Wednesday, March 31, 2010

GAK GUNA KOK MASIH SAJA DIPELIHARA ?


Tulisan ini bukan sekedar artikel untuk Lomba Blog UII. Bagi saya, apa yang termuat dalam artikel kali ini sekaligus mengutuki diri saya sendiri sebagai penulisnya. Kok bisa begitu ?

Pertama-tama saya cerita dulu. Tahun 2007 yang lalu, saya menjadi bagian dari kepanitiaan Masa Orientasi Mahasiswa Baru. Saya ditempatkan di bagian yang dinamakan; “Evaluator”. Sesuai namanya, tugas kami hanya mengevaluasi. Siapa yang dievaluasi ? Tak lain dan tak bukan ialah adik-adik mahasiswa baru. Apa yang dievaluasi ? Yakni, kelakuan mereka selama mengikuti kegiatan orientasi, tentu saja yang salah-salah. Kalau enggak ada yang salah, ya dibuat-buat salah, yang penting mahasiwa baru jadi punya salah. Bagaimana cara mengevaluasinya ? Dengan otot leher alias marah-marah. Ya, inilah kami, evaluator. Sebuah bentuk penghalusan nama dari panitia tata tertib yang tugasnya cuma marah-marah endak keruan sama adik-adik junior. Akting, ya kami memang hanya berpura-pura marah. Kemarahan yang mewakili ego keseluruhan panitia (baca : angkatan senior) yang gila dikagumi. Sekalian juga kesempatan untuk ngeceng dan tebar pesona di depan adik-adik yang cantik tenan.

Saya melihat bahwa pembentukan “panitia khusus marah-marah” sudah menjadi sebuah tradisi dalam dunia pendidikan kita. Kebiasaan ini bahkan sudah ditemukan dari tingkat pendidikan SMP. Dengan gagah, kakak-kakak senior petantang-petenteng di depan adik-adik angkatan, lalu menyala-nyalak sepuasnya. Pada beberapa kasus, kakak senior sering kelewatan batas yaitu dengan memberi intimidasi fisik. Sakit, ya memang ini tradisi yang sakit. Anehnya, alih-alih dihapuskan, tradisi ini malah terus didukung dan dipertahankan oleh institusi-institusi pendidikan.

Rupa-rupa alasan pembenaran diberikan. Ada yang bilang bahwa keberadaan panitia galak memang dibutuhkan untuk mengontrol jalannya acara, agar tidak ada adik-adik junior yang berbuat macam-macam selama kegiatan. Benarkah ? Ah, klise, basi ! Ada yang bilang bahwa tekanan psikis yang diberikan itu ialah simulasi dari kondisi perkuliahan sebenarnya, sehingga adik-adik diharapkan nantinya punya mental kuat dalam berkuliah. Betulkah ? Ah, ngawur ! Ada yang bilang untuk melatih kedisiplinan. Benarkah ? Mungkin benar kalau konteksnya sekolah militer. Ada yang bilang ini semua untuk membetuk ikatan kebersamaan antara adik-adik angakatan atau agar nantinya adik-adik tidak ngelunjak pada senior. Betulkah ? Ah, ada-ada saja bikin alasan !

Usut punya usut, tradisi ospek ini merupakan warisan pendidikan ala Belanda. Bayangkan betapa kunonya tradisi ini ! Sungguh suatu yang mengherankan bila tradisi ini masih tetap dijalankan. Dan sungguh suatu yang memalukan bila hal ini masih ditemukan di jenjang pendidikan perguruan tinggi. Pertanyaan utamanya tentu saja; “Adakah manfaat yang real dari tradisi ospek ?” Diberi pertanyaan semacam ini, paling-paling jawaban yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya yang muncul. Jawaban-jawaban yang tidak berdasar pada pemikiran rasional-sistematik-akademik ala perguruan tinggi. Padahal kalau sudah tingkatan mahasiswa, mereka seharusnya bisa memberikan alasan yang lebih mengena ke akal pikiran.

Alhamdulillah, kini makin banyak perguruan tinggi yang sudah sadar, siuman dan berani menghapuskan tradisi kolot ini. Adapun sebagian lainnya, masih berkubang di masa lalu. Heran, apakah perguruan-perguruan tinggi yang masih membolehkan mahasiswa-mahasiswanya menjalankan tradisi ospek tidak sadar kalau sekarang sudah tahun 2010 ?! Zamannya sudah modern, tapi kelakuan masih saja kuno begitu !

Sebuah perguruan tinggi yang ingin menjadi Perguruan Tinggi Terbaik tentu harus bisa menyingkirkan hal-hal yang tidak relevan bahkan merusak perkembangan pendidikan mahasiswa-mahasiswanya. Walaupun hal-hal tersebut merupakan sebuah tradisi yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Kalau tidak berguna, buat apa dipelihara ? Malah bisa-bisa nanti menimbulkan permasalahan bagi perguruan tinggi.

Tapi orang-orang yang berusaha agar tradisi rusak ini dipertahankan selalu ada. Ya, orang-orang jumud (kolot nan keras kepala) seperti itu selalu ada. Ketika berbagai argumen mereka berhasil dipatahkan dan posisi mereka terpojokkan. Ujung-ujungnya mereka mengeluarkan alasan yang paling primitif; “Itu kan hanya sebatas bumbu untuk kegiatan orientasi, supaya kegiatan ini ada gereget-nya, seru dan berkesan di hati para mahasiswa baru”. Terdengar primitif toh ? Kita ini kan makhluk kreatif, masih banyak cara lain untuk membumbui kegiatan orientasi agar gereget, seru dan berkesan. Seperti kata pepatah; Tiada rotan akar-punjabi… eh maaf maksud saya, akarpun jadi.

Nampaknya dicukupkan saja sampai di sini. Intinya, sebuah perguruan tinggi mesti berani untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi pendidikan yang menyesatkan. Tindakan yang paling ringannya ialah dengan menghapuskan tradisi ospek berunsur intimidasi pada kegiatan Masa Orientasi Mahasiswa Baru. Sekian dan semoga anda mengerti kenapa saya bilang tulisan ini mengutuki diri saya sendiri. Hehehe…

No comments:

Post a Comment