Sunday, January 25, 2015

FILOSOFI PERKUTUT BISU



       
Judul : Kooong
Penulis : Iwan Simatupang
Penerbit : Pustaka Jaya (cetakan kedua, 2013)
Jumlah halaman : 100 
          

         Buku dibuka dengan nuansa nelangsa. Menceritakan perjalanan seorang duda kaya raya bernama Sastro dari desanya di pelosok Jawa ke Ibu Kota. Bertujuan untuk menengok anak laki satu-satunya yang tinggal nama. Dengan cara tragis pula, dilindas roda-roda kereta. Sungguh malang, lama tak dengar kabar apa lagi berjumpa, sekali ada berita bunyinya duka. Jauh sebelum itu, istrinya sudah lama tiada, tak kalah tragis, dilahap banjir yang melanda desa saat Sastro tak sedang di sana.
           
        
           Dalam perjalanan hendak pulang ke desa, arah menuju cerita sesungguhnya bermula. Di Pasar Senen, Sastro tak sengaja melihat seekor burung perkutut yang sedang dirawat oleh yang punya. Setelah tarik menarik harga, si burung pun berpindah tangan dan menjadi oleh-oleh Sastro dari Ibu Kota. Seekor perkutut yang segera menjadi bahan cela warga sesampainya dia di desa.
          Perkutut yang jauh-jauh dibeli dari kota ini rupanya tak pernah terdengar bersuara. Adapun soal perkutut piaraan, orang justru akan sangat menanti dan mengharapkan “kooong”-nya. Apa lagi yang punya ialah Sastro yang kaya raya, orang berekspektasi bila perkutut yang ia beli pastilah istimewa. Tapi nyatanya perkutut biasa saja. Sastopun kecewa namun ia tetap tak tega. Jangankan dibunuh, dilepaskan-pun tidak. Si burung tetap dia pelihara dengan perawatan yang sebaik-baiknya, seolah burung itu istimewa sebagaimana yang orang lain kira. Warga desa mulai berpikir ada yang tidak beres dengan otak si duda.
            Yang terjadi selanjutnya ialah warga yang semakin tidak habis pikir akan Sastro yang bermuram durja. Lantaran perkutut yang biasa-biasa saja itu, pada suatu pagi ia dapati tak lagi bertengger di sangkarnya. Seseorang telah membuka pintu sangkar dan perkutut terbang bebas entah ke mana. Awalnya Sastro seorang diri saja yang pergi ke luar desa demi mencari burungnya. Kemudian disusul Pak Lurah, Pak Carik, si Amat Kalong, si Jangkung dan akhirnya hampir semua lelaki dewasa berhamburan ikut keluar desa.
            Perburuan seekor perkutut bisu yang kabur. Itulah cerita utama dari buku Kooong. Seekor perkutut biasa yang menjadi luar biasa karena yang dicari bukan lagi soal perkutut melainkan sebuah indentitas, jati diri.
            Keseluruhan buku ini ialah sebuah alegori. Melalui Sastro, perkututnya, warga desa, ibu warung nasi, semua yang tersebut di dalam buku, Iwan mengajak kita untuk berkontemplasi, memaknai hidup dengan lebih mendalam, Iwan mengajak kita berfilsafat. Tentang siapa diri kita, mulai dari kita sebagai bagian dari kelompok besar yang disebut Bangsa Indonesia, sampai unit-unit terkecil, yakni per diri kita masing-masing.
            Pada satu bagian Iwan memprotes gerak perkembangan ekonomi Indonesia yang memaksa warganya meninggalkan kodrat sebagai makhluk agraris. Bukan saja soal perpindahan mata pencaharian, lebih dari itu juga pergeseran gaya hidup. Pola pikir dan gaya hidup orang kota telah merasuk ke pelosok-pelosok desa, “meracuni” setiap penghuninya untuk melupakan cara hidup bersahaja a la manusia cocok tanam. Gambaran warga desa yang Iwan buat pada tahun 70-an ini masih sangat relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita sekarang. Kita melihat kini desa-desa tak lagi menjadi pangkal kekuatan ekonomi berbasis pertanian karena para warganya lebih memilih urbanisasi ke kota, lebih sudi jadi kuli rumah tangga atau pabrik dari pada menjadi kuli ladang dan sawah. Godaan hidup bergelimang bahkan berhasil merayu banyak warga desa untuk nekad pergi ke negeri-negeri yang jauh, meski setibanya di sana tetap menjalani hidup sebagai kuli bahkan tak jarang lebih rendah dari itu, yaitu menderita sebagai hamba sahaya. Di masa sekarang, hampir tak ada beda antara desa dengan kota. Semarak dan kegilaan yang berlangsung di masyarakat kota, juga terjadi di tengah-tengah desa.
            Di bagian lain Iwan menyadarkan bahwa betapa sering kita menyepelekan hal-hal yang sudah lumrah kita jumpai dan lakoni. Tak jarang pula mengeluh atasnya. Padahal, seperti dalam lirik lagu dangdut Raden Haji Oma Irama; “Kalau sudah tiada, baru terasa.” Hal-hal yang sudah biasa itu sebetulnya menjadi “nyawa” dalam gerak kehidupan kita, yang bisa jadi ketika dia hilang, maka timpanglah kehidupan kita. Rumput tetangga selalu lebih hijau, ada juga peribahasa yang menyebutkan begitu. Kita sering kali terlalu menaruh penilaian berlebih pada apa yang terjadi pada kehidupan orang lain. Dan karenanya kita tergerak ingin mencapai tingkatan sebagaimana yang orang lain tersebut raih. Padahal sejatinya, apa yang sudah ada pada diri kita tidak buruk-buruk amat, boleh jadi malah tidak buruk sama sekali atau bahkan lebih baik dari orang lain yang kita iri.
            Ada juga bagian yang mempertanyakan makna kemerdekaan, kebebasan. Apa sebetulnya yang mau didapat dari kemerdekaan ?. Apa sebetulnya yang diberikan dari kebebasan ?. Begitu sering orang berteriak slogan kemerdekaan atau kebebasan yang diikuti oleh embel-embel lainnya, seperti; kebebasan berkreasi, kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendepat, kemerdekaan ekonomi dan sebagainya. Sesungguhnya, adakah di dunia ini hal yang benar-benar bisa dikatakan merdeka ? bebas ?. Pada kenyataannya, sering kali yang kita inginkan ialah sekedar melarikan diri dari permasalahan, tanggung jawab, kewajiban, tuntutan, instruksi atau apapun itu yang membebani diri kita. Kita sebutlah ia dengan merdeka, bebas. Pada kenyataannya, sering kali yang kita kejar ialah sekedar sejumput bonus, sekilat sensasi lebih, secuil tambahan penghasilan atau sedikit kelebihan apapun itu yang kita rasakan. Kita sebutlah ia dengan hasil kemerdekaan, kebebasan.
            Semua orang dalam Kooong sibuk mencari. Ada yang menemukan kemudian berhenti, ada yang sudah menemukan kemudian ingin mencari hal baru lain. Sampai si burung perkutut yang notabene sedang dicaripun, dia ikut mencari-cari. Luar biasa bukan ?. Sampai perkutut bisu turut mencari makna terdalam dari kehidupan yang ia jalani. Sebentar, sepertinya saya harus meralat kalimat saya barusan. Perkutut ini sesungguhnya tak benar-benar bisu, ia pernah mengeluarkan “kooong”-nya, dua kali. Anda bisa mendengar “kooong” si perkutut di halaman tiga belas.

Di mana anda bisa dapatkan buku ini ?
            Kooong dapat anda peroleh dengan belanja on line via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan pelayanan yang ramah dan terbuka. Dengan harga yang cukup murah, anda bisa mendapatkan Kooong, buku yang bahkan penulisnya sendiripun belum pernah melihatnya (Iwan Simatupang meninggal 5 tahun sebelum buku ini diterbitkan).

1 comment: