Saturday, December 3, 2011

SEBUAH AKHIR DI SANGKURIANG



Sabtu malam, lewat pukul sembilan. Terminal Leuwi Panjang masih menyisakan satu bus terakhir menuju Sukabumi. Bus belum bergerak sama sekali, tertahan kursi-kursi penumpang yang masih kosong di sana-sini. Sesekali Pak Supir menengok ke belakang atau hanya melihat melalui kaca dalam, berharap ada tambahan muatan yang naik dari pintu belakang. Percuma karena yang ia lihat hanya wajah-wajah kesal menunggu dari para penumpang.

Hasan duduk merapat ke dinding bus, menatap ke luar jendela, berharap pemandangan di depannya segera bergerak. Malam ini, ia dan penumpang lainnya terpaksa mengalah dari Pak Supir. Mau bagaimana lagi ? Ini bus terakhir, menunggu selama apapun, Pak Supir yakin benar tidak akan ada penumpang yang “sok protes”; mengancam akan pindah ke bus lain saja kalau bus tidak maju-maju. Mau bagaimana lagi ? Ini bus satu-satunya, parkir selama apapun, Pak Supir tidak akan mendapat teguran lewat pengeras suara dari pihak pengelola terminal karena membuat antrian panjang bus-bus lain yang akan masuk terminal.

Sampai akhirnya, mata Hasan menangkap seorang gadis berbaju kaos putih dengan celana pendek berwarna coklat. Diperhatikan, jalannya gadis itu semakin mendekat ke arah bus. Setiap ayunan langkah si gadis menciptakan jerit harapan dari Hasan; “Naik !, naik !, naik !...”. Seakan doa yang terkabul, gadis itu memang naik ke dalam bus. Begitu wujudnya muncul di muka ruang bus, Hasan kembali menjerit-jerit; “Di sini !, di sini ! di sini !...”, berharap gadis itu akan memilih duduk di sampingnya. Sebuah harapan yang tipis karena dalam situasi banyak kursi “bebas” seperti ini, orang cenderung akan lebih memilih duduk sendirian saja di deret kursi yang kosong, sebagaimana dirinya dan penumpang-penumpang lain. Ya, akhirnya si gadis memang memilih duduk menyendiri di deret kursi yang kosong. Namun Hasan tetap bergembira karena deret yang dipilih si gadis tepat ada di seberang kirinya, sehingga sekali melirik kecil saja, sepanjang perjalanan ia akan ditemani pemandangan yang menyejukkan.

Hasan
Satu jam sudah bus berjalan. Sudah tak terhitung berapa kali Hasan melirik ke samping kirinya. Kadang lama, kadang sekejap saja. Bermacam-macam sudah isi pikirannya. Waktu melihat buku tebal – yang entah apa judulnya – di atas paha si gadis, dengan sok tahu Hasan mencap; “Kamu pasti mahasiswi !.” Turun ke bawah, Hasan mulai heran; “Apa gadis ini tidak kedinginan dengan celana pendeknya itu ?.” Pindah ke atas, tatapan Hasan berhenti di bawah leher sang gadis, kali ini ia hanya berdecak kagum; “Ck ck ck… “. Beralih ke wajah, fokus Hasan menuju bibir tebal tak bergincunya si gadis, pikirannya mulai samar; “Pas benar sepertinya !.”

Terkadang telinga ingin ikut dalam permainan tebak-tebakan ini. Saat si gadis terdengar sedang menjawab panggilan telepon, sedaya upaya telinga menyerap setiap kata yang keluar dari mulut si gadis, mencoba menerka dengan siapa ia bicara. Hanya sekedar membunuh rasa ingin tahu yang menggila; “Kamu sudah punya cowok atau belum ?.” Aneh juga, padahal Hasan sama sekali tidak punya niatan untuk mendekati gadis itu, tapi ada kelegaan tersendiri setiap kali yang ia dengar ialah; “Iya Pap, ini masih di jalan, Mama udah bobo ?... Iya nanti ditelpon kalau udah deket,” atau “Sri jangan lupa ya, jadi loh minggu depan kita ke distro yang di Cihampelas itu,” atau “Lia, FB lo apa sih, gue cari-cari kok gak ada ? Pasti namanya alay-alay gitu ya ? Gue mau tag lu di foto yang barengan anak-anak di studio.”

Setelah geser tempat duduk berkali-kali dan ngoceh berlama-lama. Sampailah si gadis pada momen; tidak-ada-yang-bisa-saya-kerjakan-lagi. Pertama dia hanya duduk diam, berat mungkin, ia pun selipkan buku tebalnya ke kantong di kursi depannya, tas ia taruh di kursi kosong sebelahnya dan si gadis duduk menyandar ke dinding bus, agak serong ke kanan. Pada saat itulah matanya bertemu dengan mata Hasan yang sedang asyik menelusurinya. Terlanjur malu, Hasanpun mengajaknya untuk tersenyum sambil mengangguk pelan, seolah mengatakan; “Halo, saya pria baik-baik yang kebetulan duduk di seberang kananmu, salam kenal !.” Setelah itu, segera ia buang wajah tanpa melihat apakah si gadis membalas senyumnya atau tidak.

Ada magnet kuat memang pada diri si gadis. Belum berapa lama Hasan melempar pandangan, dengan sangat hati-hati kembali kepalanya menoleh ke sebelah kiri. Kini ia melihat si gadis terlelap dengan posisi duduk yang masih sama, sedikit menyender ke dinding bus, agak mengarah tepat ke hadapannya, nampak satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Beberapa detik, Hasan hanya tertegun. Berdetik-detik kemudian, Hasan mulai menaikkan sedikit kepalanya, melihat situasi sekitar dan barulah ia sadar bila ia dan si gadis duduk di baris ketiga paling belakang. Sepi. Suasana bus sangat sepi, mungkin penumpang lainpun tidur bahkan bisa jadi si kondektur – yang biasanya sesekali hilir mudik memeriksa penumpang – juga, sebab sedari tadi ia hanya melihat kondektur saat menagih ongkos. Dengan paha yang menurut Hasan butuh kehangatan, ditambah kekagumannya pada tonjolan di badan si gadis, belum lagi bibir menawan yang seperhitungannya pas ukurannya. Pikiran Hasan semakin mendekati titik hitam.

Ini sudah malam. Kata orang tua-orang tua, setan-setan tambah bebas berkeliaran di saat gelap.

Gadis
Ad cwo ngliatin gw terus, jadi takut nih gw
Tulis si gadis di layar HP-nya. Mata si gadis sepasang saja dan posisinya pun masih tetap normal seperti manusia lain adanya, namun si gadis tetap merasakan bahwa lelaki yang duduk di seberang kanannya, terus “mengawasi” dirinya. Dudukpun jadi ikut tak nyaman, geser kanan, geser kiri, yang pasti dia tidak akan bergeser terlalu jauh ke kursi yang ketiga; kursi paling luar. Bisa-bisa lelaki itu tiba-tiba loncat menerkamnya. Sudah sedemikian mengerikan bayangan yang ada dalam benak si gadis.

Ganteng g ? lumayan lah kalo ganteng :p
Balas teman si gadis. Demi membaca SMS itu, di satu sisi si gadis geli tertawa karena memang itulah harapannya, sayang si pria di samping kanan masih jauh di bawah standar ganteng-nya. Di sisi lain, ia kesal karena sama sekali temannya tidak memberikan sesuatu yang menenangkan hati. Padahal jalan keluarnya sederhana saja, yakni pindah tempat duduk, toh berbaris-baris kursi di depannya tak berpenghuni. Bukannya si gadis tidak memikirkan hal itu, tapi entahlah sulit sekali ia mengangkat bokong dan beranjak. Seakan ada daya yang menahannya untuk tetap di situ.

Pindah tmpat duduk aj kalleeee…
Belum mengirim balasan, temannya sudah mengirimkan pesan lain. Si gadis segera merespon, hasilnya nihil. Rupanya SMS tadi ialah yang terakhir dari temannya. Dilihat jam di HP, sudah menunjukkan pukul sebelas. Si gadis memaklumi saja, temannya itu pasti sudah masuk area dugem. Ia paham benar kebiasaan temannya tersebut; begitu party dimulai, lupalah ia akan dunia nun di luar sana. Ingat akan hal itu, tiba-tiba si gadis jadi kesal sendiri. Sudah batal ia ikut dugem pada malam minggu ini, “diteror” pula oleh pria asing yang tak ganteng

Dari pada nanti malah jadi uring-uringan tidak jelas, si gadis memutuskan untuk tidur saja. Buku novel ia masukkan ke kantong kursi di depannya. Lalu ia menggeser duduknya lebih merapat lagi ke dinding bus. Sebagian punggung ia sandarkan ke sana, sehingga posisinya menyamping ke kanan, tas ia taruh di kursi kosong. Tepat ketika ia sedang membetulkan duduknya tersebut, matanya berpapasan dengan mata si pria “peneror”. Tertangkap basah sedang memelototinya dirinya, si pria hanya pura-pura bersikap ramah dengan melempar senyum sambil sedikit menganggukkan kepala. Segera setelah itu ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Perasaan muak mencuat begitu ia melihat wajah si pria.  “Dasar hidung belang sialan !”, kata si gadis dalam hati. Si gadis merasa punya momen tepat dengan si pria yang tengah membuang muka, diam-diam tangan kirinya merogoh kantong kecil di tas dan mengambil sebuah pisau lipat dari sana. Pisaupun berganti tempat, masuk ke kantong kiri celana dengan tetap digenggam erat. Begitu si pria benar-benar bertindak macam-macam sesuai dengan apa yang ia khawatirkan, secepat kilat pisau akan terhunus. “Awas lu !”, lanjut si gadis di dalam hatinya.

Antara Hasan dan Gadis
Meski selama tidur, pasti tak mungkin ia menghitung waktu. Si gadis yakin benar bila ia baru beberapa saat saja terpejam. Sebuah bunyi ringtone yang cukup nyaring membangunkannya, muncul terpendam dari saku atau tas seseorang di atas bus. Namun si gadis tak berusaha untuk membuka mata, sambil tetap terpejam, ia hanya berharap bunyi mengganggu itu segera lenyap.

Dinanti-nanti malah tak kunjung padam. Jengkel, si gadis langsung membelalak, mencari sumber suara. Pantas terasa begitu dekat, karena ternyata bunyi itu berasal dari saku jaket si pria di seberang kanan. Seolah-olah hanya memancing agar dia terbangun saja, begitu dia tersadarkan secara penuh dari tidur, matilah bunyi HP tersebut. Kejengkelanpun semakin menjadi. Ingin rasanya ia cabut pisau lipat dari saku kirinya dan melempar dengan ganas tepat ke arah muka si pria hidung belang. Akan tetapi sesuatu yang lain terjadi.

Apa yang sekarang sedang dilakukan oleh si pria, justru mengingatkannya akan sesuatu yang amat mendalam. Kembali pada sebuah kejadian lampau di suatu shubuh, ketika marah besar ibunya dibuat karena si gadis sulit bangun untuk shalat.
“Nak, shalat itu wajib, bagaimanapun kondisinya kau tetap harus melaksanakan bahkan yang sakitpun harus tetap menunaikan semampunya !”

Sebuah pepatah terakhir dari sang ibu, sebab setelah itu si gadis bergegas pergi ke Bandung lagi. Kemudian lama tak pulang, hingga akhirnya datanglah kabar mengejutkan bahwa ibu tengah sakit keras dan memaksanya harus pulang ke Sukabumi. Tak terasa matapun menghangat. Kilau-kilau air mata mulai nampak. Jengkel, kesal, sirna seketika. Tergantikan bayangan-bayangan tentang betapa seringnya ia membangkang pada perintah ibu. Betapa hebatnya ia meyakinkan keluarga bahwa ia tak pulang-pulang karena sibuk bekerja bahkan di akhir minggu ketika kebanyakan pekerja menikmati libur. Padahal ia asyik berhura-hura di ruang-ruang pesta malam, membuang-buang gaji yang tak seberapa atau seru bercumbu di kosan pacarnya yang seorang mahasiswa kaya. Betapa brengseknya ia sebagai seorang anak, justru merasa kesal dan terpaksa harus pulang melihat ibu kandungnya sendiri yang mungkin napasnya tinggal beberapa hembusan lagi.

Si gadis berpaling ke luar jendela dan… menangis.
* * *

Capek dengan fantasi yang tak terwujud, Hasan mencoba mencari-cari kegiatan lain. Secara tak sengaja ia melirik jam yang melilit di pergelangan tangan kanan. Terkejutlah ia bahwa waktu hampir menyentuh angka 12, sedangkan shalat Isya belum ia tunaikan. Segera ia niatkan diri untuk shalat. Tayamum pada jok kursi depan, membisikkan iqamat dan tanganpun mengangkat takbir pertama. Belum juga tuntas bacaan iftitah, HP di kantong jaket teriak-teriak minta diangkat. Si penelepon nampaknya gigih ingin bicara, HP terus meraung dan meraung lagi. 

Masuk rakaat ke empat, si penelepon akhirnya menyerah. Seiring berhentinya bunyi HP, Hasan merasakan bila sekarang ia sedang diawasi. Ia benar-benar menyadari bahwa ada sebuah tatapan tajam dari arah sebelah kiri, dari sepasang mata wanita yang sedari tadi ia pikir-pikirkan. Dan tatapan itu tak lepas-lepas. Sebuah bisikkan memberi tahu Hasan bila si gadis tengah mengagumi tindakannya. Hidung Hasan mulai mengembang. Bila si gadis akhirnya sadar bahwa Hasan memang pria baik-baik, saleh dan selama perjalanan ini ia telah salah duga. Perasaan Hasan mulai membunga. Bacaan surat pendek empat ayat telah tamat, tetapi si gadis belum mengalihkan pandangan. Hasan terdorong untuk menambah satu surat lagi.

Jembatan Citarum
Malaikat pencabut nyawa turun mengumpulkan ruh dari jasad-jasad rusak yang tak mungkin ditinggali lagi. Dengan tangan kanannya, ia merogoh ke dalam setiap badan dan menarik keluar ruh. Adapun di tangan kiri, ia memegang semacam stempel, begitu ruh ditarik, ruh langsung diberi cap persis seperti Pak Camat atau lurah mencap surat-surat desa. Stempelnya sendiri ada dua, satu berbunyi; “khusnul khatimah” (hidup berakhir dalam kebaikan) dan satu lagi; “suul khatimah” (mati dalam keadaan berbuat buruk). Setelah distempeli, ruh pun dilempar ke belakang, masuk ke dalam tas yang digendong menyelip di antara sayap-sayapnya. Selain dirinya, juga sibuk bertugas para malaikat pencatat amal dari masing-masing orang. Mereka sibuk merekap amal-amal yang dilakukan setiap orang di detik-detik akhir hayatnya.

“Hei salah cap !,” teriak malaikat pencatat amal-nya Hasan.
“Terakhir yang dia lakukan ialah sedang menunaikan shalat, kenapa pula diberi cap suul khatimah, waraskah pikiranmu ?,” lanjut si malaikat, tak terima.
Sambil menampilkan ekspresi wajah dingin, malaikat pencabut nyawa berkata; “Tapi ia shalat tidak murni karena Allah.”
“Hei salah cap !,” teriak malaikat pencatat amal lainnya. Rupanya yang kini bersuara ialah malaikay pencatat amal-nya si gadis
“Ia itu anak durhaka, mosok dinilai khusnul khatimah !,” ia menambahkan.
Tetap dengan ekspresi dinginnya, malaikat pencabut nyawa menjawab; “Tapi ia mati dalam keadaan menyesali dosa-dosanya, bukankah penyesalannya itu ialah sebagian dari taubat ?.”

Kedua malaikat pencatat amal yang protes tersebut hanya terdiam. Sementara itu, malaikat pencabut nyawa terbang kembali ke langit dengan membawa beberapa belas ruh di kantung gendong belakangnya.

Warta pagi
“Selamat pagi para pemirsa… Perjumpaan kita di pagi hari ini dibuka dengan sebuah berita duka cita. Sebuah bus milik P.O Sangkuriang jurusan Bandung-Sukabumi, tadi malam, sekitar pukul 23:50 Wib, mengalami kecelakaan di Jembatan Citarum, Kabupaten Cianjur. Bus menabrak pagar pembatas jembatan yang sedang direnovasi dalam kecepatan tinggi dan terjun menghujam ke dalam Sungai Citarum di bawahnya. Sampai berita ini kami hadirkan ke hadapan anda, belum ada upaya evakuasi dari pihak terkait, diduga tidak ada korban yang selamat. Untuk informasi lebih lanjut, kita sudah terhubung dengan Saudara Fahmi yang akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai situasi terkini di lokasi kejadian. Silakan Saudara Fahmi… “

3 comments: