Judul : Kooong
Penulis : Iwan Simatupang
Penerbit : Pustaka Jaya (cetakan kedua, 2013)
Jumlah halaman : 100
Buku
dibuka dengan nuansa nelangsa. Menceritakan perjalanan seorang duda kaya raya
bernama Sastro dari desanya di pelosok Jawa ke Ibu Kota. Bertujuan untuk
menengok anak laki satu-satunya yang tinggal nama. Dengan cara tragis pula,
dilindas roda-roda kereta. Sungguh malang, lama tak dengar kabar apa lagi
berjumpa, sekali ada berita bunyinya duka. Jauh sebelum itu, istrinya sudah lama
tiada, tak kalah tragis, dilahap banjir yang melanda desa saat Sastro tak
sedang di sana.
Dalam
perjalanan hendak pulang ke desa, arah menuju cerita sesungguhnya bermula. Di
Pasar Senen, Sastro tak sengaja melihat seekor burung perkutut yang sedang
dirawat oleh yang punya. Setelah tarik menarik harga, si burung pun berpindah
tangan dan menjadi oleh-oleh Sastro dari Ibu Kota. Seekor perkutut yang segera
menjadi bahan cela warga sesampainya dia di desa.
Perkutut yang jauh-jauh dibeli dari
kota ini rupanya tak pernah terdengar bersuara. Adapun soal perkutut piaraan,
orang justru akan sangat menanti dan mengharapkan “kooong”-nya. Apa lagi yang
punya ialah Sastro yang kaya raya, orang berekspektasi bila perkutut yang ia
beli pastilah istimewa. Tapi nyatanya perkutut biasa saja. Sastopun kecewa
namun ia tetap tak tega. Jangankan dibunuh, dilepaskan-pun tidak. Si burung
tetap dia pelihara dengan perawatan yang sebaik-baiknya, seolah burung itu
istimewa sebagaimana yang orang lain kira. Warga desa mulai berpikir ada yang
tidak beres dengan otak si duda.
Yang terjadi selanjutnya ialah warga
yang semakin tidak habis pikir akan Sastro yang bermuram durja. Lantaran
perkutut yang biasa-biasa saja itu, pada suatu pagi ia dapati tak lagi
bertengger di sangkarnya. Seseorang telah membuka pintu sangkar dan perkutut
terbang bebas entah ke mana. Awalnya Sastro seorang diri saja yang pergi ke
luar desa demi mencari burungnya. Kemudian disusul Pak Lurah, Pak Carik, si
Amat Kalong, si Jangkung dan akhirnya hampir semua lelaki dewasa berhamburan
ikut keluar desa.
Perburuan seekor perkutut bisu yang
kabur. Itulah cerita utama dari buku Kooong. Seekor perkutut biasa yang menjadi
luar biasa karena yang dicari bukan lagi soal perkutut melainkan sebuah
indentitas, jati diri.
Keseluruhan buku ini ialah sebuah
alegori. Melalui Sastro, perkututnya, warga desa, ibu warung nasi, semua yang
tersebut di dalam buku, Iwan mengajak kita untuk berkontemplasi, memaknai hidup
dengan lebih mendalam, Iwan mengajak kita berfilsafat. Tentang siapa diri kita,
mulai dari kita sebagai bagian dari kelompok besar yang disebut Bangsa
Indonesia, sampai unit-unit terkecil, yakni per diri kita masing-masing.
Pada satu bagian Iwan memprotes
gerak perkembangan ekonomi Indonesia yang memaksa warganya meninggalkan kodrat
sebagai makhluk agraris. Bukan saja soal perpindahan mata pencaharian, lebih dari itu juga pergeseran gaya hidup. Pola pikir dan gaya hidup orang kota telah merasuk ke
pelosok-pelosok desa, “meracuni” setiap penghuninya untuk melupakan cara hidup
bersahaja a la manusia cocok tanam. Gambaran warga desa yang Iwan buat pada
tahun 70-an ini masih sangat relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita sekarang. Kita
melihat kini desa-desa tak lagi menjadi pangkal kekuatan ekonomi berbasis
pertanian karena para warganya lebih memilih urbanisasi ke kota, lebih sudi
jadi kuli rumah tangga atau pabrik dari pada menjadi kuli ladang dan sawah.
Godaan hidup bergelimang bahkan berhasil merayu banyak warga desa untuk nekad
pergi ke negeri-negeri yang jauh, meski setibanya di sana tetap menjalani hidup
sebagai kuli bahkan tak jarang lebih rendah dari itu, yaitu menderita sebagai
hamba sahaya. Di masa sekarang, hampir tak ada beda antara desa dengan kota.
Semarak dan kegilaan yang berlangsung di masyarakat kota, juga terjadi di
tengah-tengah desa.
Di bagian lain Iwan menyadarkan bahwa
betapa sering kita menyepelekan hal-hal yang sudah lumrah kita jumpai dan
lakoni. Tak jarang pula mengeluh atasnya. Padahal, seperti dalam lirik lagu
dangdut Raden Haji Oma Irama; “Kalau sudah tiada, baru terasa.” Hal-hal yang
sudah biasa itu sebetulnya menjadi “nyawa” dalam gerak kehidupan kita, yang bisa
jadi ketika dia hilang, maka timpanglah kehidupan kita. Rumput tetangga selalu
lebih hijau, ada juga peribahasa yang menyebutkan begitu. Kita sering kali
terlalu menaruh penilaian berlebih pada apa yang terjadi pada kehidupan orang
lain. Dan karenanya kita tergerak ingin mencapai tingkatan sebagaimana yang orang
lain tersebut raih. Padahal sejatinya, apa yang sudah ada pada diri kita tidak
buruk-buruk amat, boleh jadi malah tidak buruk sama sekali atau bahkan lebih
baik dari orang lain yang kita iri.
Ada juga bagian yang mempertanyakan
makna kemerdekaan, kebebasan. Apa sebetulnya yang mau didapat dari kemerdekaan
?. Apa sebetulnya yang diberikan dari kebebasan ?. Begitu sering orang
berteriak slogan kemerdekaan atau kebebasan yang diikuti oleh embel-embel
lainnya, seperti; kebebasan berkreasi, kemerdekaan berpikir, kebebasan
berpendepat, kemerdekaan ekonomi dan sebagainya. Sesungguhnya, adakah di dunia
ini hal yang benar-benar bisa dikatakan merdeka ? bebas ?. Pada kenyataannya,
sering kali yang kita inginkan ialah sekedar melarikan diri dari permasalahan,
tanggung jawab, kewajiban, tuntutan, instruksi atau apapun itu yang membebani
diri kita. Kita sebutlah ia dengan merdeka, bebas. Pada kenyataannya, sering
kali yang kita kejar ialah sekedar sejumput bonus, sekilat sensasi lebih, secuil
tambahan penghasilan atau sedikit kelebihan apapun itu yang kita rasakan. Kita sebutlah ia dengan
hasil kemerdekaan, kebebasan.
Semua orang dalam Kooong sibuk
mencari. Ada yang menemukan kemudian berhenti, ada yang sudah menemukan
kemudian ingin mencari hal baru lain. Sampai si burung perkutut yang notabene
sedang dicaripun, dia ikut mencari-cari. Luar biasa bukan ?. Sampai perkutut
bisu turut mencari makna terdalam dari kehidupan yang ia jalani. Sebentar,
sepertinya saya harus meralat kalimat saya barusan. Perkutut ini sesungguhnya
tak benar-benar bisu, ia pernah mengeluarkan “kooong”-nya, dua kali. Anda bisa
mendengar “kooong” si perkutut di halaman tiga belas.
Di mana anda
bisa dapatkan buku ini ?
Kooong
dapat anda peroleh dengan belanja on line
via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan
pelayanan yang ramah dan terbuka. Dengan harga yang cukup murah, anda bisa
mendapatkan Kooong, buku yang bahkan penulisnya sendiripun belum pernah
melihatnya (Iwan Simatupang meninggal 5 tahun sebelum buku ini
diterbitkan).
Bukuna dicandak de?
ReplyDelete