“Kalau betul anda intelektual, coba buktikan, ajukan konsep yang jelas, tak usah berdemo ganggu warga segala dong !”, kurang lebih demikian pernyataan seorang bapak, mewakili warga lain yang merasa terganggu dan kemudian melapor ke polisi agar membubarkan aksi demo malam hari yang dilancarkan mahasiswa-mahasiswi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta. Pernyataan tersebut ia sampaikan di depan para pendemo (mahasiwa UNAS) dalam acara Debat TV One yang ditayangkan beberapa waktu ke belakang. Kala itu pemberitaan media massa sedang santer-santernya menyoroti kasus bentrokan antara polisi dan mahasiwa UNAS yang berdemo tentang kenaikan harga BBM.
Si bapak yang tampak emosional itu menyisipkan kata “intelektual” dalam pernyataannya. Memang sudah tak aneh lagi kalau mahasiswa sering disebut-sebut sebagai insan atau generasi intelektual. Entah kapan istilah ini mulai merebak dan umum dipakai dalam berbagai percakapan atau tulisan.
Mahasiswa sebagai insan intelektual memiliki dua makna. Di satu sisi bernada sanjungan, pujian. Di sisi lain mengandung sebuah harapan. Dari segi sanjungan, perkataan insan intelektual merujuk kepada fakta bahwa mahasiswa ialah sekelompok orang yang mendalami ilmu tertentu pada sebuah lembaga pendidikan dengan strata tertinggi. Ada gengsi tersendiri pada mahasiswa yang membuatnya dipandang lebih oleh masyarakat. Berdasarkan pandangan tersebut, munculah sebuah harapan bahwa mahasiswa seharusnya bisa lebih dalam segalanya dibandingkan dengan orang-orang dengan tingkat pendidikan di bawahnya. Lebih beretika, lebih cerdas, lebih solutif, lebih kreatif, lebih beradab dan lain-lain.
Sudahkah mahasiswa memenuhi harapan tersebut ? Dalam konteks aksi demo, meskipun pahit, tapi saya berani menilai; “Belum”. Aksi unjuk rasa selama ini masih berbau euphoria kesuksesan demo akbar pada Mei 1998. Kesan intelektual redup – untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali – yang lebih menonjol ialah kekuatan massa. Tidak sedikitnya aksi unjuk rasa yang berbuntut bentrokan dengan aparat keamanan, semakin memperburuk citra mahasiswa. Apa yang paling dikhawtirkan ialah mulai bergesernya penilaian masyarakat pada mahasiswa, dari asalnya insan intelektual menjadi insan (cari) sensasional. Dengan pergeseran penilaian tersebut, maka hilanglah harapan masyarakat. Adapun dalam harapan tersebut terkandung segi-segi kepercayaan (trustworthiness).
Pekerjaan ialah cara seorang manusia mengada (exist) di dunianya dan dengan bekerjalah seorang manusia dapat mengenali hakekat dirinya yang sesungguhnya. Begitu kira-kira bunyi Filsafat Kerja dari Hegel. Disambungkan dengan pemikiran Feueurbach, manusia melalui pekerjaannya harus bisa mengembangkan tiga bagian (fakultas) dalam dirinya; reason (akal sehat), heart (perasaan) dan will (kehendak). Dengan reason, manusia memperoses informasi secara logis, rasional dan sistematis. Heart lebih merupakan proses evaluatif, manusia menilai/merasai baik-buruk atau indah-jeleknya sesuatu. Sementara will ialah aspek nafsu, memberikan kekuatan (energizing) untuk bertindak. Ketiga fakultas ini harus berkembang secara seiring dan seirama, maka barulah individu mencapai keoptimalan.
Mahasiswa adalah sebuah pekerjaan, karir. Itu faktanya, walaupun jenis pekerjaan ini tidak menghasilkan uang sebagaimana karir lainnya. Pertanyaannya; Sudahkah mahasiswa mengembangkan ketiga fakultas (akal, perasaan, kehendak) dalam pekerjaannya sebagai mahasiswa ? Untuk konteks unjuk rasa yang dibahas dalam tulisan ini, kedua kalinya saya nilai; “Belum”.
Kenapa ? Analisis dangkal saya melihat bahwa aspek will untuk menunjukkan aksi terlalu besar dan menonjol. Tidak diimbangi dengan penalaran dan penghayatan yang cukup matang. Alhasil, isi demo mahasiswa terasa hambar. “Turunkan harga BBM ! Turunkan Sri Mulyani dan Boediono ! Berantas mafia hukum !”, semua orang – tanpa harus jadi mahasiwa – bisa berteriak hal-hal semacam itu. Apa yang harus membedakan demo mahasiswa dan pihak lain, ialah idealnya mahasiswa dapat memberikan solusi yang terbaik atas permasalahan yang menggejala. Aksi demo yang berujung bentrokan menjadi fakta lain bahwa aspek will terlalu tinggi dan jauh meninggalkan kedua aspek pendamping lainnya. Polisi dilempari batu, polisi juga yang disalahkan dan menuntut agar diproses secara hukum, sekalinya ada mahasiswa yang tertangkap, eh demo di depan kantor polisi agar kawannya segera dilepaskan begitu saja. Dewasakah yang seperti itu ? Terlalu majunya will membuat aksi mahasiswa juga mudah ditumpangi oleh pihak-pihak yang mencari untung. Sebagai contoh ialah bagaimana kelompok mahasiswa dari salah satu universitas yang ikut demo brutal pemekaran daerah Tapanuli, ternyata diberi “salam amplop”. Agar tidak terlalu “sakit” fakta ini terasa, dibilanglah; “Ah itu kan cuma oknum”.
Adalah sudah menjadi tugas perguruan tinggi sebagai tempat para mahasiswa mencari ilmu untuk membantu mahasiswa-mahasiswanya mengembangkan ketiga fakultas diri (reason, heart, will). Supaya ke depannya, tidak ada lagi aksi demo yang bikin malu nama perguruan tinggi bersangkutan pada khususnya dan nama mahasiswa pada umumnya. Agar ke depannya, aksi demo lebih berbobot, bahkan kalau perlu tak usah capek-capek turun ke jalan.
Bagaimana caranya ? Tentu saja dengan upaya pembinaan. Secara khusus, dekati front-front atau forum-forum aktifis dan fasilitasilah mereka dengan memberikan bimbingan pendidikan politik. Secara umum, rajin-rajin juga pihak perguruan tinggi untuk menggelar kegiatan-kegiatan insidental yang bermuatan edukasi politik, sehingga pendidikan berpolitik mencapai semua mahasiswa. Idealnya lagi, pihak perguruan tinggi dapat menjadi pembimbing sekaligus mediator bagi rencana-rencana aksi unjuk rasa mahasiswa. Jangan sebatas ngasih izin aksi doang ! Bantu mahasiswa untuk menyusun rancangan solusi yang aplikatif dan rasional dalam menjawab setiap fenomena yang muncul. Kemudian iringi mahasiswa agar dapat menyampaikan secara langsung dengan etis dan elegan terhadap pihak terkait yang dituju.
Deskripsi di atas ialah gambaran Perguruan Tinggi Idaman versi saya. Selama ini, saya melihat bahwa pihak perguruan tinggi selalu lepas tangan untuk urusan aksi-aksi demo mahasiswa. Kalau ada masalah, baru mereka wara-wiri, entah itu dengan melakukan pembelaan membabi buta atau mencekal bahkan men-drop out (DO) mahasiswa tertentu karena dianggap telah mencemarkan nama baik civitas. Pembelaan membabi buta ? Ya, contohnya saat pihak Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, yang membela aksi mahasiswa mereka dalam kasus penghinaan agama. Tentu anda masih ingat dengan kasus teriakan “anj*nghu-akbar” yang saya maksudkan. Men-DO ? Kalau yang ini tak perlu diberi contoh juga sepertinya anda dan saya sudah sama-sama tahu.
No comments:
Post a Comment