Sunday, April 18, 2010

BERORIENTASI PUBLIK


  Ustadz Cinta saat di Acara Take Me Out, mau dakwah apa dakwah tuh ?

Isi materi dakwah Aa Gym ringan. Tidak banyak kutipan ayat atau hadits yang berseliweran. Topiknya mengenai hal-hal “sepele” dalam kehidupan sehari-hari. Secara content minim, namun dari segi “penggemar” membludak. Sebuah anomali fenomena yang cukup mencengangkan di tengah trend dakwah dengan isi materi berbobot berat.

Sejak Aa Gym booming, mulai bermuncullah ustdaz-ustadz newbie lainnya dengan aliran gaya berdakwah yang kurang lebih sama. Uniknya, fenomena yang terjadi selanjutnya ialah terjadi spesialisasi bidang dakwah. Ust. Yusuf Mansyur spesialis materi sedekah, Ust. Arifin Ilham khususon soal dzikir jamaah, Ust. Jefry khas dengan gaya gaulnya, Ust. Cinta sesuai namanya hanya membicarakan masalah cinta serta perjodohan, dan lain-lain.

Kenapa disebut kurang lebih sama ? Ya, mereka kurang lebih sama dalam hal sasaran yang dikejar dari aktifitas berdakwah. Materi yang diangkat cenderung materi-materi yang bersifat umum, berada pada tataran “kulit” dan mencoba mengakomodir semua perbedaan (khilafiyah) paham agama. Timbul kesan bahwa materi yang diberikan ialah “hanya materi yang ingin didengar oleh mustami’ (jamaah pendengar)”. Maksudnya ? Tidak pernah Aa Gym, Yusuf Mansyur, Arifin Ilham dan ustadz yang sejenisnya membicarakan tentang kontroversi haramnya bunga Bank. Kenapa ? Jelas, karena publik cenderung menghindari topik semacam itu. Daripada mendengar materi yang menyalahkan mereka karena telah menikmati haramnya riba bunga Bank, mendengar topik “Bersih Itu Indah”, “Senyum Itu Ibadah”, atau “Nikmatnya Berdoa”, lebih terasa aman, meski isinya sudah sangat lumrah. Secara ringkas, tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa dakwahnya Aa Gym and friends itu berorientasi publik. Dan inilah sejatinya kesamaan antara pendakwah-pendakwah tenar zaman sekarang.

Timbul pertanyaan; “Bukankah dakwah itu memang mesti berorientasi publik ?”. Oh tentu saja tidak ! Sebagai ilustrasi, saya ceritakan sebuah kisah parodi berikut; ada seorang ustadz yang diminta mengisi acara syukuran (selametan) rumah baru. Si ustdaz menyebutkan bahwa agar rumah diberkahi salah satunya ialah dengan tidak memelihara anjing, kendatipun memelihara jangan dibiarkan anjing tersebut masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja ustadz melihat ada anjing belang di dalam salah satu kamar si empunya rumah. Spontan saja si ustadz berkata; “Terkecuali untuk anjing belang !”.

Dakwah memang ditujukan kepada orang banyak, namun tidak berarti harus bertumpu kepada kaum pendengar. Dakwah yang sebenar-benarnya dakwah tetap mesti berpijak pada kebenaran. Tidak masalah apakah jamaah menyenanginya atau tidak. Jika isi materi dakwah yang disampaikan tergantung pada ketertarikan publik pendengar, maka dikhawatirkan kebenaran dari pesan-pesan agama yang disampaikanpun akan tergadaikan. Contoh main-mainnya ya seperti yang tergambar pada cerita parodi saya.

Jika ingin melihat seperti apa dakwah itu yang seharusnya, contoh yang paling benar tidak lain ialah dari Sang Tauladan Nabi Muhammad Saw. Bagaimanapun kaum kafir Quraisy membenci bahkan sampai melakukan intimidasi pada Nabi kala itu, Nabi Muhammad tetap konsisten dengan apa yang didakwahkannya. Yang benar dikatakan benar, salah dikatakan salah. Tidak goyah, tidak sok mengambil jalan tengah yang dianggap lebih aman serta selamat dan tidak membuat Muhammad enggan atau menolak untuk menyampaikan suatu pesan tertentu.

Itulah idealisme dakwah yang patut kita contoh. Ditarik ke atas, pada konsep yang lebih besar, dakwah merupakan bentuk kongkrit dari pendidikan. Secara global, pendidikan itu sendiri bermaksud untuk memberikan pencerahan kepada individu-individu sehingga individu mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik, bagi diri mereka sendiri (tataran personal) dan bagi kehidupan bermasyarakat (tataran sosial).

Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan formal dengan strata teratas harus menunjukkan idelisme pendidikan yang luhur tersebut. Sama halnya dengan fenomena ustadz masa kini, godaan terbesar bagi institusi perguruan tinggi, terutama yang swakelola (swasta) ialah melencengnya sasaran kepada public oriented. Kendatipun hidup-matinya sebuah perguruan tinggi swasta salah satunya ditentukan oleh jumlah mahasiswa, gerak institusi perguruan tinggi idealnya tetap ajeg pada idealisme pendidikan. Hal yang paling mengkhawatirkan ketika sebuah perguruan tinggi sudah public oriented ialah penurunan kualitas dari perguruan tinggi tersebut. Lebih-lebih mengkhawatirkan lagi ketika pendidikan perguruan tinggi sudah menjadi komoditi bisnis karena terlalu berorientasi publik tersebut. 

Dari penjelasan yang panjang lebar ini, kiranya telah terang bahwa Perguruan Tinggi Terbaik itu adalah perguruan tinggi yang tetap dapat menjaga idealisme pendidikan di tengah godaan untuk berorientasi publik. Meskipun tidak selalu, indikator yang paling mudah untuk melacak apakah perguruan tinggi bersangkutan sudah jadi public oriented atau belum, ialah dengan melihat perbandingan antara peningkatan jumlah mahasiswa dengan penurunan bobot kualitas mahasiswanya.

Pertanyaan terakhir untuk menutup tulisan ini; Apakah perguruan tinggi idealis tersebut masih ada atau baru sebatas ada pada tataran Perguruan Tinggi Idaman ? Mari kita sama-sama untuk merenunginya.

No comments:

Post a Comment