Sabtu
malam, lewat pukul sembilan. Terminal Leuwi Panjang masih menyisakan satu bus
terakhir menuju Sukabumi. Bus belum bergerak sama sekali, tertahan kursi-kursi
penumpang yang masih kosong di sana-sini. Sesekali Pak Supir menengok ke
belakang atau hanya melihat melalui kaca dalam, berharap ada tambahan muatan
yang naik dari pintu belakang. Percuma karena yang ia lihat hanya wajah-wajah
kesal menunggu dari para penumpang.
Hasan
duduk merapat ke dinding bus, menatap ke luar jendela, berharap pemandangan di
depannya segera bergerak. Malam ini, ia dan penumpang lainnya terpaksa mengalah
dari Pak Supir. Mau bagaimana lagi ? Ini bus terakhir, menunggu selama apapun,
Pak Supir yakin benar tidak akan ada penumpang yang “sok protes”; mengancam
akan pindah ke bus lain saja kalau bus tidak maju-maju. Mau bagaimana lagi ?
Ini bus satu-satunya, parkir selama apapun, Pak Supir tidak akan mendapat
teguran lewat pengeras suara dari pihak pengelola terminal karena membuat
antrian panjang bus-bus lain yang akan masuk terminal.
Sampai
akhirnya, mata Hasan menangkap seorang gadis berbaju kaos putih dengan celana
pendek berwarna coklat. Diperhatikan, jalannya gadis itu semakin mendekat ke
arah bus. Setiap ayunan langkah si gadis menciptakan jerit harapan dari Hasan;
“Naik !, naik !, naik !...”. Seakan doa yang terkabul, gadis itu memang naik ke
dalam bus. Begitu wujudnya muncul di muka ruang bus, Hasan kembali
menjerit-jerit; “Di sini !, di sini ! di sini !...”, berharap gadis itu akan
memilih duduk di sampingnya. Sebuah harapan yang tipis karena dalam situasi
banyak kursi “bebas” seperti ini, orang cenderung akan lebih memilih duduk
sendirian saja di deret kursi yang kosong, sebagaimana dirinya dan
penumpang-penumpang lain. Ya, akhirnya si gadis memang memilih duduk menyendiri
di deret kursi yang kosong. Namun Hasan tetap bergembira karena deret yang
dipilih si gadis tepat ada di seberang kirinya, sehingga sekali melirik kecil
saja, sepanjang perjalanan ia akan ditemani pemandangan yang menyejukkan.
Hasan
Satu jam
sudah bus berjalan. Sudah tak terhitung berapa kali Hasan melirik ke samping
kirinya. Kadang lama, kadang sekejap saja. Bermacam-macam sudah isi pikirannya.
Waktu melihat buku tebal – yang entah apa judulnya – di atas paha si gadis, dengan
sok tahu Hasan mencap; “Kamu pasti mahasiswi !.” Turun ke bawah, Hasan mulai
heran; “Apa gadis ini tidak kedinginan dengan celana pendeknya itu ?.” Pindah
ke atas, tatapan Hasan berhenti di bawah leher sang gadis, kali ini ia hanya
berdecak kagum; “Ck ck ck… “. Beralih ke wajah, fokus Hasan menuju bibir tebal
tak bergincunya si gadis, pikirannya mulai samar; “Pas benar sepertinya !.”
Terkadang
telinga ingin ikut dalam permainan tebak-tebakan ini. Saat si gadis terdengar
sedang menjawab panggilan telepon, sedaya upaya telinga menyerap setiap kata
yang keluar dari mulut si gadis, mencoba menerka dengan siapa ia bicara. Hanya
sekedar membunuh rasa ingin tahu yang menggila; “Kamu sudah punya cowok atau belum ?.” Aneh juga, padahal
Hasan sama sekali tidak punya niatan untuk mendekati gadis itu, tapi ada
kelegaan tersendiri setiap kali yang ia dengar ialah; “Iya Pap, ini masih di
jalan, Mama udah bobo ?... Iya nanti
ditelpon kalau udah deket,” atau “Sri
jangan lupa ya, jadi loh minggu depan kita ke distro yang di Cihampelas itu,”
atau “Lia, FB lo apa sih, gue
cari-cari kok gak ada ? Pasti namanya
alay-alay gitu ya ? Gue mau tag lu di foto yang barengan anak-anak di studio.”
Setelah
geser tempat duduk berkali-kali dan ngoceh
berlama-lama. Sampailah si gadis pada momen;
tidak-ada-yang-bisa-saya-kerjakan-lagi. Pertama dia hanya duduk diam, berat
mungkin, ia pun selipkan buku tebalnya ke kantong di kursi depannya, tas ia
taruh di kursi kosong sebelahnya dan si gadis duduk menyandar ke dinding bus,
agak serong ke kanan. Pada saat itulah matanya bertemu dengan mata Hasan yang
sedang asyik menelusurinya. Terlanjur malu, Hasanpun mengajaknya untuk
tersenyum sambil mengangguk pelan, seolah mengatakan; “Halo, saya pria baik-baik
yang kebetulan duduk di seberang kananmu, salam kenal !.” Setelah itu, segera
ia buang wajah tanpa melihat apakah si gadis membalas senyumnya atau tidak.
Ada
magnet kuat memang pada diri si gadis. Belum berapa lama Hasan melempar
pandangan, dengan sangat hati-hati kembali kepalanya menoleh ke sebelah kiri.
Kini ia melihat si gadis terlelap dengan posisi duduk yang masih sama, sedikit
menyender ke dinding bus, agak mengarah tepat ke hadapannya, nampak satu
tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Beberapa detik, Hasan hanya
tertegun. Berdetik-detik kemudian, Hasan mulai menaikkan sedikit kepalanya,
melihat situasi sekitar dan barulah ia sadar bila ia dan si gadis duduk di
baris ketiga paling belakang. Sepi. Suasana bus sangat sepi, mungkin penumpang
lainpun tidur bahkan bisa jadi si kondektur – yang biasanya sesekali hilir
mudik memeriksa penumpang – juga, sebab sedari tadi ia hanya melihat kondektur
saat menagih ongkos. Dengan paha yang menurut Hasan butuh kehangatan, ditambah
kekagumannya pada tonjolan di badan si gadis, belum lagi bibir menawan yang seperhitungannya
pas ukurannya. Pikiran Hasan semakin mendekati titik hitam.
Ini
sudah malam. Kata orang tua-orang tua, setan-setan tambah bebas berkeliaran di
saat gelap.
Gadis
Ad cwo ngliatin gw terus,
jadi takut nih gw
Tulis si
gadis di layar HP-nya. Mata si gadis sepasang saja dan posisinya pun masih
tetap normal seperti manusia lain adanya, namun si gadis tetap merasakan bahwa
lelaki yang duduk di seberang kanannya, terus “mengawasi” dirinya. Dudukpun
jadi ikut tak nyaman, geser kanan, geser kiri, yang pasti dia tidak akan
bergeser terlalu jauh ke kursi yang ketiga; kursi paling luar. Bisa-bisa lelaki
itu tiba-tiba loncat menerkamnya. Sudah sedemikian mengerikan bayangan yang ada
dalam benak si gadis.
Ganteng g ? lumayan lah
kalo ganteng :p
Balas
teman si gadis. Demi membaca SMS itu, di satu sisi si gadis geli tertawa karena
memang itulah harapannya, sayang si pria di samping kanan masih jauh di bawah
standar ganteng-nya. Di sisi lain, ia
kesal karena sama sekali temannya tidak memberikan sesuatu yang menenangkan
hati. Padahal jalan keluarnya sederhana saja, yakni pindah tempat duduk, toh berbaris-baris kursi di depannya tak
berpenghuni. Bukannya si gadis tidak memikirkan hal itu, tapi entahlah sulit
sekali ia mengangkat bokong dan beranjak. Seakan ada daya yang menahannya untuk
tetap di situ.
Pindah tmpat duduk aj
kalleeee…
Belum
mengirim balasan, temannya sudah mengirimkan pesan lain. Si gadis segera
merespon, hasilnya nihil. Rupanya SMS tadi ialah yang terakhir dari temannya.
Dilihat jam di HP, sudah menunjukkan pukul sebelas. Si gadis memaklumi saja,
temannya itu pasti sudah masuk area dugem.
Ia paham benar kebiasaan temannya tersebut; begitu party dimulai, lupalah ia akan dunia nun di luar sana. Ingat akan
hal itu, tiba-tiba si gadis jadi kesal sendiri. Sudah batal ia ikut dugem pada malam minggu ini, “diteror”
pula oleh pria asing yang tak ganteng.
Dari
pada nanti malah jadi uring-uringan tidak jelas, si gadis memutuskan untuk
tidur saja. Buku novel ia masukkan ke kantong kursi di depannya. Lalu ia
menggeser duduknya lebih merapat lagi ke dinding bus. Sebagian punggung ia
sandarkan ke sana, sehingga posisinya menyamping ke kanan, tas ia taruh di
kursi kosong. Tepat ketika ia sedang membetulkan duduknya tersebut, matanya
berpapasan dengan mata si pria “peneror”. Tertangkap basah sedang memelototinya
dirinya, si pria hanya pura-pura bersikap ramah dengan melempar senyum sambil
sedikit menganggukkan kepala. Segera setelah itu ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Perasaan muak mencuat begitu ia melihat wajah si pria. “Dasar hidung belang sialan !”, kata si gadis
dalam hati. Si gadis merasa punya momen tepat dengan si pria yang tengah
membuang muka, diam-diam tangan kirinya merogoh kantong kecil di tas dan
mengambil sebuah pisau lipat dari sana. Pisaupun berganti tempat, masuk ke
kantong kiri celana dengan tetap digenggam erat. Begitu si pria benar-benar
bertindak macam-macam sesuai dengan apa yang ia khawatirkan, secepat kilat
pisau akan terhunus. “Awas lu !”,
lanjut si gadis di dalam hatinya.
Antara Hasan dan Gadis
Meski
selama tidur, pasti tak mungkin ia menghitung waktu. Si gadis yakin benar bila
ia baru beberapa saat saja terpejam. Sebuah bunyi ringtone yang cukup nyaring membangunkannya, muncul terpendam dari
saku atau tas seseorang di atas bus. Namun si gadis tak berusaha untuk membuka
mata, sambil tetap terpejam, ia hanya berharap bunyi mengganggu itu segera
lenyap.
Dinanti-nanti
malah tak kunjung padam. Jengkel, si gadis langsung membelalak, mencari sumber
suara. Pantas terasa begitu dekat, karena ternyata bunyi itu berasal dari saku
jaket si pria di seberang kanan. Seolah-olah hanya memancing agar dia terbangun
saja, begitu dia tersadarkan secara penuh dari tidur, matilah bunyi HP
tersebut. Kejengkelanpun semakin menjadi. Ingin rasanya ia cabut pisau lipat
dari saku kirinya dan melempar dengan ganas tepat ke arah muka si pria hidung
belang. Akan tetapi sesuatu yang lain terjadi.
Apa yang
sekarang sedang dilakukan oleh si pria, justru mengingatkannya akan sesuatu
yang amat mendalam. Kembali pada sebuah kejadian lampau di suatu shubuh, ketika
marah besar ibunya dibuat karena si gadis sulit bangun untuk shalat.
“Nak, shalat itu wajib,
bagaimanapun kondisinya kau tetap harus melaksanakan bahkan yang sakitpun harus
tetap menunaikan semampunya !”
Sebuah pepatah
terakhir dari sang ibu, sebab setelah itu si gadis bergegas pergi ke Bandung
lagi. Kemudian lama tak pulang, hingga akhirnya datanglah kabar mengejutkan
bahwa ibu tengah sakit keras dan memaksanya harus pulang ke Sukabumi. Tak terasa
matapun menghangat. Kilau-kilau air mata mulai nampak. Jengkel, kesal, sirna
seketika. Tergantikan bayangan-bayangan tentang betapa seringnya ia membangkang
pada perintah ibu. Betapa hebatnya ia meyakinkan keluarga bahwa ia tak
pulang-pulang karena sibuk bekerja bahkan di akhir minggu ketika kebanyakan
pekerja menikmati libur. Padahal ia asyik berhura-hura di ruang-ruang pesta
malam, membuang-buang gaji yang tak seberapa atau seru bercumbu di kosan
pacarnya yang seorang mahasiswa kaya. Betapa brengseknya ia sebagai seorang anak,
justru merasa kesal dan terpaksa harus pulang melihat ibu kandungnya sendiri
yang mungkin napasnya tinggal beberapa hembusan lagi.
Si gadis
berpaling ke luar jendela dan… menangis.
* * *
Capek
dengan fantasi yang tak terwujud, Hasan mencoba mencari-cari kegiatan lain. Secara
tak sengaja ia melirik jam yang melilit di pergelangan tangan kanan.
Terkejutlah ia bahwa waktu hampir menyentuh angka 12, sedangkan shalat Isya belum
ia tunaikan. Segera ia niatkan diri untuk shalat. Tayamum pada jok kursi depan, membisikkan iqamat dan tanganpun mengangkat takbir pertama. Belum juga tuntas
bacaan iftitah, HP di kantong jaket teriak-teriak
minta diangkat. Si penelepon nampaknya gigih ingin bicara, HP terus meraung dan
meraung lagi.
Masuk rakaat ke empat, si penelepon akhirnya
menyerah. Seiring berhentinya bunyi HP, Hasan merasakan bila sekarang ia sedang
diawasi. Ia benar-benar menyadari bahwa ada sebuah tatapan tajam dari arah
sebelah kiri, dari sepasang mata wanita yang sedari tadi ia pikir-pikirkan. Dan
tatapan itu tak lepas-lepas. Sebuah bisikkan memberi tahu Hasan bila si gadis
tengah mengagumi tindakannya. Hidung Hasan mulai mengembang. Bila si gadis
akhirnya sadar bahwa Hasan memang pria baik-baik, saleh dan selama perjalanan
ini ia telah salah duga. Perasaan Hasan mulai membunga. Bacaan surat pendek
empat ayat telah tamat, tetapi si gadis belum mengalihkan pandangan. Hasan
terdorong untuk menambah satu surat lagi.
Jembatan Citarum
Malaikat
pencabut nyawa turun mengumpulkan ruh dari jasad-jasad rusak yang tak mungkin
ditinggali lagi. Dengan tangan kanannya, ia merogoh ke dalam setiap badan dan
menarik keluar ruh. Adapun di tangan kiri, ia memegang semacam stempel, begitu
ruh ditarik, ruh langsung diberi cap persis seperti Pak Camat atau lurah mencap
surat-surat desa. Stempelnya sendiri ada dua, satu berbunyi; “khusnul khatimah” (hidup berakhir dalam
kebaikan) dan satu lagi; “suul khatimah” (mati
dalam keadaan berbuat buruk). Setelah distempeli, ruh pun dilempar ke belakang,
masuk ke dalam tas yang digendong menyelip di antara sayap-sayapnya. Selain dirinya,
juga sibuk bertugas para malaikat pencatat amal dari masing-masing orang. Mereka
sibuk merekap amal-amal yang dilakukan setiap orang di detik-detik akhir
hayatnya.
“Hei
salah cap !,” teriak malaikat pencatat amal-nya Hasan.
“Terakhir
yang dia lakukan ialah sedang menunaikan shalat, kenapa pula diberi cap suul khatimah, waraskah pikiranmu ?,”
lanjut si malaikat, tak terima.
Sambil
menampilkan ekspresi wajah dingin, malaikat pencabut nyawa berkata; “Tapi ia
shalat tidak murni karena Allah.”
“Hei
salah cap !,” teriak malaikat pencatat amal lainnya. Rupanya yang kini bersuara
ialah malaikay pencatat amal-nya si gadis
“Ia itu
anak durhaka, mosok dinilai khusnul khatimah !,” ia menambahkan.
Tetap dengan
ekspresi dinginnya, malaikat pencabut nyawa menjawab; “Tapi ia mati dalam
keadaan menyesali dosa-dosanya, bukankah penyesalannya itu ialah sebagian dari taubat
?.”
Kedua
malaikat pencatat amal yang protes tersebut hanya terdiam. Sementara itu,
malaikat pencabut nyawa terbang kembali ke langit dengan membawa beberapa belas
ruh di kantung gendong belakangnya.
Warta pagi
“Selamat pagi para pemirsa…
Perjumpaan kita di pagi hari ini dibuka dengan sebuah berita duka cita. Sebuah bus
milik P.O Sangkuriang jurusan Bandung-Sukabumi, tadi malam, sekitar pukul 23:50
Wib, mengalami kecelakaan di Jembatan Citarum, Kabupaten Cianjur. Bus menabrak
pagar pembatas jembatan yang sedang direnovasi dalam kecepatan tinggi dan terjun
menghujam ke dalam Sungai Citarum di bawahnya. Sampai berita ini kami hadirkan
ke hadapan anda, belum ada upaya evakuasi dari pihak terkait, diduga tidak ada
korban yang selamat. Untuk informasi lebih lanjut, kita sudah terhubung dengan
Saudara Fahmi yang akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai situasi
terkini di lokasi kejadian. Silakan Saudara Fahmi… “
Ini beneran ya mas...?
ReplyDeleteIni beneran ya mas...?
ReplyDeleteFiksi Mas Alimudin... hihihihihi
ReplyDelete