Judul
: Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Selamat Jalan Anak Kufur, Si Kabayan (4
buku)
Jenis
: Naskah Drama
Penulis
: Utuy Tatang Sontani
Penerbit
: Pustaka Jaya (cetakan pertama, 2014)
Jumlah
halaman : 221 halaman (total 4 buku)
Terdapat 4 (empat) buku dan 5 (lima) drama. Di buku Selamat
Jalan Anak Kufur termuat 2 (dua) buah drama sekaligus; Selamat Jalan Anak Kufur
itu sendiri dan Di Muka Kaca. Secara urutan waktu, dari keempat buku, Bunga
Rumah Makan ialah yang pertama kali Utuy susun. Ditandai dengan bentuk
penulisannya yang masih konvensional dan umum, yaitu sederetan nama tokoh
berikut kalimat dialog di sampingnya, ditambah keterangan di dalam kurung yang
berisi petunjuk ekspresi. Singkat kata, Bunga Rumah Makan ditulis dalam bentuk
selazimnya sebuah naskah drama.
Kemudian, Selamat Jalan Anak Kufur dan Di Muka Kaca
yang digabung dalam satu buku oleh Pustaka Jaya merupakan karya Utuy yang
aslinya tidak terbit dalam bentuk buku, melainkan dimuat dalam media massa
cetak. Adapun Si Kabayan adalah drama pertama Utuy yang diterbitkan oleh Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), sekaligus menandai resminya Utuy bergabung ke dalam
organisasi sayap PKI (Partai Komunis Indonesia) tersebut.
Kesemua buku, keempat-empatnya, dibuka oleh sambutan
dari Ajip Rosidi. Beliau mengatakan bahwa kelima drama yang Utuy ciptakan ini
merupakan gambaran dari kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yakni ketika Indonesia
masih di awal-awal masa kemerdekaan. Sebagai catatan tambahan, kelima drama tersebut
Utuy tulis antara tahun 1947 – 1959. Krisis kepercayaan sebagai akibat dari
revolusi kemerdekaan yang gagal, begitu Ajip berpendapat tentang intisari drama-drama
Utuy dan mengulang-ulangnya di setiap bagian pembukaan buku. Pemerintah gagal
menghadirkan kesejahteraan ke tengah-tengah rakyat, sehingga rakyat mulai
bertanya-tanya; “Apanya yang merdeka ? toh
kehidupan begini-begini saja bahkan lebih buruk !.” Kondisi diperparah oleh
perilaku pejabat-pejabat publik yang mulai lupa amanah rakyat, mulai dari
melakukan tindak korupsi sampai terlibat skandal-skandal asusila. Membuat
rakyat semakin ragu; “Pemimpin-pemimpin model seperti itu kah yang akan membawa
kita kepada kejayaan pasca perjuangan kemerdekaan yang sampai mempertaruhkan nyawa
?.”
Bagi mereka yang sambil menyukai satra, juga
menyelami seluk-beluk sejarah nasional, ketika membaca drama Utuy mungkin akan
dapat dengan mudah menemukan inti-inti pesan seperti yang Ajip ulas; krisis
kepercayaan sebagai akibat dari revolusi kemerdekaan yang gagal. Di lain pihak,
bagi mereka yang suka sastra saja atau bahkan sekadar hobi baca, bisa jadi cukup sulit
menemukan makna-makna tersebut. Itulah yang saya (resensator) rasakan. Apalagi resensator
baru lahir empat puluh tahun berselang setelah Indonesia merdeka. Kami tidak
bisa merasakan greget semisal yang
dirasakan Ajip. Hal yang nampaknya antara resensator dan Ajip menemukan
kesepakatan ialah soal krisis kepercayaan atau kita sebut kepercayaan saja
tanpa embel-embel krisis. Dalam hal ini kepercayaan maksudnya mengarah kepada “keyakinan
diri.”
Kita sering kali salah menerjemahkan sesuatu. Memegang
sebuah keyakinan hanya berdasarkan penarikan-penarikan kesimpulan yang tidak
utuh dan menyeluruh karena terburu-buru. Kita merasa yakin padahal kita
sebenarnya cuma menduga-duga, menyangka, mengira. Akhirnya kita tertipu oleh
keyakinan kita sendiri. Hal ini yang digambarkan dalam Bunga Rumah Makan
melalui Ani, seorang pelayan rumah makan yang ke-ge er-an atas sikap salah satu pelanggannya, Kapten Suherman yang ia
sangka berniat mengawininya, dan Usman yang menyepelekan persoalan, mengira Ani
akan mau-mau saja ia jodohkan dengan Karnaen si anak majikan. Tokoh Sudarma,
ayah Karnaen, pemilik Rumah Makan Sambara tempat Ani jadi pesuruhnya, tampil
seperti tokoh antagonis. Ke-antagonis-an tersebut muncul melalui sikap Sudarma
yang tidak mengijinkan Ani untuk kawin, karena khawatir setelah itu Ani akan
berhenti bekerja padanya. Keberadaan Sudarma bertolak belakang dengan cerita
utama yang bertemakan pergelutan cinta di Rumah Makan Sambara; antara Karnaen
pada Ani, Ani pada Suherman dan ada lagi Iskandar kepada Ani juga. Pergelutan
yang berujung sial; Karnaen gagal, Suherman ketahuan belangnya tidak punya
niatan mengawini Ani melainkan sekadar senang menggoda-godanya saja dan Sudarma
yang akhirnya menjumpai ketakutannya yakni ditinggal pergi Ani, pelayan
andalannya. Padahal, Sudarma sejatinya bukan tokoh antagonis. Kehadirannya justru
lebih kepada sebagai tokoh penengah. Di saat antar tokoh terjadi keributan soal
tarik menarik jodoh untuk Ani yang membawa sial tersebut, Sudarma mencoba
membawa pesan kepada para tokoh lainnya; “Coba kalian itu biasa-biasa saja,
tidak berlebihan, pasti tidak akan terjadi kerusuhan serta kekecewaan seperti
ini !.” Ani ya bersikaplah sebagaimana pelayan meski pada Suherman sekalipun
yang pandai merayu, Usman sang mak comblang jangan overestimate sehingga meng-iya-kan permohonan tolong Karnaen untuk
dijodoh-jodohkan dengan Ani dan demikia pula Karnaen, tidak usah berharap lebih
dari hubungannya dengan Ani selain hubungan antara atasan dan bawahan. Sudarma
ialah tokoh penengah yang mencoba mengingatkan pembaca atau penonton drama
untuk tidak lupa bersikap proporsional dalam menghadapi setiap perkara.
Sedangkan Awal dan Mira menceritakan perang pengaruh,
perang saling meyakinkan. Sebagaimana judul, perang tersebut terjadi antara
tokoh Awal dan Mira. Awal mati-matian meyakinkan Mira bahwa dia cinta mati
padanya dan mampu memberikan kehidupan yang lebih menjanjikan dari sekedar
menjadi tukang kopi entah itu apa nantinya. Mira susah payah menegaskan kepada
Awal bahwa dia percaya dan menerima akan besarnya cinta Awal, namun dia
keberatan jika harus membuktikan hal itu dengan mau diajak Awal meninggalkan
warung kopinya entah ke mana. Awal dan Mira menunjukkan kepada kita betapa
sulit dan peliknya terjebak dalam situasi konflik persepi. Adu argumentasi,
mentok sana-mentok sini, emosi, buntu, tawar-menawar, sampai akhirnya ditemukan
penyelesaian, meskipun hal itu sering kali lebih dikarenakan salah satu pihak
lelah dan mengalah. Awal dan Mira menyadarkan kita bahwa tak jarang konsensus-konsensus,
permufakatan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sebetulnya bukan
karena sepakat-sepakat amat, malah sebenarnya tidak pernah ada kata sepakat di
dalamnya, akan tetapi lebih karena keterpaksaan yang direla-relakan. Itu
artinya, seorang yang patuh pada suatu keyakinan orang lain, boleh jadi
sebetulnya dalam hati ia masih menyimpan keyakinan yang bertentangan.
Apa yang tertulis pada penutup paragraf di
atas menjadi makna tersirat dalam Selamat Jalan Anak Kufur. Betapa seseorang
masih saja bisa berseberangan pendirian walaupun berada dalam lingkungan atau
naungan yang sama. Tidak ada jaminan isi kepala dan dada akan menjadi seragam
bahkan kala telah jelas nan tegas visi serta misi bersama. Masing-masing tetap
memiliki penerjemahan sendiri-sendiri. Cabol (pelacur) ya cabol, begitu
persepsi si Ibu dan Tukang Copet. Mau cakep-jelek,
kurus-gemuk, kaya-miskin, ramah-kasar, selama ada uang untuk bayar jasa, maka
sudah kewajiban seorang cabol untuk melayani. Adapun Titi, cabol asuhan si Ibu,
didukung Tukang Becak, berprinsip lain. Cabol boleh cabol tapi bukan berarti
harus dengan siapa saja asal kuat bayar. Cabol juga harus dan berhak untuk
pilih-pilih dengan siapa dia akan berbagi badan, karena cabol sekalipun tetap
seorang manusia yang punya selera.
Sementara itu, Si Kabayan mencerminkan bagaimana
saat sebuah keyakinan sudah terbentuk dalam diri seseorang maka sedaya upaya
keyakinan, prinsip atau nilai itu akan dipegang dengan sangat kokoh. Ibarat kalimat
ungkapan yang menyatakan; “sekali layar terkembang, pantang kembali pulang.” Membaca
Si Kabayan mengingatkan resensator akan fenomena dukun cilik Ponari. Seorang
anak yang melejit namanya dan menjadi “dewa” hanya karena sebuah batu kali
entah dari mana. Dengan cerdas Utuy menggambarkan kekerasan seseorang dalam
memegang keyakinan ini dalam bingkai cerita perdukunan. Sekali sebuah keyakinan
dipegang dan dijunjung, berbagai alasan diada-adakan agar mendukung keyakinan
tersebut dan tentu saja agar tidak bertabrakan dengan keyakinan lain yang sama-sama dipegang.
Dialog antara seorang pegawai negeri korup, istri pejabat yang dimadu dan
tentara pangkat rendahan, menggambarkan kondisi tersebut dengan apik. Jelas dalam
Islam, praktik perdukunan ialah amalan yang bertentangan, haram dan
mengakibatkan dosa besar tiada dua. Tapi ketiga orang itu, sambil duduk-duduk
menunggu Mamak Kabayan datang, berdiskusi mencari alasan-alasan pembenaran atas
tindakan syirik mereka. Bahkan ketika terang dan nyata bahwa apa yang diyakini
selama ini ialah salah bin keliru, manusia kadang tetap enggan melepas
pendiriannya. Hal ini diwakili oleh tokoh Ijem yang tetap meyakini Kabayan,
suaminya, sebagai seorang wali, padahal Kabayan sendiri telah mengaku bahwa
dirinya sudah menipu, berdusta, berpura-pura malah sempat mengerjai Abah,
bapaknya. Di saat orang-orang melahap bulat-bulat sebuah keyakinan, sampai
pemuka agama seperti tokoh Mang Lebe sekalipun, hanya sedikit orang yang
akhirnya bisa bangun, tersadar dan insyaf. Tokoh Abah menjadi titik pencerahan
bahwa sekokoh-kokohnya sebuah keyakinan, ia masih bisa diruntuhkan dari akal
dan hati seseorang.
Mungkin dari sekian cara yang bisa merontokkan
keyakinan seseorang ialah dengan membiarkan orang tersebut menemukan momen “kena
batunya.” Melalui kejadian yang biasanya tragis, dramatis, seseorang merasakan
secara langsung dengan inderanya sendiri bahwa apa yang ia yakini selama ini
ternyata berseberangan dengan kenyataan. Makna ini terselip dalam Di Muka Kaca,
drama kedua yang dimuat pada buku Selamat Jalan Anak Kufur. Dar, seorang
pelukis akhirnya menyadari kesalahannya setelah Yeti, anak kandungnya sendiri,
yang ia tuduh berzina secara membabi buta, nekad terjun ke dalam sumur saking
sakit hatinya dan demi pembuktian bahwa ia lebih baik mati dari pada dituduh pezina.
Soal drama yang disebut terakhir ini memiliki
keunikan tersendiri. Selain masih mengungkapkan krisis kepercayaan di awal masa
kemerdekaan (kata Ajip) dan/atau dinamika sebuah keyakinan (kata saya), drama ini juga
memuat unsur psikologi khususnya di bidang klinis. Diceritakan hubungan Dar
dengan Yeti ialah hubungan antar seorang ayah yang jauh dengan anaknya. Ternyata
tidak sekadar itu saja. Dar yang notabene ayah kandung Yeti rupanya punya juga
ketertarikan seksual padanya. Ada bumbu-bumbu gejala incest pada hubungan Dar terhadap Yeti, semacam cerita purba
Legenda Tangkuban Parahu (Sangkuriang). Tak terlalu salah bila penyair Subagio
Sastrowardojo, seperti yang Ajip tulis di bagian pembuka, menyebut Utuy telah
terpengaruh teori psikoanalisa buatan Freud dalam menulis drama ini. Sebuah
pendapat yang kemudian dikecilkan kemungkinannya oleh Ajip karena ia merasa lebih kenal
dengan Utuy dibanding Subagio.
Kadung
sudah disebut berkali-kali namanya, kiranya mengenai Ajip Rosidi ini juga
sebaris-dua baris perlu mendapat tempat untuk dibahas. Ajip tidak hanya hadir
sebagai pemimpin Pustaka Jaya, penerbit yang menghidupkan kembali karya Utuy di
masa modern ini. Ajip hadir apa adanya tanpa bersandiwara dalam peran pemimpin
redaksi atau sesama pelaku seni sastra, ia hadir sebagai kawan sekaligus lawan
dari Utuy. Komentarnya begitu blak-blakan dan mengalir begitu saja, menilai
Utuy luar-dalam, baik tentang pribadinya maupun kualitas karya-karyanya. Enteng
Ajip membuka kedok Utuy yang seorang penulis tapi pada saat bersamaan tidak doyan
membaca. Mengasihani Utuy yang drama-dramanya tidak pernah tersentuh oleh kelompok-kelompok
teater “elit,” seterkenal-kenalnya drama Utuy hanya sampai kelas pementasan
kenduri sekolahan oleh siswa-siswi. Menilai drama Utuy lebih enak untuk dibaca
dari pada dimainkan. Kecewa pada Utuy yang mau menerima pinangan Lekra karena kepepet butuh duit dan menyayangkan
karya-karyanya setelah gabung ke Lekra menjadi tidak bermutu. Sambutan-sambutan
Ajip yang akan anda temui di halaman-halaman awal buku, menjadi bagian lain yang
melengkapi bahkan memberikan gereget
tersendiri dalam membaca, memahami dan mengagumi karya Utuy Tatang Sontani.
Di mana bisa anda dapatkan buku ini ?
Keempat buku Utuy : Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Selamat Jalan Anak Kufur dan Si Kabayan, dapat anda peroleh dengan belanja on
line via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah
dengan pelayanan yang ramah dan terbuka. Buku yang sangat layak untuk dimiliki, selain karena nilai historisnya juga karena keunikannya. Melalui buku ini anda dapat mempelajari bagaimana kekreatifan seorang Utuy yang mereformasi cara penulisan sebuah naskah drama.
No comments:
Post a Comment