juga bagi si calon karyawan karena sudah mengeluarkan usaha, menyempatkan waktu, bahkan mungkin menghabiskan sejumlah biaya. Belum lagi si calon karyawan mungkin kecewa karena merasa keluarganya sendiri malah menghambat keinginannya untuk kerja jauh.
Hal yang biasanya membuat kandidat belum membicarakan sedari awal mengenai kemungkinan kerja jauh ialah perasaan bahwa dirinya akan diberi kebebasan penuh oleh keluarganya dalam memilih. “Orang tua saya sih pasti terserah saya, kalau orang tua kan yang penting anaknya seneng, ya izinkan saja, buktinya saya dari Medan tapi boleh kuliah di Yogya.” Agak keliru jika berpandangan demikian karena orang tua pada dasarnya ialah tetap “orang lain bagi kita” yang kita tidak tahu persis apa isi dalam hati dan pikiran mereka. Siapa tahu justru orang tua sampai hati merelakan anaknya sekolah jauh itu dengan harapan setelah lulus bisa kembali pulang; bekerja di kampung halaman dan tinggal bersama mereka.
2.   Perbincangan seperti yang tersebut pada poin 1, tentu saja tidak sekedar obrolan “dangkal”; “Bu/Pak, kalau saya kerja jauh, apakah boleh ?.” Melainkan merupakan perbincangan yang mendalam, berisi segala kemungkinan-kemungkinan kejadian yang mungkin dialami selama masa perpisahan tersebut. “Kalau Ibu sakit bagaimana ?,” “Kalau Bapak meninggal bagaimana ?,” “Kalau kakakmu menikah, bisa pulang atau tidak ?,” dan sebagainya. Membicarakan hal-hal yang “pahit” bagi sebagian orang akan nampak lebay (berlebihan); kerjanya juga belum kok sudah jauh/ribet banget pemikirannya. Padahal dengan membicarakan hal-hal tersebut bisa memunculkan deal antara calon karyawan dengan keluarganya dalam menghadapi suatu masalah atau kemungkinan masalah.

Bagi Keluarga (Calon) Karyawan
Bagi keluarga yang akan ditinggalkan karyawan, penting bagi mereka untuk memastikan bahwa mereka bisa memberikan social support yang memadai (sehat) bagi si karyawan. Tidak mudah memberikan informasi-informasi yang menjadi stressor bagi karyawan, sehingga si karyawan menjadi panik, bingung, alhasil si karyawanpun tidak bisa nyaman bekerja. Hal tersebut bisa tercapai hanya jika pihak keluarga bisa mengambil alih peran sehari-hari si karyawan di rumah ketika karyawan tersebut pergi. Mereka bisa menangani segala hal atau masalah yang biasanya diselesaikan ketika karyawan ada di rumah. Contoh sederhananya ialah sebagaimana yang tercantum di petikan dialog saya dengan salah seorang staf site, di Balikpapan. Dalam dialog tersebut terlihat keluarga bisa menjamin bahwa masalah dapat tertangani (istri trouble dalam proses melahirkan) meskipun tanpa dampingan suami.

Bagi Perusahaan
1.    Perusahaan nampaknya perlu juga untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai konsekuensi-konsekuensi yang akan calon karyawan hadapi ketika mereka harus pergi meninggalkan keluarga. Penjelasan ini bahkan diberikan jauh-jauh saat proses penerimaan baru memasuki tahap awal seleksi.
2.    Perusahaan juga seyogyanya bisa merangkul pihak keluarga, misalnya dengan mensyaratkan adanya surat izin dari keluarga dalam proses menuju tanda tangan kontrak. Di saat proses penerimaan karyawan berada di titik hampir akhir (tanda tangan kontrak), penjelasan yang termaksud pada poin 1 mesti sekali lagi lebih ditegaskan dengan mengacu kepada implementasi nyata berdasarkan Peraturan Perusahaan yang berlaku.

2 comments:

  1. Terima kasih Pak, untuk coretannya di blog ini..
    terima kasih, banyak pelajaran yg bisa saya ambil dari tulisan bapak.

    ReplyDelete
  2. Keren pak tulisannya, banyak hal yang bisa kita petik dari pengalaman yang dipaparkan.
    Semoga saya diberikan kesempatan di fgdp dalam waktu dekat ini

    ReplyDelete