Seorang MBA muda lulusan universitas tingkat dunia, anak saudagar kaya, berdarah Tionghoa, pulang ke kampung halaman dan segera meroketkan sebuah bank milik ayahnya. Nama bank itu ialah Bank Century Intervest Corporation (CIC). Pada 1999, Bank CIC berhasil menjadi bank berpredikat A, dengan jumlah aset sebesar Rp. 3,5 triliun. Anda mungkin sudah tahu siapa yang sedang saya ceritakan. Ya, dialah Robert Tantular. Sosok yang disebut anggota Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani, sebagai “belut dalam oli”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa licinnya pria satu ini untuk diusut dan dibekuk.
Licinnya Robert menunjukkan kemahirannya di dunia bisnis dan perbankan. Dosen-dosen Universitas George Washington di Amerika Serikat sana, mungkin akan menepuk-nepuk dada, bangga, karena anak didiknya telah berhasil menjadi bankir yang ulung, sangat ulung. Namun mereka juga nampaknya akan menjadi sedih, karena ternyata si anak didik yang genius itu, malah memakai ilmunya di jalur yang salah.
Saya membayangkan kalau Robert dulunya ialah seorang mahasiswa idealis juga, sama seperti kebanyakan mahasiswa di negeri ini. Idealis dalam artian ia menyimpan cita-cita tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu berjalan dan dirinya ikut ambil bagian di dalam proses mewujudkan cita-cita ideal tersebut. Tidak sedikitpun terbesit pikiran untuk menjadi bajingan berpendidikan, yang dengan kepandaian ilmunya justru meresahkan dan menyengsarakan banyak orang.
“Nak, aku pernah jadi kau dulu, tapi kau belum pernah menjadi aku seperti sekarang ini”, kata Ruhut Sitompul, anggota Fraksi Partai Demokrat, pada seorang mahasiswa yang memprotes kinerja Pansus Century, terutama tertuju pada Partai Demokrat. Pernyataan itu menyiratkan bahwa kau, mahasiswa, hanya tahu yang ideal-idealnya saja, tapi setelah masuk ke dunia politik nyata kelak, kaupun mahasiswa tidak akan berbeda busuknya dengan politikus-politikus lain. Hilanglah apa itu yang dinamakan idealisme. Perbenturan antara alam imajiner (idealisme) dengan kenyataan (realita) akhirnya dimenangkan oleh setan-setan di dunia riil.
“Bukan tanggung jawab perguruan tinggi. Ya, bukan tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak sarjana-sarjana lurus dunia-akhirat”
Mungkin seperti itu pula yang terjadi pada Robert. Idealisme luhurnya lenyap diterpa ambisi keduniaan. Harta dan tahta telah dengan sempurna melunturkan cita-cita agungnya. Mimpi Robert menjadi konglomerat dengan harta yang halal berubah menjadi konglomerat saja, tak peduli caranya halal atau tidak.
Bukan tanggung jawab perguruan tinggi. Ya, bukan tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak sarjana-sarjana lurus dunia-akhirat. Jalan hidup seseorang ialah pilihan pribadi. Apakah seorang sarjana akan memanfaatkan ilmunya di jalan yang benar atau sesat, itu semua kembali pada pilihan pribadi masing-masing sarjana. Berubahnya Robert menjadi bankir nakal tidak bisa dikaitkan langsung kepada universitas tempatnya dulu menimba ilmu. Tidak bisa dikatakan kalau Universitas George Washington ialah pencetak bankir-bankir bandel yang licin dan licik.
Akan tetapi, perguruan tinggi tentu saja dapat memberikan bekal. Bekal yang dengannya, seorang sarjana dapat menimbang-nimbang keputusannya. Perguruan Tinggi Terbaik ialah perguruan tinggi yang dapat memberikan sejumlah bekal pada calon-calon sarjananya agar senantiasa menjalani hidup dengan benar. Pendidikan kode etik profesi tentu saja tidak cukup. Pemberian mata kuliah pendidikan agama belum juga cukup. Mahasiswa harus dicekoki banyak bekal pendidikan moral, tidak hanya di dalam kelas melainkan juga lewat kegiatan-kegiatan di luar kelas.
No comments:
Post a Comment