Membicarakan apa yang diidam-idamkan itu tidak akan habisnya. Sebab Idaman ialah sesuatu yang ada di alam bebas khayal. Namun semua ada batasannya, saat kita memulai mengidam-idamkan sesuatu, maka pada satu titik nanti kita mesti berhenti mengawang-awang dan segera berpikir bagaimana cara merealisasikan apa yang diidamkan tersebut. Batas waktu pengiriman artikel hampir tiba, jumlah syarat artikel sudah sesuai peraturan. Nampaknya, sudah tiba saatnya bagi saya untuk menutup rangkaian artikel-artikel Lomba Blog UII. Berikut ini daftar artikel-artikel tersebut yang memuat pemikiran saya mengenai definisi Perguruan TInggi Idaman :
Selesai memikirkan seperti apa perguruan tinggi yang saya idam-idamkan. Kini pikiran mulai menerawang, mengidam-idamkan hadiah notebook yang dijanjikan panitia Lomba Blog UII.Terlepas dari siapapun yang menjadi pemenang, semoga saja pihak penyelenggara lomba yakni, Universtas Islam Indonesia (UII) dapat merespon secara positif beragam pemikiran ideal yang dituangkan ratusan peserta lomba blog ini. Dengan kata lain, mewujudkan perguruan tinggi yang kita idam-idamkan. Amin.
Sekilas, membaca syarat dan peraturan Lomba Blog UII, terkesan jika menulis artikel untuk lomba ini relatif lebih mudah dibandingkan dengan lomba menulis blog lainnya. Bagaimana tidak ? Temanya sudah ditentukan, yakni “Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman”. Kata kunci syarat-nya hanya sedikit; Perguruan Tinggi Idaman, Perguruan Tinggi Terbaik, Perguruan Tinggi Favorit Indonesia, Universitas Islam Indonesia, dan Lomba Blog UII. Jumlah minimal artikel yang dimintapun cuma 15 buah.
Kenyataannya, menulis artikel untuk Lomba Blog UII ini tak kalah sulit dengan menulis artikel untuk lomba blog lainnya. Merumuskan definisi seperti apa Perguruan Tinggi Idaman itu tidak semudah yang dikira. Secara harfiah definisi itu berarti pengertian akan sesuatu hal. Lebih mendalam lagi, sebuah definisi harus memuat batasan-batasan tertentu yang membedakan suatu hal dengan hal lainnya. Belum lagi bila kita memperhitungkan ada di tataran mana definisi yang kita buat; konseptual atau operasional. Pada tingkatan konseptual, pengertian yang kita buat masih mengambang di alam abstraksi. Sedangkan di tingkat operasional, pengertian harus menggambarkan kondisi kongkrit dari sesuatu tersebut atau bila menurut bahasa statistik ialah terukur (observable).
Kata “Idaman” dalam tema lomba “Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman” sendiri yang rupanya membuat sulit untuk merangkai sebuah definisi. Kata “Idaman” bermakna sesuatu yang tidak berpijak pada realitas, ia ada di alam imajinasi. Dan para peserta lomba blog harus menerjemahkan sedemikian rupa apa yang ada di alam unreal masing-masing tersebut ke dalam sebuah rumusan yang paling tidak harus memenuhi dua syarat; 1) memiliki batasan yang jelas, dan 2) bisa dikongkritkan.
Ketika seseorang menulis bahwa Perguruan Tinggi Idaman itu ialah perguruan tinggi yang biayanya terjangkau. Permasalahan belum selesai sampai di situ. Syarat pertama, tentu batasannya harus jelas; Terjangkau itu ya seperti apa ? Apa yang membedakan murah-nya Perguruan Tinggi Idaman dengan perguruan tinggi non-idaman ? Setelah pertanyaan terjawab, maka lanjut ke syarat kedua; kongkritnya murah itu seperti apa ? Dibawah 1 juta-kah ? Banjir beasiswa-kah ? Banyak keringanan pembayaran-kah ?
Melalui syarat pertama, perguruan tinggi akan memiliki identitas sendiri yang membedakannya dengan institusi lain. Sedangkan melalui pemenuhan syarat kedua, kita dapat menentukan parameter-parameter tercapai atau tidaknya kategori tertentu (dalam hal ini, Idaman).
Definisi. Ya, hanya soal definisi. Seolah mudah namun nyatanya rumit. Gara-gara definisi, pengesahan RUU Pornografi sempat terkatung-katung. Gara-gara definisi, pengusutan kasus Bank Century terlalu berkutat pada kesepahaman mengenai “Bank berdampak sistemik”. Gara-gara definisi, pengurus NU Jatim protes atas penggelaran (alm) Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme”.
Dalam tulisan ini, saya tidak mencoba mendefinisikan apa itu Perguruan Tinggi Idaman. Di sini saya hanya ingin berbagi bahwa ternyata membuat definisi itu tidak bisa seenak udel. Pemikirannya mesti matang, pertimbangannya kudu pas. Termasuk untuk mendefinisikan kata “Idaman” dalam Lomba Blog UII ini. Sangat mungkin ada yang berpikir; “Halah untuk lomba doang kok, endak usah mumet-mumet mikirinnya, mending kalo menang, kalo endak ?”. Ya, semuanya kembali pada individu masing-masing peserta lomba. Yang jelas saya hanya memberikan pandangan, itu saja. Kongkritnya, ya apa yang tertulis di dalam artikel ini, tidak lebih.
Dalam satu kesempatan tes seleksi masuk sebuah politeknik manufaktur kenamaan di wilayah Bandung, saya mengobrol dengan seorang psikolog yang menjadi project officer kegiatan seleksi tersebut. Dalam obrolan itu si psikolog menyatakan kekhawatirannya tentang semakin sedikitnya lapang kerja bagi sarjana-sarjana psikologi keluaran baru, terutama untuk lingkup kerja di perusahaan (industri dan organisasi). Dia mencontohkan dalam hal psikotes untuk kepentingan rekrutmen atau promosi saja, sekarang mulai banyak “diambil alih” oleh sarjana-sarjana ekonomi. Aneh memang, tes psikologi kok digarap oleh sarjana-sarjana non-piskologi ? Ternyata, alat tes psikologi yang mereka gunakan ialah alat-alat tes model baru yang sifatnya computerize, pengoperasiannya amat sederhana, dan hasilnya tak kalah akurat dengan alat-alat tes “kuno” yang paling banyak dan selalu digunakan selama ini. Tidak perlu seorang sarjana psikologi yang melaksanakan tes tersebut. Hanya dibutuhkan orang yang bersertififkat. Apapun latar belakang pendidikannya, asal dia telah certified ahli dalam menggunakan alat tes modern tersebut, maka ia akan dicari-cari perusahaan untuk disewa tenaganya.
Lucunya, banyak perguruan tinggi yang memiliki program studi psikologi, lambat dalam merespon perubahan zaman ini. Lambatpun masih Alhamdulillah, seperti kata pepatah; “Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Masalahnya kini banyak perguruan tinggi yang masih jumud, bertahan dengan ke-kuno-annya dan membiarkan mahasiswa-mahasiswa mereka bagai kodok terperangkap dalam tempurung. Ketika mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain handal dalam mengoperasikan alat tes psikologi yang baru. Mahasiswa psikologi-nya sendiri malah endak tahu-menahu kalau ada alat tes psikologi yang lebih anyar dan canggih.
Alhasil, menurut pengamatan psikolog senior kolega saya tersebut, banyak perusahaan yang mengeluh karena ternyata sarjana psikologi yang mereka rekrut tidak bisa apa-apa dalam mengoperasikan alat-alat tes terbaru. Pun demikian, sekarang banyak perusahaan yang lebih senang mencari biro yang mampu menyelenggarakan tes-tes dengan alat terbaru, meskipun biro tersebut digawangi orang-orang dengan basic pendidikan non-psikologi.
“Hidup itu bagai arus sungai”, begitu kata filsuf Demokritus. Tidak ada satupun di dunia ini yang statis. Semuanya terus bergerak, tiada hentinya, bahkan sebenarnya manusianya sendiri terus berubah. Manusia akan keteteran kalau tidak mampu mengikuti arus perubahan tersebut. Semua lini dalam kehidupan manusia terus berubah. Tak ketinggalan dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu indikator sebuah perguruan tinggi dicap sebagai Perguruan Tinggi Terbaik ialah dilihat berdasarkan kualitas lulusannya. Adapun lulusan itu sendiri dinilai terbaik atau tidaknya oleh masyarakat. Jika masyarakat puas akan kualitas lulusan perguruan tinggi tertentu, tidak hanya si lulusan yang dicap terbaik, tapi juga telunjuk secara tak langsung mengarah ke institusi tempat si lulusan berasal. Sementara penilaian masyarakat itu berdasarkan kebutuhan mereka. Artinya, jika lulusan mampu memenuhi ekspektasi masyarakat maka yang demikianlah yang dikatakan lulusan terbaik. Sarjana-sarjana yang tidak mampu mengikuti kebutuhan masyarakat, tidak hanya dicap “bukan terbaik”, namun ia juga akan tersingkir dalam persaingan dengan sarjana-sarjana dari perguruan lain. Nasib naas yang semestinya diperhatikan benar oleh institusi perguruan tinggi.
Dengan demkian, sudah terang kiranya kalau Perguruan Tinggi Terbaik itu ialah perguruan tinggi yang selalu berusaha dan mampu merespon perubahan trend keilmuan. Trend keilmuan yang tentu saja berbasis kebutuhan masyarakat. Bagaikan software antivirus komputer, perguruan tinggi harus terus meng-update dirinya. Jika perguruan tinggi selalu mampu menjawab perubahan tuntutan zaman, maka tidak akan ada lagi kekhawatiran mahasiswa-mahasiswanya akan terlempar dari persaingan. Sebaliknya, jika perguruan tinggi tidak up to date, maka ia akan tergerogoti oleh arus zaman dan semakin jauh dari status Perguruan Tinggi Terbaik.
Saya memiliki kolega yang menjabat sebagai pimpinan redaksi sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta. Tidak seperti sekarang, kala itu, perusahaannya khusus hanya menerbitkan buku-buku bertemakan agraria. Sekali waktu diundanglah pihak penerbit oleh sebuah institut pertanian yang sudah sangat ternama.
Kolega saya menceritakan bahwa saat kunjungan tersebut ada seseorang yang menyindir tentang buku-buku hasil terbitan perusahaan yang ia pimpin. Si penyindir tersebut menyayangkan bahwa ternyata buku-buku pertanian yang diterbitkan tidak ditulis oleh seorang akademisi atau praktisi pertanian. Para penulisnya malah memiliki latar belakang akademik yang jauh dari bidang agraris. Oleh karenanya, isi dari buku tersebut harus dipertanyakan keabsahannya. Disindir seperti itu, kolega saya tersebut balik menyerang; “Perguruan tinggi itu bak sebuah menara emas, baru indah kalau kita mendekat, tapi dari kejauhan tidak nampak apa-apa”.
Secara kasar, pernyataan kolega saya tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut; “Di perguruan tinggi anda itu memang banyak ahli-ahli pertanian, banyak pula kumpulan penelitian mutakhir tentang pertanian, namun sayangnya kesemuanya itu tidak terasa dampaknya oleh masyarakat. Para ahlinya hanya memukau dalam ceramah teori dan penelitian-penelitiannya hanya indah menghiasi rak-rak serta almari-almari perguruan tinggi”.
Serangan yang tajam dan pada intinya ia menyatakan kalau pihaknya lebih baik karena benar-benar membuahkan suatu karya yang berguna bagi masyarakat walaupun tidak ditulis oleh ahlinya.
Idealnya, memang sebuah buku itu ditulis oleh ahlinya. Buku hukum ya ditulis oleh praktisi hukum. Buku psikologi ya dibikin oleh seorang psikolog. Buku sastra ya ditulis oleh seorang sastrawan. Namun kenyataannya, menulis itu bagaikan meramu masakan. Dalam memasak anda tidak perlu menjadi seorang chef handal ala Rudy Choirudin atau Fara Quinn. Yang penting anda tahu bahannya apa saja, takarannya berapa dan langkah-langkah pembuatannya seperti apa. Demikian juga menulis, untuk menulis sebuah buku pertanian, yang terpenting anda tahu bahan materi apa saja yang dibutuhkan, materi mana saja yang relevan dengan tema, kemudian bagaimana cara menyampaikannya agar mudah dipahami pembaca. Simple, tidak mestianda menjadi sarjana pertanian terlebih dahulu.
Di luar soal menulis, mari kita simak kembali pernyataan yang dikeluarkan oleh kolega saya. “Perguruan tinggi itu bak menara emas”, katanya. Hati nurani mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin benar adanya. Begitu banyak penelitian-penelitian aplikatif yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa atau dosen-dosen di perguruan tinggi. Namun mungkin baru sebagian kecil yang benar-benar diterapkan di masyarakat. Sungguh sangat disayangkan, karena sesuatu yang secara empiris telah terbukti dapat memecahkan suatu persoalan di masyarakat, nyatanya tidak ditularkan. Hanya menjadi bahan diskusi di antara kalangan akademisi atau dipentasseminarkan di ajang-ajang temu ilmiah level regional sampai internasional.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mendorong segenap civitas-nya untuk mempraktekkan penelitian mereka di masyarakat. Jika tingkat mempraktekkan mungkin terlalu sulit. Oke, pada tingkatan ringannya, civitas mesti menginformasikan kepada masyarakat mengenai kegunaan hasil penelitian-penelitian mereka. Salah satu bentuk kongkritnya ialah dengan menerjemahkan penelitian mereka itu ke dalam bentuk buku. Pada titik inilah terjadi transfer pengetahuan dari kalangan pengeyam pendidikan tinggi ke masyarakat secara umum.
Seorang dosen dengan “pangkat” doktoral belum tentu bisa menulis buku yang isinya mudah dicerna masyarakat. Seorang mahasiswa berprestasi belum tentu mampu menulis buku yang penyampaiannya menyentuh otak awam masyarakat. Menulis itu butuh pembelajaran, menulis itu butuh latihan.
Sampai sini mungkin sudah bisa diterka ke mana arah isi tulisan ini bila dikaitkan dengan tema lomba blog; “Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman”. Benar sekali, Perguruan Tinggi Idaman itu semestinya menyediakan sarana-sarana pembelajaran bagi civitas-nya agar tidak hanya mahir menulis penelitian yang penuh dengan istilah keilmuan memusingkan. Namun juga mahir dalam menyusun kata-kata sehingga penelitian tersebut bisa disampaikan ulang dengan cara yang lebih dimengerti oleh masyarakat. Tidak harus selalu dalam bentuk buku. Bisa saja dalam bentuk artikel, kolom, tulisan feature dan lain-lainnya lagi. Apapun bentuknya, yang pasti penyampaiannya harus dapat dipahami.
Terlepas dari kontroversi yang muncul selama tragedi “Cicak VS Buaya”. Pada waktu itu, di masyarakat muncul suatu fenomena tersendiri, yakni “pemberhalaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”. “Berhala” KPK dipuja-puji masyarakat sebagai satu-satunya lembaga “suci” di Indonesia. Pembelaan besar-besaran dilakukan di sana-sini, lewat aksi demo nyata ataupun secara mayamelalui situs jejaring sosial Facebook.
Usai pertandingan Cicak VS Buaya, sebuah fakta terungkap. Katanya, menurut hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) baru-baru ini. KPK ternyata enggak bersih-bersih amat. Disinyalir ada intrik-intrik korupsi di dalam tubuh si pembasmi koruptor ini. Sungguh satu paradoks yang memilukan.
Berlalu soal KPK, muncul gemuruh di Koja, Jakarta Utara. Ratusan warga bentrok besar dengan ribuan Satpol PP. Konflik kepentingan yang membuahkan maut antara PT. Pelindo yang diwakili Satpol PP dengan Keluarga Ahli Waris Mbah Priok yang diwakili warga setempat. Tercatat tiga nyawa anggota Satpol PP melayang karena amukan massa.
Cukup mengherankan, betapa loyalnya warga membela keberadaan “berhala” makam keramat Mbah Priok. Padahal, jenazah Mbah Priok sendiri sudah tidak di situ lagi sejak tahun 1997. Almarhum sudah lama beristirahat di TPU Semper. Aneh, sungguh aneh, pindahnya jenazah tidak menjadikan lokasi ziarah juga ikut pindah. Ribuan warga setiap harinya tetap datang ke Koja untuk “menyembah” bekas makam Mbah Priok. Timbul kecurigaan bahwa ada oknum yang tidak ingin keuntungan basah dari “bisnis ziarah”-nya terganggu, lalu menggerakkan massa untuk menentang niatan baik pemerintah dan PT. Pelindo.
Insiden Koja, merupakan kejadian yang masih hangat. Kembali jauh ke belakang, ke masa-masa (Alm) Gus Dur akan di-impeachment oleh DPR, kita akan diingatkan oleh peristiwa “pemberhalaan” yang lain. Kejadian dimaksud tak lain dan tak bukan ialah pembelaan membabi buta atas (Alm) Gus Dur yang dilakoni ribuan massa PBM alias Pasukan Berani Mati. Ribuan massa yang mayoritas dari tanah Jawa Timur sana merangsek ke Ibu Kota dan menunjukkan keseriusan bahwa mereka tak takut mati demi membela (Alm) Gus Dur. Di masa genting, Muhaimin Iskandar, yang waktu itu masih bergandengan mesra dengan pamannya, sampai mengeluarkan pernyataan pembelaan mutlak; “Kalau Gus Dur bilang langit itu kuning, maka saya akan katakan kuning juga”.
Wah… banyak sekali ternyata “berhala-berhala” di negeri kita ini. Tidak hanya mewujud pada figur seorang tokoh atau benda mati, sampai organisasipun dipuja abis-abisan. Luar biasa !
Rupanya, fenomena “pemberhalaan” muncul juga di dunia pendidikan, khususnya dunia perguruan tinggi. Sudah tidak aneh lagi kita melihat dan mendengar ada orang tua yang rela berkorban puluhan juta demi anaknya bisa diterima di sebuah perguruan tinggi yang dicap sebagai Perguruan Tinggi Favorit Indonesia atau Perguruan Tinggi Terbaik.
Sebagai contoh bisa dilihat pada sebuah institut teknologi negeri di Bandung. Sebuah institut yang tidak diragukan lagi sudah menjadi Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia. Jalur seleksi khusus yang (katanya) seharga Rp. 50 juta tidak pernah sepi peminat setiap tahunnya. Padahal, kalau dipikir-pikir, jalur seleksi khusus tersebut sebetulnya cuma akal-akalan bisnis dari institut tersebut. Akal-akalan bisnis ? Ya, bagaimana tidak, peluang masuk tetaplah kecil. Kalau ikut seleksi jalur biasa (SNMPTN), peluang masuknya satu berbanding ribuan. Sedang jika ikut seleksi khusus, peluangnya satu banding ratusan. Nampak lebih kecil, namun yang mesti digarisbawahi plus dicetak tebal ialah bahwa pada jalur seleksi khususpun belum tentu calon mahasiswa itu diterima. Kendatipun calon mahasiswa seleksi khusus tidak diterima, kan uang pendaftaran mereka yang berjuta-juta itu tetap masuk ke kantong institut. Jadi, jelas ini semua sebetulnya hanya strategi institut untuk meraih isi pundi-pundi dengan lebih banyak.
Kalau mendengar cerita ada si anu yang menghabiskan sekian puluh juta agar anaknya masuk perguruan tinggi A. Sering saya menanggapinya dengan berseloroh; “Kalau saya jadi orang tua nanti dan punya banyak uang, lebih baik saya kasihkan itu uang sekiah puluh juta mentah-mentah ke anak saya buat jadi modal usaha, dari pada habis endak keruan untuk masuk perguruan tinggi”.
Seloroh saya, jelas selorohnya kaum menengah ke bawah yang begitu sayang akan penggunaan uang. Bagi kaum berduit, tentu uang sekian puluh juta tersebut bukan masalah besar. Untuk kalangan cekak sungguh tidak rasional biaya puluhan juta kalau hanya untuk bisa masuk. Ingat, hanya untuk masuk saja puluhan juta ! Tapi bagi kaum konglomerat hal tersebut rasional-rasional saja, namanya juga demi kebahagiaan anak.
Ya, seperti itulah “berhala” di dunia perguruan tinggi. “Kaum pemuja” siap serah harta benda, berapapun jua. Pihak perguruan tinggi menangkap peluang dan memanfaatkannya. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar. Ini cuma perkara rasional – tidak rasional. Pun demikian, ini hanya memperlihatkan pada kita bahwa kaum berduit tak secerdas yang kita kira.
Ustadz Cinta saat di Acara Take Me Out, mau dakwah apa dakwah tuh ?
Isi materi dakwah Aa Gym ringan. Tidak banyak kutipan ayat atau hadits yang berseliweran. Topiknya mengenai hal-hal “sepele” dalam kehidupan sehari-hari. Secara content minim, namun dari segi “penggemar” membludak. Sebuah anomali fenomena yang cukup mencengangkan di tengah trend dakwah dengan isi materi berbobot berat.
Sejak Aa Gym booming, mulai bermuncullah ustdaz-ustadz newbie lainnya dengan aliran gaya berdakwah yang kurang lebih sama. Uniknya, fenomena yang terjadi selanjutnya ialah terjadi spesialisasi bidang dakwah. Ust. Yusuf Mansyur spesialis materi sedekah, Ust. Arifin Ilham khususon soal dzikir jamaah, Ust. Jefry khas dengan gaya gaulnya, Ust. Cinta sesuai namanya hanya membicarakan masalah cinta serta perjodohan, dan lain-lain.
Kenapa disebut kurang lebih sama ? Ya, mereka kurang lebih sama dalam hal sasaran yang dikejar dari aktifitas berdakwah. Materi yang diangkat cenderung materi-materi yang bersifat umum, berada pada tataran “kulit” dan mencoba mengakomodir semua perbedaan (khilafiyah) paham agama. Timbul kesan bahwa materi yang diberikan ialah “hanya materi yang ingin didengar oleh mustami’ (jamaah pendengar)”. Maksudnya ? Tidak pernah Aa Gym, Yusuf Mansyur, Arifin Ilham dan ustadz yang sejenisnya membicarakan tentang kontroversi haramnya bunga Bank. Kenapa ? Jelas, karena publik cenderung menghindari topik semacam itu. Daripada mendengar materi yang menyalahkan mereka karena telah menikmati haramnya riba bunga Bank, mendengar topik “Bersih Itu Indah”, “Senyum Itu Ibadah”, atau “Nikmatnya Berdoa”, lebih terasa aman, meski isinya sudah sangat lumrah. Secara ringkas, tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa dakwahnya Aa Gym and friends itu berorientasi publik. Dan inilah sejatinya kesamaan antara pendakwah-pendakwah tenar zaman sekarang.
Timbul pertanyaan; “Bukankah dakwah itu memang mesti berorientasi publik ?”. Oh tentu saja tidak ! Sebagai ilustrasi, saya ceritakan sebuah kisah parodi berikut; ada seorang ustadz yang diminta mengisi acara syukuran (selametan) rumah baru. Si ustdaz menyebutkan bahwa agar rumah diberkahi salah satunya ialah dengan tidak memelihara anjing, kendatipun memelihara jangan dibiarkan anjing tersebut masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja ustadz melihat ada anjing belang di dalam salah satu kamar si empunya rumah. Spontan saja si ustadz berkata; “Terkecuali untuk anjing belang !”.
Dakwah memang ditujukan kepada orang banyak, namun tidak berarti harus bertumpu kepada kaum pendengar. Dakwah yang sebenar-benarnya dakwah tetap mesti berpijak pada kebenaran. Tidak masalah apakah jamaah menyenanginya atau tidak. Jika isi materi dakwah yang disampaikan tergantung pada ketertarikan publik pendengar, maka dikhawatirkan kebenaran dari pesan-pesan agama yang disampaikanpun akan tergadaikan. Contoh main-mainnya ya seperti yang tergambar pada cerita parodi saya.
Jika ingin melihat seperti apa dakwah itu yang seharusnya, contoh yang paling benar tidak lain ialah dari Sang Tauladan Nabi Muhammad Saw. Bagaimanapun kaum kafir Quraisy membenci bahkan sampai melakukan intimidasi pada Nabi kala itu, Nabi Muhammad tetap konsisten dengan apa yang didakwahkannya. Yang benar dikatakan benar, salah dikatakan salah. Tidak goyah, tidak sok mengambil jalan tengah yang dianggap lebih aman serta selamat dan tidak membuat Muhammad enggan atau menolak untuk menyampaikan suatu pesan tertentu.
Itulah idealisme dakwah yang patut kita contoh. Ditarik ke atas, pada konsep yang lebih besar, dakwah merupakan bentuk kongkrit dari pendidikan. Secara global, pendidikan itu sendiri bermaksud untuk memberikan pencerahan kepada individu-individu sehingga individu mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik, bagi diri mereka sendiri (tataran personal) dan bagi kehidupan bermasyarakat (tataran sosial).
Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan formal dengan strata teratas harus menunjukkan idelisme pendidikan yang luhur tersebut. Sama halnya dengan fenomena ustadz masa kini, godaan terbesar bagi institusi perguruan tinggi, terutama yang swakelola (swasta) ialah melencengnya sasaran kepada public oriented. Kendatipun hidup-matinya sebuah perguruan tinggi swasta salah satunya ditentukan oleh jumlah mahasiswa, gerak institusi perguruan tinggi idealnya tetap ajeg pada idealisme pendidikan. Hal yang paling mengkhawatirkan ketika sebuah perguruan tinggi sudah public oriented ialah penurunan kualitas dari perguruan tinggi tersebut. Lebih-lebih mengkhawatirkan lagi ketika pendidikan perguruan tinggi sudah menjadi komoditi bisnis karena terlalu berorientasi publik tersebut.
Dari penjelasan yang panjang lebar ini, kiranya telah terang bahwa Perguruan Tinggi Terbaik itu adalah perguruan tinggi yang tetap dapat menjaga idealisme pendidikan di tengah godaan untuk berorientasi publik. Meskipun tidak selalu, indikator yang paling mudah untuk melacak apakah perguruan tinggi bersangkutan sudah jadi public oriented atau belum, ialah dengan melihat perbandingan antara peningkatan jumlah mahasiswa dengan penurunan bobot kualitas mahasiswanya.
Pertanyaan terakhir untuk menutup tulisan ini; Apakah perguruan tinggi idealis tersebut masih ada atau baru sebatas ada pada tataran Perguruan Tinggi Idaman ? Mari kita sama-sama untuk merenunginya.
Tulisan ini bukan sekedar artikel untuk Lomba Blog UII. Bagi saya, apa yang termuat dalam artikel kali ini sekaligus mengutuki diri saya sendiri sebagai penulisnya. Kok bisa begitu ?
Pertama-tama saya cerita dulu. Tahun 2007 yang lalu, saya menjadi bagian dari kepanitiaan Masa Orientasi Mahasiswa Baru. Saya ditempatkan di bagian yang dinamakan; “Evaluator”. Sesuai namanya, tugas kami hanya mengevaluasi. Siapa yang dievaluasi ? Tak lain dan tak bukan ialah adik-adik mahasiswa baru. Apa yang dievaluasi ? Yakni, kelakuan mereka selama mengikuti kegiatan orientasi, tentu saja yang salah-salah. Kalau enggak ada yang salah, ya dibuat-buat salah, yang penting mahasiwa baru jadi punya salah. Bagaimana cara mengevaluasinya ? Dengan otot leher alias marah-marah. Ya, inilah kami, evaluator. Sebuah bentuk penghalusan nama dari panitia tata tertib yang tugasnya cuma marah-marah endak keruan sama adik-adik junior. Akting, ya kami memang hanya berpura-pura marah. Kemarahan yang mewakili ego keseluruhan panitia (baca : angkatan senior) yang gila dikagumi. Sekalian juga kesempatan untuk ngeceng dan tebar pesona di depan adik-adik yang cantik tenan.
Saya melihat bahwa pembentukan “panitia khusus marah-marah” sudah menjadi sebuah tradisi dalam dunia pendidikan kita. Kebiasaan ini bahkan sudah ditemukan dari tingkat pendidikan SMP. Dengan gagah, kakak-kakak senior petantang-petenteng di depan adik-adik angkatan, lalu menyala-nyalak sepuasnya. Pada beberapa kasus, kakak senior sering kelewatan batas yaitu dengan memberi intimidasi fisik. Sakit, ya memang ini tradisi yang sakit. Anehnya, alih-alih dihapuskan, tradisi ini malah terus didukung dan dipertahankan oleh institusi-institusi pendidikan.
Rupa-rupa alasan pembenaran diberikan. Ada yang bilang bahwa keberadaan panitia galak memang dibutuhkan untuk mengontrol jalannya acara, agar tidak ada adik-adik junior yang berbuat macam-macam selama kegiatan. Benarkah ? Ah, klise, basi ! Ada yang bilang bahwa tekanan psikis yang diberikan itu ialah simulasi dari kondisi perkuliahan sebenarnya, sehingga adik-adik diharapkan nantinya punya mental kuat dalam berkuliah. Betulkah ? Ah, ngawur ! Ada yang bilang untuk melatih kedisiplinan. Benarkah ? Mungkin benar kalau konteksnya sekolah militer. Ada yang bilang ini semua untuk membetuk ikatan kebersamaan antara adik-adik angakatan atau agar nantinya adik-adik tidak ngelunjak pada senior. Betulkah ? Ah, ada-ada saja bikin alasan !
Usut punya usut, tradisi ospek ini merupakan warisan pendidikan ala Belanda. Bayangkan betapa kunonya tradisi ini ! Sungguh suatu yang mengherankan bila tradisi ini masih tetap dijalankan. Dan sungguh suatu yang memalukan bila hal ini masih ditemukan di jenjang pendidikan perguruan tinggi. Pertanyaan utamanya tentu saja; “Adakah manfaat yang real dari tradisi ospek ?” Diberi pertanyaan semacam ini, paling-paling jawaban yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya yang muncul. Jawaban-jawaban yang tidak berdasar pada pemikiran rasional-sistematik-akademik ala perguruan tinggi. Padahal kalau sudah tingkatan mahasiswa, mereka seharusnya bisa memberikan alasan yang lebih mengena ke akal pikiran.
Alhamdulillah, kini makin banyak perguruan tinggi yang sudah sadar, siuman dan berani menghapuskan tradisi kolot ini. Adapun sebagian lainnya, masih berkubang di masa lalu. Heran, apakah perguruan-perguruan tinggi yang masih membolehkan mahasiswa-mahasiswanya menjalankan tradisi ospek tidak sadar kalau sekarang sudah tahun 2010 ?! Zamannya sudah modern, tapi kelakuan masih saja kuno begitu !
Sebuah perguruan tinggi yang ingin menjadi Perguruan Tinggi Terbaik tentu harus bisa menyingkirkan hal-hal yang tidak relevan bahkan merusak perkembangan pendidikan mahasiswa-mahasiswanya. Walaupun hal-hal tersebut merupakan sebuah tradisi yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Kalau tidak berguna, buat apa dipelihara ? Malah bisa-bisa nanti menimbulkan permasalahan bagi perguruan tinggi.
Tapi orang-orang yang berusaha agar tradisi rusak ini dipertahankan selalu ada. Ya, orang-orang jumud (kolot nan keras kepala) seperti itu selalu ada. Ketika berbagai argumen mereka berhasil dipatahkan dan posisi mereka terpojokkan. Ujung-ujungnya mereka mengeluarkan alasan yang paling primitif; “Itu kan hanya sebatas bumbu untuk kegiatan orientasi, supaya kegiatan ini ada gereget-nya, seru dan berkesan di hati para mahasiswa baru”. Terdengar primitif toh ? Kita ini kan makhluk kreatif, masih banyak cara lain untuk membumbui kegiatan orientasi agar gereget, seru dan berkesan. Seperti kata pepatah; Tiada rotan akar-punjabi… eh maaf maksud saya, akarpun jadi.
Nampaknya dicukupkan saja sampai di sini. Intinya, sebuah perguruan tinggi mesti berani untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi pendidikan yang menyesatkan. Tindakan yang paling ringannya ialah dengan menghapuskan tradisi ospek berunsur intimidasi pada kegiatan Masa Orientasi Mahasiswa Baru. Sekian dan semoga anda mengerti kenapa saya bilang tulisan ini mengutuki diri saya sendiri. Hehehe…
Sebut saja si bapak dosen sekaligus dekan fakultas kami ini dengan A. Di mata banyak mahasiswa – yang juga dibenarkan oleh sebagian dosen – Bapak A ini merupakan seorang pembimbing skripsi yang alot. Maksudnya, ia sulit diikuti kemauan dan pemikirannya kala membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi. Alhasil, mahasiwa sampai jungkir balik bahkan ketika baru mengajukan judul penelitian. Sebab Bapak A selalu meminta mahasiswa mengajukan penelitian yang relatif baru, fresh, belum pernah diangkat oleh peneliti lain. Kalau sampai ia menemukan judul penelitian yang sudah sangat lumrah, seperti; “Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Kinerja”, sudah pasti beliau akan menolaknya mentah-mentah, membuat mahasiswa jadi kelimpungan mencari judul baru.
Sebagian dosen ada yang mencibir atas sikap bapak A. Dikatakan bahwa sifat penelitian itu memang repetitif, dapat diulang, sesuai dengan namanya re-search (dicari/diteliti-lagi). Meskipun sebuah topik sudah sering dan banyak diangkat jadi penelitian, sah-sah saja untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama. Siapa tahu ditemukan hasil yang berbeda, karena faktor waktu, tempat pelaksanaan dan subjek penelitiannya yang berbeda mungkin berpengaruh. Sebagai tambahan, mereka juga berpendapat bahwa meminta mahasiswa untuk membuat skripsi yang “wah”, itu namanya terlalu menuntut mahasiswa dengan harapan tinggi, padahal jenjangnya baru S-1. “Ini skripsi, bukan tesis apalagi disertasi”, kata mereka.
Terlepas dari idealisme Bapak A yang jadi kontroversi tersebut. Sebetulnya apa yang ingin ditekankan oleh si bapak ialah mengenai orisinalitas sebuah karya. Artinya, mahasiswa mesti betul-betul bisa membuahkan karya yang asli dan murni hasil gejolak pemikirannya sendiri. Kalau membuat penelitian dengan topik itu-itu saja yang sudah sangat umum, berarti mahasiswa tidak mampu berpikir orisinil, atau jangan-jangan malah plagiat.
Ada dua kemungkinan ketika mahasiswa mengajukan penelitian yang “biasa-biasa” saja. Pertama, bisa jadi ini lebih karena faktor kekurangcermatan mahasiswa sebagai peneliti dalam mengobservasi gejala-gejala fenomena yang ada, sehingga variabel yang dia angkat ya itu lagi-itu lagi. Kedua, mungkin juga ini karena faktor mahasiswa yang sudah ngebet ingin cepat lulus, sehingga cari topik penelitian yang mudah-mudah saja dan umum.
Jika dibanding-banding antara kemungkinan satu dan dua. Saya (penulis) melihat bahwa yang paling bahaya ialah kemungkinan yang kedua. Kenapa ? Sebab pada tataran ini ada kecenderungan dalam individu untuk melakukan apa saja asalkan keinginannya tercapai. Di sinilah jurang plagiarisme terbuka lebar. Adapun jiplak-menjiplak itu merupakan salah satu aib terbesar dalam dunia pendidikan. Dan pelaku plagiarisme tidak hanya mahasiswa saja, dosen-dosenpun bisa terjerumus.
Karena faktor “menghalalkan segala cara” inilah, akhirnya kita mendengar kabar buruk bahwa ada dosen anu yang jiplak to’ artikel orang lain. Ada dosen yang jiplak skripsi di internet untuk karya tulis syarat pengajuan gelar guru besar. Untung, kabar baiknya, mereka-mereka itu, katanya, mengakui perbuatan salahnya dan siap nrimo akan sanksi yang akan diberikan oleh pihak-pihak terkait.
Kasus plagiarisme tentu akan mencoreng nama baik perguruan tinggi. Dosen tukang jiplak merupakan contoh buruk bagi mahasiswa dan teladan bejat bagi masyarakat luas. Perguruan tinggi harus bersih-bersih diri dari parasit plagiator tersebut. Beri sanksi yang seberat-beratnya, kalau perlu ya pecat saja. Untuk menjadi Perguruan Tinggi Terbaik, institusi perguruan tinggi mesti benar-benar menjaga kualitasnya. Saya dengar kabar, katanya, kalau di luar negeri, dosen yang punya track record buruk, selain dipecat dari institusi asal, ia pun akan diboikot dari dunia pendidikan, paling tidak ia akan kesulitan untuk mencari tempat mengajar yang baru.
Perguruan Tinggi Terbaik justru mesti dapat mendorong dosen-dosennya untuk berkarya seorisinil mungkin, sebagaimana dosen-dosen tersebut menekan mahasiswa-mahasiswanya untuk menunjukkan kreatifitas yang total.
Seorang MBA muda lulusan universitas tingkat dunia, anak saudagar kaya, berdarah Tionghoa, pulang ke kampung halaman dan segera meroketkan sebuah bank milik ayahnya. Nama bank itu ialah Bank Century Intervest Corporation (CIC). Pada 1999, Bank CIC berhasil menjadi bank berpredikat A, dengan jumlah aset sebesar Rp. 3,5 triliun. Anda mungkin sudah tahu siapa yang sedang saya ceritakan. Ya, dialah Robert Tantular. Sosok yang disebut anggota Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani, sebagai “belut dalam oli”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa licinnya pria satu ini untuk diusut dan dibekuk.
Licinnya Robert menunjukkan kemahirannya di dunia bisnis dan perbankan. Dosen-dosen Universitas George Washington di Amerika Serikat sana, mungkin akan menepuk-nepuk dada, bangga, karena anak didiknya telah berhasil menjadi bankir yang ulung, sangat ulung. Namun mereka juga nampaknya akan menjadi sedih, karena ternyata si anak didik yang genius itu, malah memakai ilmunya di jalur yang salah.
Saya membayangkan kalau Robert dulunya ialah seorang mahasiswa idealis juga, sama seperti kebanyakan mahasiswa di negeri ini. Idealis dalam artian ia menyimpan cita-cita tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu berjalan dan dirinya ikut ambil bagian di dalam proses mewujudkan cita-cita ideal tersebut. Tidak sedikitpun terbesit pikiran untuk menjadi bajingan berpendidikan, yang dengan kepandaian ilmunya justru meresahkan dan menyengsarakan banyak orang.
“Nak, aku pernah jadi kau dulu, tapi kau belum pernah menjadi aku seperti sekarang ini”, kata Ruhut Sitompul, anggota Fraksi Partai Demokrat, pada seorang mahasiswa yang memprotes kinerja Pansus Century, terutama tertuju pada Partai Demokrat. Pernyataan itu menyiratkan bahwa kau, mahasiswa, hanya tahu yang ideal-idealnya saja, tapi setelah masuk ke dunia politik nyata kelak, kaupun mahasiswa tidak akan berbeda busuknya dengan politikus-politikus lain. Hilanglah apa itu yang dinamakan idealisme. Perbenturan antara alam imajiner (idealisme) dengan kenyataan (realita) akhirnya dimenangkan oleh setan-setan di dunia riil.
“Bukan tanggung jawab perguruan tinggi. Ya, bukan tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak sarjana-sarjana lurus dunia-akhirat”
Mungkin seperti itu pula yang terjadi pada Robert. Idealisme luhurnya lenyap diterpa ambisi keduniaan. Harta dan tahta telah dengan sempurna melunturkan cita-cita agungnya. Mimpi Robert menjadi konglomerat dengan harta yang halal berubah menjadi konglomerat saja, tak peduli caranya halal atau tidak.
Bukan tanggung jawab perguruan tinggi. Ya, bukan tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak sarjana-sarjana lurus dunia-akhirat. Jalan hidup seseorang ialah pilihan pribadi. Apakah seorang sarjana akan memanfaatkan ilmunya di jalan yang benar atau sesat, itu semua kembali pada pilihan pribadi masing-masing sarjana. Berubahnya Robert menjadi bankir nakal tidak bisa dikaitkan langsung kepada universitas tempatnya dulu menimba ilmu. Tidak bisa dikatakan kalau Universitas George Washington ialah pencetak bankir-bankir bandel yang licin dan licik.
Akan tetapi, perguruan tinggi tentu saja dapat memberikan bekal. Bekal yang dengannya, seorang sarjana dapat menimbang-nimbang keputusannya. Perguruan Tinggi Terbaik ialah perguruan tinggi yang dapat memberikan sejumlah bekal pada calon-calon sarjananya agar senantiasa menjalani hidup dengan benar. Pendidikan kode etik profesi tentu saja tidak cukup. Pemberian mata kuliah pendidikan agama belum juga cukup. Mahasiswa harus dicekoki banyak bekal pendidikan moral, tidak hanya di dalam kelas melainkan juga lewat kegiatan-kegiatan di luar kelas.
Perguruan Tinggi Terbaiktidak akan banyak bertanya dan memperdebatkan soal bekal tersebut. Dengan cepat ia akan merespon keadaan zaman sekarang yang makin banyak bertumbuhan penjahat-penjahat berpendidikan. Sekali lagi, soal jalan hidup, itu memang bukan tanggung jawab perguruan tinggi. Namun bukan berarti perguruan tinggi tidak dapat melakukan apa-apa bagi kehidupan sarjana-sarjana lulusannya.