Sebut saja si bapak dosen sekaligus dekan fakultas kami ini dengan A. Di mata banyak mahasiswa – yang juga dibenarkan oleh sebagian dosen – Bapak A ini merupakan seorang pembimbing skripsi yang alot. Maksudnya, ia sulit diikuti kemauan dan pemikirannya kala membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi. Alhasil, mahasiwa sampai jungkir balik bahkan ketika baru mengajukan judul penelitian. Sebab Bapak A selalu meminta mahasiswa mengajukan penelitian yang relatif baru, fresh, belum pernah diangkat oleh peneliti lain. Kalau sampai ia menemukan judul penelitian yang sudah sangat lumrah, seperti; “Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Kinerja”, sudah pasti beliau akan menolaknya mentah-mentah, membuat mahasiswa jadi kelimpungan mencari judul baru.
Sebagian dosen ada yang mencibir atas sikap bapak A. Dikatakan bahwa sifat penelitian itu memang repetitif, dapat diulang, sesuai dengan namanya re-search (dicari/diteliti-lagi). Meskipun sebuah topik sudah sering dan banyak diangkat jadi penelitian, sah-sah saja untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama. Siapa tahu ditemukan hasil yang berbeda, karena faktor waktu, tempat pelaksanaan dan subjek penelitiannya yang berbeda mungkin berpengaruh. Sebagai tambahan, mereka juga berpendapat bahwa meminta mahasiswa untuk membuat skripsi yang “wah”, itu namanya terlalu menuntut mahasiswa dengan harapan tinggi, padahal jenjangnya baru S-1. “Ini skripsi, bukan tesis apalagi disertasi”, kata mereka.
Terlepas dari idealisme Bapak A yang jadi kontroversi tersebut. Sebetulnya apa yang ingin ditekankan oleh si bapak ialah mengenai orisinalitas sebuah karya. Artinya, mahasiswa mesti betul-betul bisa membuahkan karya yang asli dan murni hasil gejolak pemikirannya sendiri. Kalau membuat penelitian dengan topik itu-itu saja yang sudah sangat umum, berarti mahasiswa tidak mampu berpikir orisinil, atau jangan-jangan malah plagiat.
Ada dua kemungkinan ketika mahasiswa mengajukan penelitian yang “biasa-biasa” saja. Pertama, bisa jadi ini lebih karena faktor kekurangcermatan mahasiswa sebagai peneliti dalam mengobservasi gejala-gejala fenomena yang ada, sehingga variabel yang dia angkat ya itu lagi-itu lagi. Kedua, mungkin juga ini karena faktor mahasiswa yang sudah ngebet ingin cepat lulus, sehingga cari topik penelitian yang mudah-mudah saja dan umum.
Jika dibanding-banding antara kemungkinan satu dan dua. Saya (penulis) melihat bahwa yang paling bahaya ialah kemungkinan yang kedua. Kenapa ? Sebab pada tataran ini ada kecenderungan dalam individu untuk melakukan apa saja asalkan keinginannya tercapai. Di sinilah jurang plagiarisme terbuka lebar. Adapun jiplak-menjiplak itu merupakan salah satu aib terbesar dalam dunia pendidikan. Dan pelaku plagiarisme tidak hanya mahasiswa saja, dosen-dosenpun bisa terjerumus.
Karena faktor “menghalalkan segala cara” inilah, akhirnya kita mendengar kabar buruk bahwa ada dosen anu yang jiplak to’ artikel orang lain. Ada dosen yang jiplak skripsi di internet untuk karya tulis syarat pengajuan gelar guru besar. Untung, kabar baiknya, mereka-mereka itu, katanya, mengakui perbuatan salahnya dan siap nrimo akan sanksi yang akan diberikan oleh pihak-pihak terkait.
Kasus plagiarisme tentu akan mencoreng nama baik perguruan tinggi. Dosen tukang jiplak merupakan contoh buruk bagi mahasiswa dan teladan bejat bagi masyarakat luas. Perguruan tinggi harus bersih-bersih diri dari parasit plagiator tersebut. Beri sanksi yang seberat-beratnya, kalau perlu ya pecat saja. Untuk menjadi Perguruan Tinggi Terbaik, institusi perguruan tinggi mesti benar-benar menjaga kualitasnya. Saya dengar kabar, katanya, kalau di luar negeri, dosen yang punya track record buruk, selain dipecat dari institusi asal, ia pun akan diboikot dari dunia pendidikan, paling tidak ia akan kesulitan untuk mencari tempat mengajar yang baru.
Kalau skripsi akang orisinal tidak ?
ReplyDeletePak A itu siapa ya ? jadi penasaran euy