Friday, February 19, 2010

OVERLOAD


Setiap hari, dalam setiap program berita di stasiun-stasiun televisi, ada satu tema pemberitaan yang tak pernah hilang, yakni mengenai aksi brutal massa. Ada aksi bentrok pedagang pasar dan kaki lima dengan aparat Satpol PP, ricuh soal rebutan hak milik tanah, penyitaan rumah atau lahan yang diwarnai pemberontakan dari pihak yang merasa jadi korban ketidakadilan dari putusan pengadilan, dan lain-lainnya lagi. Silakan anda buktikan sendiri. Berita-berita bernada rusuh tersebut pasti akan selalu muncul dari hari ke hari.

Maraknya dan juga tak pernah redupnya blow up berita kekerasan semacam itu, selalu menjadi perhatian para pengamat televisi. Semua pakar setuju agar program berita di stasiun-stasiun televisi sudi mengurangi berita-berita ber-content kekerasan. Khawatir berita-berita tersebut malah dijadikan contoh oleh publik pemirsa. Apalagi mengingat sedikit sekali nilai kepentingannya dari sebuah berita kekerasan. Untuk apa kita tahu bahwa ada warga kabupaten A yang menyerang pasukan polisi anti huru-hara dengan siraman air cabai ? Perlukah kita tahu kalau ada salah seorang ibu-ibu pedagang yang kesurupan karena kiosnya di pasar digusur Satpol PP ? Pentingkah disampaikan informasi mengenai ibu-ibu polwan yang digigit seorang ibu ketika rumahnya hendak disita ? Berita aksi kekerasan hanya “asyik” atau mungkin “lucu” untuk ditonton. Tetapi sebenarnya, isinya sendiri kering makna.

Berita-berita kekerasan hampir sama tak pentingnya dengan kabar-kabar selebriti yang diumbar oleh program-program infotaintment. Setiap hari kita disuguhi oleh berita-berita yang sebenarnya tak penting. Kalau begini terus, lama-lama masyakarat penonton akan mengalami apa yang disebut dengan informations overload.

Kelebihan beban informasi merujuk kepada sebuah kondisi individu yang menerima terlalu banyak informasi. Istilah ini umum dipakai dalam pembahasan mengenai komunikasi di perusahaan atau organisasi. Kondisi overload ini dapat membuat seseorang menjadi stres, yang kemudian hal ini berdampak pada kinerja yang menurun atau munculnya perilaku-perilaku indisipliner (Wexley & Yukl, 1976).

Penerimaan informasi yang berlebihan membuat pikiran individu terpaku pada hal-hal tertentu, yakni pada informasi yang kelebihan tersebut. Banyaknya berita-berita gosip selebritas diterima seseorang, membuat isi pikirannya tidak akan jauh-jauh dari soal artis dan kehidupannya, terutama pada sosok artis idola. Wajar jika kemudian di masyarakat menggejala perilaku “ingin jadi artis”. Terlihat dari begitu tingginya antusias masyarakat dalam setiap ajang pengkarbitan artis semacam Indonesian Idol, Mammamia, Dangdut Mania, dan lain-lain.

Contoh overload informasi di atas berlaku juga pada pemberitaan-pemberitaan kekerasan. Sungguh sangat dikhawatirkan bahwa pada satu titik nanti, perilaku mengedepankan otot (baca : konfrontasi fisik, kekerasan) dari pada otak (baca : upaya damai), membudaya di masyarakat kita. Orang-orang akan mudah naik pitam dan berani melawan aparat ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang mendesak kepentingannya. Maklum, orang lain juga – yang terlihat dari pemberitaan – berbuat seperti itu.

Overload informasi tak selamanya berdampak buruk. Di dunia pendidikan, khususon pada perguruan tinggi, justru fenomena overload ini mesti muncul. Bahkan sebuah Perguruan Tinggi Terbaik ialah perguruan tinggi yang dapat membuat anak-anak didiknya kelebihan informasi. Overload di sini maksudnya mahasiswa memiliki seperangkat pengetahuan lintas bidang yang dibutuhkan untuk menunjang pemahamannya dalam ilmu tertentu. Seorang mahasiswa harus overload, artinya ia tak hanya bisa menganalisis suatu masalah dari sudut pandang ilmunya saja. Melainkan juga dipadu dengan pengetahuan-pengetahuan dari bidang lain, sehingga pandangannya menjadi komprehensif. Contohnya, seorang mahasiswa Hukum tentu tidak hanya harus paham tentang bagaimana caranya menjadi Hakim atau Jaksa. Semestinya ia juga mempelajari seni-seni psikologi dalam membaca gerak-gerik atau pola-pola perilaku. Tentu harapannya, keterampilan ini akan membantunya kelak ketika ia benar-benar jadi profesional di bidang hukum.


Mesti ada sebuah sistem di perguruan tinggi yang memungkinkan adanya transfer pengetahuan dan keterampilan antar berbagai program studi. Mahasiwa harus memiliki pandangan yang luas, tidak jumud (kolot dan keras kepala).

1 comment:

  1. ........Berita aksi kekerasan hanya “asyik” atau mungkin “lucu” untuk ditonton. Tetapi sebenarnya, isinya sendiri kering makna.

    saya suka nih kata kata ini ...,
    note saya : TV saya , hampir nggak pernah saya tonton kecuali yang menhibur saya spt American got Talent ya seperti itulah ...

    ReplyDelete