Thursday, February 4, 2010

BENCHMARKING OR “BENCHMARKING” ?


Sebelum menulis artikel kedua untuk Lomba Blog UII ini, saya membuka-buka terlebih dahulu halaman-halaman situs Universitas Islam Indonesia (www.uii.ac.id). Tujuannya, pertama untuk cari infromasi, yang kedua untuk cari inspirasi. Browsing terutama saya lakukan di bagian Fakultas Psikologi, sebab saya sendiri merupakan mahasiswa psikologi. Sesaat setelah menjelajahi halaman demi halaman situs, saya jadi teringat pada kejadian beberapa waktu lalu.

November 2009 yang lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi Univeristas Islam Bandung (BEM-F UNISBA), yang saya di sini menjadi salah satu pengurusnya, mengadakan kegiatan studi banding (benchmarking). Sasarannya ialah ke daerah Malang (Universitas Muhammadiyah Malang) dan Surabaya (Universitas Airlangga dan Universitas Surabaya). Apa yang akan di-studi banding-kan tak lain dan tak bukan adalah masalah keorganisasian.

Melakukan studi komparasi sudah menjadi salah satu program kegiatan wajib setiap kepengurusan BEM kami. Animo anggota BEM sangat tinggi untuk mengikuti kegiatan ini. Sangat kontras bila dibandingkan dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Justru kegiatan ini selalu ditunggu-tunggu. Kegiatan studi banding merupakan satu-satunya program yang hampir seluruh biayanya disubsidi oleh pihak fakultas. Jadi, kendatipun para peserta harus bayar, jumlahnya tidak besar, malah amat murah.

Setiap tahun, studi banding dilakukan. Hasilnya ? Ah saya tak sampai hati untuk mengatakan; “nihil”. Jadi, saya katakan saja; “Hasilnya ada sih ada, tapi… tidak atau belum nampak”. Dikarenakan sifatnya yang demikian, di kalangan BEM sendiri kegiatan ini sering disebut sebagai; “Pariwisata”. Ya, pariwisata, itulah yang biasanya dicari oleh anggota BEM. Hitung-hitung refreshing lah... Wajar jadinya kenapa kegiatan ini selalu ditunggu dan diminati oleh para anggota BEM.

Pariwisata berbalut studi banding seolah sudah menjadi budaya. Bentuk kecil-kecilannya, seperti yang terjadi pada BEM kampus saya. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, berita kepergian anggota dewan untuk studi banding ke luar negeri selalu jadi isu kontroversi yang membuat gerah rakyat. Gerah, sebab uang negara seakan terbuang percuma dipakai foya-foya para wakil rakyat kita. Foya-foya ? Bukan, studi banding maksud saya. Studi banding ? Mmm… kurang tepat juga dikatakan seperti itu. Supaya enak, kita pakai saja istilah yang pertama saya sebut; pariwisata berbalut studi banding. Dibalik juga boleh, toh artinya sama saja.

Di era multimedia modern seperti sekarang ini, untuk hal-hal tertentu jarak dan waktu sudah tidak menjadi masalah besar lagi. Diantaranya ialah dalam soal pertukaran informasi. Kita benar-benar harus berterima kasih pada kecanggihan teknologi dunia maya (internet). Untuk tahu seperti apa itu Universitas Islam Indonesia, tinggal klik saja seperti yang saya lakukan, kita sudah dapat informasi yang kita mau. Mungkin tidak secara mendalam, paling tidak informasi secara garis besarnya bisa kita dapat.

Pikiran membayangkan bahwa sebetulnya benchmarking yang memakan banyak biaya itu, yang membuat panas sebagian kalangan, yang tidak jelas tujuannya (pariwisata atau betul-betul studi banding ?) itu, tidak perlu dilakukan. Hampir semua institusi, sekarang sudah memiliki situs sendiri. Di dalamnya memuat berbagai informasi mengenai institusi terkait; profilnya, stafnya, produknya, kegiatannya dan lain-lain. Internet menghilangkan batas jarak dan waktu. Dalam kasus studi banding BEM kampus saya, untuk sekadar melihat bagaimana sebuah Perguruan Tinggi Terbaik me-manage dirinya, tak perlu makan biaya pergi dan berlama-lama ke sana. Cukup klik, selesailah sudah. Simple sekali.

Namun kendalanya adalah sejauh mana efektifitas studi banding maya ini. Mengingat informasi yang dicantumkan sebuah insitusi dalam site page-nya, biasanya hanya informasi yang bersifat umum. Sedangkan tujuan sejati dari studi banding itu sendiri ialah untuk mempelajari secara detail proses-proses yang dilakukan sehingga insitusi yang kita tuju bisa lebih hebat dari kita. Aspek interaksi komunikasi antara dua belah pihak juga jadi minim atau bahkan hilang ketika kita berstudi banding maya. Padahal melalui proses diskusi inilah terjadi knowledge transfer kepada pihak pelaku benchmarking. Belum lagi kalau ternyata informasi yang kita inginkan tidak tercantum. Pada titik ini, mau tidak mau studi banding kembali dilakukan secara fisik.

Bila dikaitkan dengan tema lomba blog ini, yaitu “mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman”. Perguruan tinggi semacam itu ialah perguruan tinggi yang dapat memberikan informasi selengkap mungkin dan memuaskan dalam situsnya bagi pihak-pihak atau para browser yang penasaran.

Jadi bagaimana kesimpulan akhirnya ? Ya, sepertinya ini semua kembali kepada soal mentalitas. Jangan-jangan memang sudah menjadi mental khas bangsa kita untuk “sambil menyelam minum air”, walau sayang ujung-ujungnya minum airnya kebanyakan. Kisah tentang benchmarking-nya BEM kampus saya dan anggota dewan, merupakan contoh kurang baik. Boleh jadi bahan pelajaran, tapi bukan untuk ditiru. Saya yakin, di luar sana, masih banyak pihak yang melakukan studi banding dengan sebenar-benarnya. Akan tetapi, sebelum menghabiskan banyak uang, tenaga dan waktu dengan jauh-jauh menyambangi lokasi benchmarking, alangkah baiknya korek dulu apa yang pihak lain miliki melalui browsing di internet. Peribahasa mengatakan; “Dunia tak selebar daun kelor”, dengan teknologi internet justru; “Dunia ternyata hanya selebar daun kelor”.

No comments:

Post a Comment