Pada satu kesempatan, malaikat Raqib1 pulang bertugas dengan wajah yang muram. Tuhan melihatnya, pasti melihatnya. Dipanggillah Raqib agar segera menghadap. Raqib berjalan dengan lesu menuju singgasana Tuhan. Sujud sembah Raqib lakukan begitu bertatap muka dengan Tuhan.
“Ada apa wahai malaikat ?” tanya Tuhan. Sudah barang tentu ini pertanyaan formalitas belaka. Sebab Tuhan pasti telah tahu apa yang terjadi pada Raqib, pasti telah tahu.
“Ya Maha Raja, hamba hendak bertanya; bukankah aku, Engkau ciptakan tanpa perasaan ?”, kata Raqib malah balik bertanya, sambil berlutut penuh penghormatan.
“Betul”, jawab Tuhan, singkat.
“Tapi… hamba heran… karena hamba merasa telah melakukan sebuah tindakan berperasaan… hamba yang seorang makhluk tak berperasaan berbuat sesuatu yang berperasaan, bagaimana ini Tuhan-ku Yang Maha Agung ?
“Perihal apa ini ? Coba kau ceritakan !”
“Tak perlulah kiranya hamba ceritakan. Engkau Yang Maha Mengetahui pasti sudah tahu gerangan apa yang hamba lakukan”, jawab Raqib, lemas.
“Oh betul itu ! Aku tahu, ya Aku mutlak sudah tahu ! Tapi ayo ceritakan saja, biar terasa adil nantinya atas apa yang akan Aku putuskan untuk perbuatan melanggarmu itu”
Malaikat Raqib menghela napas. Sembari tertunduk, ia memulai ceritanya.
“Apa kau ini tolol wahai Raqib ?!”, sambar Atid2 dengan marahnya begitu berhasil menarik Raqib.
“Aku hanya….”
“Kau melanggar ! Kau melanggar !”, Atid memotong perkataan Raqib.
“Dengar dulu wahai sahabat kerjaku, aku berpikir bahwa…”
“Berpikir kau bilang ? Sejak kapan kau bisa berpikir Raqib ? Kita malaikat, kita diciptakan Tuhan Yang Maha Perkasa tanpa akal !”, lagi-lagi Atid memotong.
“Tahan dulu sahabat, biarkan aku menjelaskan terlebih dahulu”, ucap Raqib. Ia diam sejenak, menunggu tanggapan lawan bicaranya. Atid hanya terdiam, seolah mempersilakan Raqib untuk mengumbar alasan.
“Begini sahabatku, awalnya aku tak kuasa melihat perangai bejat Pemuda Desa. Kaupun sendiri tahu, Tuhan kelak akan mengganjarnya dengan siksa yang amat berat. Entahlah, tapi yang pasti aku merasa tak berkenan mengetahui hal itu akan menimpa Pemuda Desa. Oleh karenanya, aku pikir…”
“Akan menjadi lebih baik bila kau beritahukan ia rahasia terbesar hidupnya ? Begitu kan maksudmu ? Itu rahasia Raqib ! Rahasia ! Engkau menjerumuskan dirimu sendiri pada kenistaan ! Oh ya Tuhan Yang Maha Mengawasi, aku, Atid, berlepas diri dari kebodohan mitraku ini !”, untuk kesekian kalinya Atid memotong.
Sejurus kemudian, Atid melanjutkan kembali perjalanannya menuju langit ketujuh. Tersurat kejijikan pada mukanya, jijik pada Raqib. Adapun Raqib masih tertahan di langit bumi. Ia menengok sebentar ke bawah kakinya, ke daratan tempat umat manusia berkeliaran. Setitik demi setitik air mata meluncur. Di atas sana Raqib menangis sedih, menyesali perbuatannya.
* * *
Pemuda Desa lahir dari rahim seorang wanita gila. Bapaknya entah ke mana. Wanita itu hamil begitu saja. Sangat mungkin si pelaku masih tetangga sedesa. Kaum ibu di desa hanya bisa mengasihaninya. Padahal bisa saja bapak dari anak yang dikandung itu ialah salah satu dari suami mereka. Kabar angin mengatakan kalau wanita itu sudah biasa diajak berzina. Oleh siapa saja ? Tiada yang berani menyebut satupun nama. Wanita itu mau saja ? Namanya juga wanita gila, bisa apa dia ?
Di tengah malam, meledak tangis bayi. Kerasnya mengetuk hati tetangga sebelah, seorang Haji. Ia sambangi rumah itu bersama istri. Wanita gila berkubang darah tapi wajahnya berseri-seri. Wak Haji bereskan ibunya, istri urusi bayi. Bukannya tetangga yang lain tuli. Hanya saja mereka tiada ambil peduli.
Si bayi tumbuh sehat. Di rumah Wak Haji bayi itu dirawat. Aji mumpung, Wak haji dan istri tak beranak, setiap lahir langsung wafat. Wanita gila dibiarkan mengurusi diri sendiri dan tinggal di rumahnya, takut kalau sewaktu-waktu kumat. Nanti bisa-bisa anak sendiri ia sikat. Anak mesti dipisah dari ibu, ini semua demi maslahat.
Memang dasar nasib sial. Si anak genap lima tahun, Wak Haji dan istri bertemu ajal. Pulang dari pasar, mobil meluncur ke jurang yang terjal. Warga hanya simpati sebatas bual. Sejak saat itu si kecil kembali ke rumah dan ibu yang asal..
* * *
“Buku-ku masih kosong ya Atid !”, seru Raqib, agak cemas. Waktu tugas hampir selesai dan mereka berdua akan diganti sementara oleh giliran berikutnya3.
“Buku-ku penuh”, tanggap Atid, dingin.
“Hampir seharian ini ia tak beramal baik !”, pekik Raqib.
“Dan begitu pula hari-hari yang lalu”, sambut Atid, masih dingin.
“Bagaimana ini Atid ?”, tanya Raqib, seperti yang panik.
“Tugasku dan tugasmu hanya mencatat”, jawab Atid.
Di kejauhan, dua malaikat pengganti telah kelihatan. Atid segera menutup buku catatannya. Tanpa melirik sedikitpun pada Raqib, Atid melayang terbang. Raqib masih terdiam, terpaku memandangi lembar-lembar bukunya yang kosong.
“Wahai Raqib, giliranmu sudah selesai, sekarang serahkan pada kami, nanti saat fajar kan kau mulai bertugas kembali, ayo lekas pulang”, sahut salah satu malaikat yang baru datang.
Raqib-pun berlalu dengan masih memandangi bukunya yang kosong. Nihil. Bersih dari goretan.
* * *
Ibu meninggal, rumah digadai. Uang dipakai untuk hijrah ke ibu kota yang ramai. Di sana, Tuhan kabulkan segala ia punya andai-andai. Harta mengalir tanpa tercerai. Gemilang hidup duniwai berhasil ia capai. Sayang, Pemuda Desa malah terbuai.
Pemuda Desa berubah kepribadian. Asalnya tauladan kini bajingan. Dulu ibadah tiada terlupakan, kini sembahyang sengaja ia abaikan. Saat di desa, warga dibuat kagum atas bagaimana si wanita gila ia rawat dan perlakukan. Begitu jaya di kota, ia mereka-reka cerita buatan. Bahwa ia tak punya masa kecil yang menyakitkan, apalagi punya ibu yang hilang kewarasan. Dulu Pemuda Desa tahan godaan. Sekarang, Pemuda Desa amini segala rupa ajakan setan.
* * *
“Kau lihat, si Pemuda Desa semakin brutal”, kata Atid.
“Aneh… Kenapa jadinya begini ?”, sambut Raqib.
“Terbukti salah besar pemikiranmu itu wahai kawanku”
“Aneh… Kok begini ?”
“Rahasia sudah kaubocorkan dan ia malah bertambah sesat. Kalian berdua sama-sama berdosa. Aku berdoa pada Tuhan Yang Maha Pengampun agar kalian berdua diberi kemurahan hati-Nya”
“Aneh… aku benar-benar tak menyangka akan jadi begini”
“Sudahlah ya Raqib, tahu apa kita tentang manusia ?”
* * *
“Begitu ceritanya yang tentunya telah Kau Ketahui ya Tuhan. Hamba yakin tiada yang terlewatkan sedikitpun. Kendatipun ada yang tercecer, Engkau pasti telah mengetahui di mana kekurangannya. Kini hamba pasrahkan diri untuk menerima segala keputusan-Mu. Hamba telah bersiap”, ucap malaikat Raqib menyudahi laporannya.
“Kalian… kaum malaikat selalu merasa paling tahu soal manusia, padahal kalian hanya Ku-beri secuil pengetahuan tentang manusia”, Tuhan berkata-kata.
“Ampun ya Tuhan-ku”, malaikat Raqib bersujud-sujud.
“Ingatkah kalian bahwa kalian juga pernah mendebat-Ku saat akan Ku-jadikan manusia sebagai makhluk penguasa bumi ? Kalian memang suka sok tahu !”, suara Tuhan menggelegar ke seantero alam.
Mendengar Tuhan bersuara lantang seperti itu, Raqib semakin membenamkan mukanya, gemetar seluruh badannya. Jutaan malaikat yang ada di alam akhirat menunduk ketakutan. Sampai-sampai malaikat penyiksa kubur yang sedang sibuk memberi adzab pada mayat-mayat berdosapun berhenti sejenak dari tugasnya. Malaikat pengucur hujan tersentak kaget hingga ia lempar kucuran hujan sekenanya. Saking terkejutnya, pena malaikat pencatat amal sampai terjatuh. Malaikat-malaikat penjaga pintu-pintu surga bahkan berloncatan sembunyi di balik pintu surga. Sampai hampir saja roh-roh segar yang baru dicabut, terlepas dari genggaman malaikat pencabut nyawa. Hingga malaikat peniup sangkakala kiamat terperanjat dan nyaris saja reflek meniup sangkakalanya karena mengira Tuhan telah memerintahkan untuk memulai kehancuran. Tercipta nuansa mencekam saat itu, bagi para malaikat di alam manapun mereka sedang bertugas.
“Sudahlah… Wahai Raqib bangunlah ! Kuampuni kesalahanmu. Bangkitlah dan jangan sekali-kali engkau mengulangi lagi perbuatan itu. Sebab Aku benci setiap makhluk yang sombong, Aku muak pada setiap makhluk yang sok tahu !”
Beberapa saat suasana masih mencekam. Namun masing-masing malaikat menguatkan dirinya sendiri lalu melanjutkan tugas kembali dengan baik dan benar.
* * *
Di satu kesempatan siang. Pemuda Desa tengah tertidur dengan pulasnya. Raqib masuk ke alam mimpi Pemuda Desa. Di sana ia menyerupakan diri sebagai seorang lelaki paruh baya dengan baju serba putih menyilaukan. Kala itu Pemuda Desa sedang bermimpi mandi batangan emas. Kehadiran Raqib tentu saja merusak jalannya cerita mimpi.
“Siapa kau ?”, Pemuda Desa yang bugil terheran-heran.
“Aku Raqib, malaikat pencatat segala amal baikmu selama kau hidup”, jawab Raqib memperkenalkan dirinya.
“Siapa ?”, Pemuda Desa masih belum mengerti.
“Raqib, malaikat pencatat amal baikmu wahai Pemuda Desa”, Raqib mengulang lagi perkenalannya.
Pemuda Desa hanya diam mematung. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia tak yakin sama sekali.
“Percayalah Pemuda Desa akan apa yang aku katakan dalam mimpimu ini. Demi Tuhan, kitab takdir mencatat bahwa kau akan meninggal sebelum usiamu mencapai 32 tahun. Itu berarti hidupmu sekarang tinggal bersisa tiga bulan lagi. Sungguh, demi Tuhan Penguasa Seluruh Alam, pergunakanlah waktumu yang tinggal sedikit lagi itu untuk sesuatu yang bermanfaat. Banyak-banyaklah beramal ibadah”, urai Raqib. Wajahnya yang agak tertutupi sinar putih menyilaukan memperlihatkan ketulusan. Suaranya mengandung kejujuran. Raqib tidak berbohong. Tidak ada satupun malaikat yang berbohong.
“Ke… Kenapa kau… ka… ka… katakan itu padaku ?”, perasaan Pemuda Desa mulai goyah.
“Aku iba padamu. Sedari kecil kau bernasib tak mujur. Dulu, sebelum kau pergi ke kota, buku catatanku selalu penuh. Kau betul-betul hamba yang saleh. Pahala terbesarmu bersumber dari kelakuan luhurmu, amat luhur, pada ibumu. Namun kau kini berubah perangai. Sekarang kau lalai. Tak pernah lagi aku mencatat amal baikmu. Sedang rekanku, Atid, malaikat pencatat amal burukmu, selalu penuh catatannya. Bertobatlah segera ! Amal burukmu terlalu menggunung dan menutup segala paha….”, Raqib lenyap begitu saja dari alam mimpi sebelum ia menuntaskan pesannya.
Waktu itu Atid yang sadar kawannya hilang, segera memasukkan tangannya ke alam mimpi Pemuda Desa dan menarik Raqib ke luar dengan kasar.
“Apa kau ini tolol wahai Raqib ?!”, sambar Atid dengan marahnya begitu berhasil menarik Raqib.
…………..
* * *
Sampai hayatnya habis, Pemuda Desa tidak pernah bertobat. Justru kelakuan bejatnya semakin bejat. Tiap hari ia hanya memikirkan kesenangan macam apa yang belum pernah ia cicipi. Sayangnya kesenangan yang ia tempuh ialah kesenangan yang haram. Waktu terus bergulir dan tingkat kedosaan Pemuda Desa terus memuncak. Setelah tahu bahwa hidupnya akan segera berakhir, justru malah memacu Pemuda Desa untuk mencari keduniawian yang sarat jebakan setan. Seakan tak mau rugi. Seolah tak mau buang kesempatan.
1 Raqib : Malaikat pencatat amal baik yang selalu mendampingi umat manusia sehari-hari.
2 Atid : Malaikat pencatat amal buruk yang selalu mendampingi umat manusia sehari-hari.
3 Menurut keterangan, dalam sehari penuh ada dua pasang Raqib dan Atid yang mendampingi kita secara bergiliran. Waktu pergantian tugas terjadi pada saat Shubuh dan Ashar.
subhanallah,,,
ReplyDeletekeren banget kang cerpennya :)
thanks a lot for your appraisal...
ReplyDelete