Tuesday, January 13, 2015

Dinamika Sebuah Keyakinan




Judul                 : Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Selamat Jalan Anak Kufur, Si Kabayan (4 buku)
Jenis                 : Naskah Drama
Penulis              : Utuy Tatang Sontani
Penerbit            : Pustaka Jaya (cetakan pertama, 2014)
Jumlah halaman : 221 halaman (total 4 buku)

Terdapat 4 (empat) buku dan 5 (lima) drama. Di buku Selamat Jalan Anak Kufur termuat 2 (dua) buah drama sekaligus; Selamat Jalan Anak Kufur itu sendiri dan Di Muka Kaca. Secara urutan waktu, dari keempat buku, Bunga Rumah Makan ialah yang pertama kali Utuy susun. Ditandai dengan bentuk penulisannya yang masih konvensional dan umum, yaitu sederetan nama tokoh berikut kalimat dialog di sampingnya, ditambah keterangan di dalam kurung yang berisi petunjuk ekspresi. Singkat kata, Bunga Rumah Makan ditulis dalam bentuk selazimnya sebuah naskah drama.
           Selanjutnya, Awal dan Mira adalah naskah drama pertama yang ditulis dalam bentuk narasi. Membaca Awal dan Mira, begitu juga 2 (dua) buku berikutnya, tak ubahnya membaca sebuah cerita pendek. Naskah drama ditulis dalam paragraf-paragraf. Nyaman untuk dibaca karena kita tidak dipusingkan dengan banyaknya ini-itu keterangan yang biasanya menghiasi sebuah naskah drama.
Kemudian, Selamat Jalan Anak Kufur dan Di Muka Kaca yang digabung dalam satu buku oleh Pustaka Jaya merupakan karya Utuy yang aslinya tidak terbit dalam bentuk buku, melainkan dimuat dalam media massa cetak. Adapun Si Kabayan adalah drama pertama Utuy yang diterbitkan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sekaligus menandai resminya Utuy bergabung ke dalam organisasi sayap PKI (Partai Komunis Indonesia) tersebut.
Kesemua buku, keempat-empatnya, dibuka oleh sambutan dari Ajip Rosidi. Beliau mengatakan bahwa kelima drama yang Utuy ciptakan ini merupakan gambaran dari kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yakni ketika Indonesia masih di awal-awal masa kemerdekaan. Sebagai catatan tambahan, kelima drama tersebut Utuy tulis antara tahun 1947 – 1959. Krisis kepercayaan sebagai akibat dari revolusi kemerdekaan yang gagal, begitu Ajip berpendapat tentang intisari drama-drama Utuy dan mengulang-ulangnya di setiap bagian pembukaan buku. Pemerintah gagal menghadirkan kesejahteraan ke tengah-tengah rakyat, sehingga rakyat mulai bertanya-tanya; “Apanya yang merdeka ? toh kehidupan begini-begini saja bahkan lebih buruk !.” Kondisi diperparah oleh perilaku pejabat-pejabat publik yang mulai lupa amanah rakyat, mulai dari melakukan tindak korupsi sampai terlibat skandal-skandal asusila. Membuat rakyat semakin ragu; “Pemimpin-pemimpin model seperti itu kah yang akan membawa kita kepada kejayaan pasca perjuangan kemerdekaan yang sampai mempertaruhkan nyawa ?.”
Bagi mereka yang sambil menyukai satra, juga menyelami seluk-beluk sejarah nasional, ketika membaca drama Utuy mungkin akan dapat dengan mudah menemukan inti-inti pesan seperti yang Ajip ulas; krisis kepercayaan sebagai akibat dari revolusi kemerdekaan yang gagal. Di lain pihak, bagi mereka yang suka sastra saja atau bahkan sekadar hobi baca, bisa jadi cukup sulit menemukan makna-makna tersebut. Itulah yang saya (resensator) rasakan. Apalagi resensator baru lahir empat puluh tahun berselang setelah Indonesia merdeka. Kami tidak bisa merasakan greget semisal yang dirasakan Ajip. Hal yang nampaknya antara resensator dan Ajip menemukan kesepakatan ialah soal krisis kepercayaan atau kita sebut kepercayaan saja tanpa embel-embel krisis. Dalam hal ini kepercayaan maksudnya mengarah kepada “keyakinan diri.”
Kita sering kali salah menerjemahkan sesuatu. Memegang sebuah keyakinan hanya berdasarkan penarikan-penarikan kesimpulan yang tidak utuh dan menyeluruh karena terburu-buru. Kita merasa yakin padahal kita sebenarnya cuma menduga-duga, menyangka, mengira. Akhirnya kita tertipu oleh keyakinan kita sendiri. Hal ini yang digambarkan dalam Bunga Rumah Makan melalui Ani, seorang pelayan rumah makan yang ke-ge er-an atas sikap salah satu pelanggannya, Kapten Suherman yang ia sangka berniat mengawininya, dan Usman yang menyepelekan persoalan, mengira Ani akan mau-mau saja ia jodohkan dengan Karnaen si anak majikan. Tokoh Sudarma, ayah Karnaen, pemilik Rumah Makan Sambara tempat Ani jadi pesuruhnya, tampil seperti tokoh antagonis. Ke-antagonis-an tersebut muncul melalui sikap Sudarma yang tidak mengijinkan Ani untuk kawin, karena khawatir setelah itu Ani akan berhenti bekerja padanya. Keberadaan Sudarma bertolak belakang dengan cerita utama yang bertemakan pergelutan cinta di Rumah Makan Sambara; antara Karnaen pada Ani, Ani pada Suherman dan ada lagi Iskandar kepada Ani juga. Pergelutan yang berujung sial; Karnaen gagal, Suherman ketahuan belangnya tidak punya niatan mengawini Ani melainkan sekadar senang menggoda-godanya saja dan Sudarma yang akhirnya menjumpai ketakutannya yakni ditinggal pergi Ani, pelayan andalannya. Padahal, Sudarma sejatinya bukan tokoh antagonis. Kehadirannya justru lebih kepada sebagai tokoh penengah. Di saat antar tokoh terjadi keributan soal tarik menarik jodoh untuk Ani yang membawa sial tersebut, Sudarma mencoba membawa pesan kepada para tokoh lainnya; “Coba kalian itu biasa-biasa saja, tidak berlebihan, pasti tidak akan terjadi kerusuhan serta kekecewaan seperti ini !.” Ani ya bersikaplah sebagaimana pelayan meski pada Suherman sekalipun yang pandai merayu, Usman sang mak comblang jangan overestimate sehingga meng-iya-kan permohonan tolong Karnaen untuk dijodoh-jodohkan dengan Ani dan demikia pula Karnaen, tidak usah berharap lebih dari hubungannya dengan Ani selain hubungan antara atasan dan bawahan. Sudarma ialah tokoh penengah yang mencoba mengingatkan pembaca atau penonton drama untuk tidak lupa bersikap proporsional dalam menghadapi setiap perkara.

Sedangkan Awal dan Mira menceritakan perang pengaruh, perang saling meyakinkan. Sebagaimana judul, perang tersebut terjadi antara tokoh Awal dan Mira. Awal mati-matian meyakinkan Mira bahwa dia cinta mati padanya dan mampu memberikan kehidupan yang lebih menjanjikan dari sekedar menjadi tukang kopi entah itu apa nantinya. Mira susah payah menegaskan kepada Awal bahwa dia percaya dan menerima akan besarnya cinta Awal, namun dia keberatan jika harus membuktikan hal itu dengan mau diajak Awal meninggalkan warung kopinya entah ke mana. Awal dan Mira menunjukkan kepada kita betapa sulit dan peliknya terjebak dalam situasi konflik persepi. Adu argumentasi, mentok sana-mentok sini, emosi, buntu, tawar-menawar, sampai akhirnya ditemukan penyelesaian, meskipun hal itu sering kali lebih dikarenakan salah satu pihak lelah dan mengalah. Awal dan Mira menyadarkan kita bahwa tak jarang konsensus-konsensus, permufakatan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sebetulnya bukan karena sepakat-sepakat amat, malah sebenarnya tidak pernah ada kata sepakat di dalamnya, akan tetapi lebih karena keterpaksaan yang direla-relakan. Itu artinya, seorang yang patuh pada suatu keyakinan orang lain, boleh jadi sebetulnya dalam hati ia masih menyimpan keyakinan yang bertentangan.

Apa yang tertulis pada penutup paragraf di atas menjadi makna tersirat dalam Selamat Jalan Anak Kufur. Betapa seseorang masih saja bisa berseberangan pendirian walaupun berada dalam lingkungan atau naungan yang sama. Tidak ada jaminan isi kepala dan dada akan menjadi seragam bahkan kala telah jelas nan tegas visi serta misi bersama. Masing-masing tetap memiliki penerjemahan sendiri-sendiri. Cabol (pelacur) ya cabol, begitu persepsi si Ibu dan Tukang Copet. Mau cakep-jelek, kurus-gemuk, kaya-miskin, ramah-kasar, selama ada uang untuk bayar jasa, maka sudah kewajiban seorang cabol untuk melayani. Adapun Titi, cabol asuhan si Ibu, didukung Tukang Becak, berprinsip lain. Cabol boleh cabol tapi bukan berarti harus dengan siapa saja asal kuat bayar. Cabol juga harus dan berhak untuk pilih-pilih dengan siapa dia akan berbagi badan, karena cabol sekalipun tetap seorang manusia yang punya selera.

Sementara itu, Si Kabayan mencerminkan bagaimana saat sebuah keyakinan sudah terbentuk dalam diri seseorang maka sedaya upaya keyakinan, prinsip atau nilai itu akan dipegang dengan sangat kokoh. Ibarat kalimat ungkapan yang menyatakan; “sekali layar terkembang, pantang kembali pulang.” Membaca Si Kabayan mengingatkan resensator akan fenomena dukun cilik Ponari. Seorang anak yang melejit namanya dan menjadi “dewa” hanya karena sebuah batu kali entah dari mana. Dengan cerdas Utuy menggambarkan kekerasan seseorang dalam memegang keyakinan ini dalam bingkai cerita perdukunan. Sekali sebuah keyakinan dipegang dan dijunjung, berbagai alasan diada-adakan agar mendukung keyakinan tersebut dan tentu saja agar tidak bertabrakan dengan keyakinan lain yang sama-sama dipegang. Dialog antara seorang pegawai negeri korup, istri pejabat yang dimadu dan tentara pangkat rendahan, menggambarkan kondisi tersebut dengan apik. Jelas dalam Islam, praktik perdukunan ialah amalan yang bertentangan, haram dan mengakibatkan dosa besar tiada dua. Tapi ketiga orang itu, sambil duduk-duduk menunggu Mamak Kabayan datang, berdiskusi mencari alasan-alasan pembenaran atas tindakan syirik mereka. Bahkan ketika terang dan nyata bahwa apa yang diyakini selama ini ialah salah bin keliru, manusia kadang tetap enggan melepas pendiriannya. Hal ini diwakili oleh tokoh Ijem yang tetap meyakini Kabayan, suaminya, sebagai seorang wali, padahal Kabayan sendiri telah mengaku bahwa dirinya sudah menipu, berdusta, berpura-pura malah sempat mengerjai Abah, bapaknya. Di saat orang-orang melahap bulat-bulat sebuah keyakinan, sampai pemuka agama seperti tokoh Mang Lebe sekalipun, hanya sedikit orang yang akhirnya bisa bangun, tersadar dan insyaf. Tokoh Abah menjadi titik pencerahan bahwa sekokoh-kokohnya sebuah keyakinan, ia masih bisa diruntuhkan dari akal dan hati seseorang.
Mungkin dari sekian cara yang bisa merontokkan keyakinan seseorang ialah dengan membiarkan orang tersebut menemukan momen “kena batunya.” Melalui kejadian yang biasanya tragis, dramatis, seseorang merasakan secara langsung dengan inderanya sendiri bahwa apa yang ia yakini selama ini ternyata berseberangan dengan kenyataan. Makna ini terselip dalam Di Muka Kaca, drama kedua yang dimuat pada buku Selamat Jalan Anak Kufur. Dar, seorang pelukis akhirnya menyadari kesalahannya setelah Yeti, anak kandungnya sendiri, yang ia tuduh berzina secara membabi buta, nekad terjun ke dalam sumur saking sakit hatinya dan demi pembuktian bahwa ia lebih baik mati dari pada dituduh pezina.
Soal drama yang disebut terakhir ini memiliki keunikan tersendiri. Selain masih mengungkapkan krisis kepercayaan di awal masa kemerdekaan (kata Ajip) dan/atau dinamika sebuah keyakinan (kata saya), drama ini juga memuat unsur psikologi khususnya di bidang klinis. Diceritakan hubungan Dar dengan Yeti ialah hubungan antar seorang ayah yang jauh dengan anaknya. Ternyata tidak sekadar itu saja. Dar yang notabene ayah kandung Yeti rupanya punya juga ketertarikan seksual padanya. Ada bumbu-bumbu gejala incest pada hubungan Dar terhadap Yeti, semacam cerita purba Legenda Tangkuban Parahu (Sangkuriang). Tak terlalu salah bila penyair Subagio Sastrowardojo, seperti yang Ajip tulis di bagian pembuka, menyebut Utuy telah terpengaruh teori psikoanalisa buatan Freud dalam menulis drama ini. Sebuah pendapat yang kemudian dikecilkan kemungkinannya oleh Ajip karena ia merasa lebih kenal dengan Utuy dibanding Subagio. 
Kadung sudah disebut berkali-kali namanya, kiranya mengenai Ajip Rosidi ini juga sebaris-dua baris perlu mendapat tempat untuk dibahas. Ajip tidak hanya hadir sebagai pemimpin Pustaka Jaya, penerbit yang menghidupkan kembali karya Utuy di masa modern ini. Ajip hadir apa adanya tanpa bersandiwara dalam peran pemimpin redaksi atau sesama pelaku seni sastra, ia hadir sebagai kawan sekaligus lawan dari Utuy. Komentarnya begitu blak-blakan dan mengalir begitu saja, menilai Utuy luar-dalam, baik tentang pribadinya maupun kualitas karya-karyanya. Enteng Ajip membuka kedok Utuy yang seorang penulis tapi pada saat bersamaan tidak doyan membaca. Mengasihani Utuy yang drama-dramanya tidak pernah tersentuh oleh kelompok-kelompok teater “elit,” seterkenal-kenalnya drama Utuy hanya sampai kelas pementasan kenduri sekolahan oleh siswa-siswi. Menilai drama Utuy lebih enak untuk dibaca dari pada dimainkan. Kecewa pada Utuy yang mau menerima pinangan Lekra karena kepepet butuh duit dan menyayangkan karya-karyanya setelah gabung ke Lekra menjadi tidak bermutu. Sambutan-sambutan Ajip yang akan anda temui di halaman-halaman awal buku, menjadi bagian lain yang melengkapi bahkan memberikan gereget tersendiri dalam membaca, memahami dan mengagumi karya Utuy Tatang Sontani.


Di mana bisa anda dapatkan buku ini ?
Keempat buku Utuy : Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Selamat Jalan Anak Kufur dan Si Kabayan, dapat anda peroleh dengan belanja on line via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan pelayanan yang ramah dan terbuka. Buku yang sangat layak untuk dimiliki, selain karena nilai historisnya juga karena keunikannya. Melalui buku ini anda dapat mempelajari bagaimana kekreatifan seorang Utuy yang mereformasi cara penulisan sebuah naskah drama.



No comments:

Post a Comment