Wednesday, March 31, 2010

PURITAN


Ia kurang pandai bergaul. Begitu teman-teman kampus mencap dirinya. Jika tak ditanya ia tak akan bicara, dalam obrolan ia hanya menyimak. Kelakuannya canggung, apalagi jika disapa oleh teman-teman wanita. Saat kuliah selesai, ia segera pulang, tak pernah ikut nongkrong dulu dengan kawan-kawannya di taman atau kantin kampus. Bila diajak main atau jalan-jalan, selalu ia menolak.
Di lingkungan kosan, ia malah dicap lebih parah lagi oleh para tetangga; tak mau bergaul. Dalam sehari, pintu kamarnya hanya terbuka dari waktu ashar sampai maghrib tiba. Biasanya ia sedang membaca koran, majalah atau main game komputer sambil ditemani segelas susu putih panas. Jika ada tetangganya yang masuk dan mengajak ngobrol, ia layani dengan setengah hati. Selepas adzan maghrib, pintu kamar tertutup, ia biasanya sedang belajar. Pukul 10 malam ia naik ranjang, tak pernah kurang. Tak sekalipun ia tertarik untuk ikut bergadang bersama tetangga-tetangga kosannya.
Apa yang menarik dari pemuda ini ialah dia yang rajin shalat tahajud di setiap malam. Pukul dua atau kadang setengah tiga dini hari ia bangun. Cuaca sedingin apapun, ia kuatkan untuk mandi junub (mandi besar). Tak ada satupun ustadz atau mungkin ulama yang memberi keterangan bahwa harus mandi besar dulu sebelum sembahyang tahajud. Namun si pemuda berpendapat kalau ia merasa lebih sempurna tahajudnya kalau mandi besar terlebih dahulu. Jumlah rakaatnya 23, ia jalani dengan waktu yang relatif singkat. Maklum, ia hanya baca surat-surat pendek atau potongan-potongan ayat yang juga pendek. Yang lama ialah dzkir dan doa setelah selesai tahajud.
Sebetulnya bila dikatakan dzikir dan berdoanya lama pun kurang tepat. Keduanya selesai dalam waktu sekejap saja. Hal yang membuat ia tahan duduk bersila adalah sesi curhat dengan Tuhan. Seperti itulah, setiap ia selesai berdoa, segera disambung dengan bercerita kepada Tuhan, mencurahkan segala yang mengganjal di hati dan pikiran. Sambil menengadahkan kepala ke langit-langit kamar, ia mengobrol kepada Tuhan selayaknya mengobrol pada sesama. Jika ia sedang punya kekesalan, ia berbicara dengan intonasi marah. Kala sedang merasa jenuh, ia bicara datar saja. Waktu punya sesuatu asa, nada bicaranya memelas. Kalau sedang bersuka hati, ada tawa dan senyum dalam omongannya yang berirama bahagia.
Sampai datanglah waktu adzan shubuh berkumandang. Ia lekas-lekas pergi ke masjid. Sesudah pulang dari masjid, ia tidur lagi. Tepat pukul enam pagi ia kembali bangun. Entah itu hari biasa atau hari-hari libur, ia selalu bangun sepagi itu. Tak suka ia untuk bermalas-malasan.
Diam-diam, ternyata si pemuda punya rasa pada seorang gadis, teman sekelasnya di perkuliahan. Rambutnya panjang sepinggang, kulitnya putih mulus, tinggi badannya ideal, badannya sehat berisi. Bicaranya manja, bikin gemas orang yang dengar. Tingkahnya lincah dan centil, sangat enerjik. Dengar-dengar, rupanya si gadis itu mantan penari pemandu sorak di SMA-nya. Ia adalah tipe wanita yang suka dibawa para pria ke dalam lamunan mesumnya. Di kelas, pemuda selalu berusaha duduk tepat sebaris di belakang gadis. Supaya dengan puas ia dapat amati kemolekannya.
Mitos mengatakan; “kecantikan selalu berbanding terbalik dengan kepintaran”. Sayangnya hal itu tampak berlaku pada si gadis. Jika ditanya dosen, ia jawab sekenanya. Nilai kuisnya hampir selalu jongkok. Saat presentasi, ia sering bicara keluar konteks. Soal IPK (indeks prestasi kumulatif), mencapai angka 2,5 pun itu sudah alhamdulillah. Tapi… ah masa bodoh dengan kepintaran. Mahasiswa paling cerdas di kelas sekalipun, masih selalu berharap bisa menjadikannya kekasih.
Gara-gara si gadis, pemuda jadi suka telat tidur malam. Ia memang tetap pada jadwalnya, yakni jam 10. Namun hampir sejam lebih ia tak kunjung dapat memejamkan mata. Begitu saja, ia berguling-guling dengan gelisah di atas kasur, mengkhayalkan hal-hal yang tidak senonoh tentang ia dan si gadis.
Bangun tahajud dengan celana basah. Kini ia punya alasan kuat kenapa mandi besar dahulu sebelum melaksanakan shalat malam. Bacaan shalat tertukar-tukar, lupa atau kadang ia jengah sendiri; “Sedang baca apa saya barusan ?”. Konsentrasi bersembahyang diganggu sosok imajiner si gadis.
Sudah hampir dua bulan ini, pemuda mencurahkan isi perasaan yang selalu sama. Mengenai keinginannya yang semakin hari semakin mencuat ke ubun-ubun untuk mendapatkan hati si gadis. Bahkan ia berjanji pada Tuhan, untuk mengajarkan si gadis pelajaran-pelajaran kuliah, agar prestasi akademiknya dapat terdongkrak. Ia juga bertekad untuk mengajak si gadis sama-sama mendalami ilmu agama. Menjilbabinya, itulah jaminan yang diberikan pemuda pada Tuhan, bila Tuhan memperkenankan dirinya menjadi kekasih si gadis.
Waktu terus bergulir, pemuda tetap pada pola kehidupannya sehari-hari yang seperti itu terus. Cap kurang pandai bergaul atau tak mau bergaul, belum juga lekang dari dirinya.
Suatu hari, ada kabar angin tak sedap hinggap ke telinga pemuda. Katanya, mahasiswa fakultas lain ada yang sedang dekat dengan si gadis. Selintas-selintas, dari obrolan kawan-kawan sekelas, si pemuda tahu kalau si anu tersebut sering mengantarkan pulang si gadis.
Saking penasaran, pemuda melanggar keteraturannya sendiri. Selepas kuliah, ia tak lantas pulang. Bak mata-mata, ia duduk mengintai di seberang gerbang kampus, menunggu si gadis keluar bersama si anu, lelaki yang katanya sedang gencar menebar bibit cinta pada hati si gadis. Mengempislah dada si pemuda demi melihat si anu yang dimaksud. Rupanya dia adalah si putra Bapak Rektor yang jadi kapten tim bola kasti kampus. Dibanding-banding dari segi manapun, si pemuda kalah dalam segalanya. Pantas kalau kawan-kawan kelas mengatakan mereka yakin si gadis akan terpaut hatinya pada si anu.
Ada banyak semangat dan harapan yang menguap dari diri pemuda. Setelah rutinitas terganggu sedikit oleh aktifitas memata-matai, selanjutnya pemuda menjalankan hari seperti biasanya. Hanya saja sekarang dengan setengah daya. Segelas susu tak habis, beberapa lembar koran sudah membuatnya lelah membaca, belajar tapi tak fokus, mau tidur namun hati gundah gulana. Hingga akhirnya ia teringat pada kisah yang diceritakan pak ustadz dulu. Tentang tiga orang pemuda yang terkurung di dalam gua. Satu demi satu pemuda itu menukar amal baiknya selama hidup dengan kekuatan untuk mendorong batu dari mulut gua. Tuhan terima amal baik mereka dan kisah berakhir bahagia, mereka terbebas dari gua yang gelap. Terbesit pada benak pemuda; “Kenapa aku tak berbuat semacam mereka ?”
Maka dibuatlah kontrak pada pukul setengah 4 dini hari waktu itu. Seusai panjang-panjang ber-curhat, dengan tegas si pemuda mengajukan aplikasi permohonan pada Tuhan. Ia tukar pahala shalat tahajudnya selama ini dengan sebuah permintaan; mohon agar si gadis beralih hati padanya. Di akhir, kata “amin” diucapkan berkali-kali dengan nada mengharap yang semakin mendalam. Adzan shubuh berkumandang, rapat dengan Tuhan itupun selesai. Semangat dan harapan yang tadinya menguap, sekarang berganti dengan yang baru, bahkan lebih membludak. Ada keyakinan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada pemuda.
Pagi menjelang, pemuda melenggang dengan penuh percaya diri. Kawan-kawan sekelas yang nampak tak peduli rupanya menangkap ada sedikit gelagat tak wajar dari diri si pemuda. Yang biasanya ia dingin dan kaku, kini tersenyum berseri-seri meski tetap irit bicara. Kuliah berlangsung seperti biasanya, demikian pula dengan pemuda yang duduk sebaris tepat di belakang si gadis idola. Tak sabar ia menunggu jam kuliah selesai.
Ketika kuliah usai, dosen meninggalkan kelas dan begitu juga hendak beranjak para mahasiswa. Pemuda berdiri dengan cekatan, mencegah si gadis untuk pergi.
“Tunggu Nona !”, katanya, tegas, menarik perhatian kawan-kawan yang masih tersisa di dalam kelas.
Si gadis menengok ke belakang. Teman-teman yang belum sempat meninggalkan kelas seolah terkesima. Jarang sekali mereka melihat pemuda memulai percakapan terlebih dahulu. Seakan ada paku yang menancap kaki-kaki mereka, membuat mereka terdiam dan menonton gerangan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Adakah suatu perasaan khusus yang dirasakan Nona hari ini ?”, tanya pemuda yang kini sudah berhadap-hadapan dengan si gadis. Kepala gadis menggeleng-geleng.
“Suatu perasaan khusus dari Nona kepada saya ?”, tanya pemuda lagi dengan lebih menjurus. Kembali si gadis hanya menggeleng.
“Perasaan bahwa Nona suka pada saya ?”, tanya pemuda dengan langsung menohok.
“Ada yang salah rupanya dengan dirimu hari ini Bung ! Pergilah ke dokter, sepertinya kau sedang sakit”, jawab si gadis dengan agak jengkel, lalu pergi berlalu.
Para penonton ikut pergi dengan kebingungan yang kurang lebih sama dengan si gadis; “Ada apa dengan dirimu Bung ?”. Tinggallah si pemuda seorang diri di dalam kelas. Ada segenap cinta yang hancur remuk, sedikit rasa tidak percaya, beberapa tamparan malu dan banyak rasa mual yang bangkit.
“Kenapa jadinya begini Ya Tuhan ?”, katanya, bergumam sendiri di dalam hati.

* * *

            Seperti biasa, pemuda bangun pada dini hari. Langit-langit kamar bedebum-debum, pertanda penghuni kamar di atas masih terjaga. Bunyinya yang gaduh menunjukkan ada orang ramai di sana. Lamat-lamat terdengar tawa riang. Ya, ini malam minggu, jadwalnya para tetangga kosan untuk mabuk berjamaah. Pemuda keluar kamar dengan rasa jijik. Di luar, suara-suara dari atas tambah jelas terdengar. Ia terus melangkah ke kakus dan melaksanakan mandi besar di sana untuk beberapa lama. Usai mandi, hatinya terusik. Langkahnya menyimpang, menyentuh anak-anak tangga satu demi satu. Malu-malu, ia muncul di muka pintu salah satu kamar kos yang terbuka.
            “Boleh saya ikut bergabung ?”

No comments:

Post a Comment