Tuesday, March 30, 2010

DIARI AMBISI


Hari Ke-1

            Aku hanya duduk berjam-jam di depan komputer. Tak satu huruf, kata, kalimat atau paragraf yang berhasil kutorehkan di atas kertas imajiner. Padahal apa yang ingin aku curahkan sederhana saja, tentang cinta. Kisah cinta yang klasik atau mungkin orang-orang menyebutnya sebagai “klise”. Diangkat dari pengalaman pribadi.  
            Namun aku bingung harus diceritakan dengan gaya apa kisah tersebut. Terlintas di pikiran untuk mencoba memaparkannya secara apa adanya, biasa saja, seperti aku menulis catatan harian ini. Sebagaimana para penulis blog yang tulisan-tulisannya dibukukan. Laku, ya mungkin akan laku besar buku-ku nanti, selayaknya buku-buku tipis mereka. Namun secara bobot ? Ah… pokoknya aku tak mau jadi penulis model begitu. Aku merasa diriku masih mampu untuk lebih dari itu.

* * *

            Lukito berjalan perlahan ketika lewat di depan kamar Syahid. Gordyn-nya masih tertutup, tidak menyisakan celah sedikitpun untuk mengintip dari jendela. Padahal hari sudah terang benderang. Tanpa memperpanjang pikiran buruk, Lukito meneruskan langkahnya.

Hari ke-5

            Andaikan aku menulis dengan mesin tik berikut lembaran-lembaran kertas yang nyata. Pasti kini, di bawahku, sudah bertaburan banyak gumpalan remasan kertas. Menyelimuti lantai, menggunung di tempat sampah, sampai bertebaran di mana-mana.
            Aku mencoba bermain ungkapan, agar cerita sederhanaku ada bumbu-bumbu “gereget-nya”. Kugambarkan perasaanku yang deg-degan dengan A, kulukiskan harapanku dengan B, kuuraikan pikiranku dengan C, dan seterusnya. Aneh… ceritanya, cerita cinta sederhana, tapi penggambarannya sungguh luar biasa. Malah jadi terkesan berlebihan, “lebay”, begitu kalau kata anak muda zaman sekarang.
Jadi jijik sendiri aku membacanya. Akhirnya kuhapus lagi berembar-lembar halaman yang sudah kutulis.

* * *

Didorong perasaan khawatir. Pagi itu, Lukito menggantungkan sebungkus makanan kesukaan Syahid, nasi uduk, di gagang pintu kamarnya. Ke bawah pintu, ia selipkan selembar kertas berisikan pesan singkat; “Kubelikan sarapan favoritmu, makanlah”.

Hari ke-8

            Titik-titik embun mengelilingi dengan sempurna seluruh permukaan kaleng bir. Di seberang kanan sana, asap mengepul dari sebatang rokok yang terparkir di bibir asbak. Antara keduanya, mesin komputer menderu halus.
            Sambil duduk menyender pada sandaran ranjang, Syahid tengah asyik menulisi buku catatan hariannya. Belakangan, ia mulai menamai buku tersebut dengan “Buku Catatan Kemajuan Eksperimen Menulis”. Ia menulis diterangi cahaya kuning lampu tidur di sampingnya. Di atas meja kecil tempat lampu tidur itu berdiri, telepon genggam bergetar ke kanan dan kiri. Di layarnya tercantum nama Lukito. Syahid tak acuh, ia terus saja sibuk mencatat.

            Aku mulai sadar bahwa yang membuatku sulit menulis bukan karena aku bingung akan menulis dengan gaya apa. Namun cerita itu sendiri yang menjadi hambatan. Terlalu umum, terlalu biasa, tak ada sesuatu yang baru. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya; “klasik”. Cerita biasa akan tetap biasa saja walau gaya penuturannya dibuat seunik mungkin.
            Oleh karenanya aku akan mereka ulang pengalaman pribadi tersebut. Tambahi di sini, kurangi di situ, ubah yang ini, biarkan yang itu, yang tidak ada diada-adakan dan yang ada boleh dihapus. Kuharap usahaku kali ini akan lebih membuka jalan, walau ini berarti aku kembali ke titik minus di belakang nol.

* * *

            Lukito membatalkan panggilan telepon dengan kesal bercampur was-was. Seminggu lewat sehari, kawan dekatnya itu belum juga keluar kamar. Lukito mulai mencemaskan banyak hal; apa bekal makanan yang Syahid punyai sudah habis atau masih ada ? Tidak sakit matakah ia setiap hari memelototi layar komputer dengan nyala redup lampu tidur ? Jangan-jangan ia rubuh karena jatuh sakit ? Kenapa telepon tak pernah diangkat atau SMS tak pernah dibalas ? dan sebagainya.

Hari Ke-10

            Sempurna ! Kerangka cerita yang baru ini benar-benar sempurna ! Nantinya cerita ini akan benar-benar menjadi menakjubkan, spektakuler ! Setelah selesai dan kukirim naskahnya. Pihak penerbit takkan sanggup menolaknya, bahkan dengan bergegas memutuskan untuk mencetaknya beribu-ribu eksemplar, padahal mereka baru membacanya beberapa lembar. Beribu, beratus ribu, berjuta penggila buku akan mengincar sedaya upaya buku ini yang semakin hari semakin langka di pasaran karena saking lakunya. Koran-koran nasional memuat resensi buku ini sampai berlembar-lembar, dengan resensatornya ialah tokoh-tokoh publik ternama, mulai dari budayawan, agamawan, ilmuwan sampai politikus. Aku diundang ke sana-ke mari untuk menjadi pembicara di berbagai seminar kesastraan. Tak lama kemudian datanglah lamaran dari para sutradara kawakan, meminta izin untuk memfilmkan karyaku yang fenomenal ini.
            Sungguh indah… indah… aku tak sabar akan datangnya semua hal tersebut. Bersiaplah dunia untuk menyambut penulis abad ini, Sang Syahid !

            Syahid merebahkan diri ke atas lantai, seolah tak sanggup menanggung keyakinannya sendiri yang amat menjulang tinggi. Dilemparnya Buku Catatan Kemajuan Eksperimen Menulis entah ke mana, seperti yang sudah tak butuh lagi. Kerangka cerita yang ia tuliskan di dalamnya sudah terpatri di otak. Jadi, betul-betul ia telah merasa tidak butuh buku tersebut. Menikmati kebahagiaan ini, Syahid ambil sekaleng bir dan sebungkus rokok. Ia minum, merokok, minum, merokok, minum, merokok, minum lagi, merokok lagi. Tawanya berderai-derai.

* * *

            Lukito menunggu dengan sabar. Dengan jelas ia mendengar tawa terbahak-bahak dari dalam kamar. Diketuk-ketuk lagi pintu. Tambah keras malah tambah jengkel Lukito, sebab si empunya kamar tak juga membuka pintu dan menyambutnya. Akhirnya Lukito putuskan untuk pergi. Biarlah, yang penting kekhawatirannya sedikit luntur setelah mendengar tawa Syahid. Tadinya, ia kira Syahid telah membangkai.

Setahun Kemudian

            “Mungkin pertanyaan ini keluar dari konteks diskusi, tapi saya hanya tergelitik untuk bertanya, jika teman anda masih hidup dan melihat malah anda yang duduk di depan sana dengan elegan, padahal itu ialah harapan terbesarnya, apa yang akan anda katakan padanya ?”, tanya seorang pengunjung yang segera disambut gerai tawa dan tepuk tangan meriah.
“Seperti yang kutulis di akhir buku… (menghela napas) Kawanku, Syahid, bercita-cita menjadi penulis besar yang menggemparkan jagad kesastraan dunia. Ia menekuninya dengan sangat keras, terlalu keras, hingga akhirnya cita-cita berjumpa maut. Hal yang disesalkan adalah kau, kawanku, Syahid, tidak menyadari bahwa selama perjuangan mematikanmu itu, kau sebenarnya telah membuat karya luar biasa dengan menulis catatan harian yang sepele…”, Lukito mengakhiri ucapannya dengan senyum lebar.
Pembawa acara segera berdiri, kemudian mengucapkan terima kasih pada Lukito, penulis buku “Diari Ambisi” dan juga pada para pengunjung yang telah hadir pada acara bedah buku. Sebelum turun panggung, Lukito memutar kepala, mengamati untuk terakhir kalinya latar panggung yang di sana terpampang sebuah banner raksasa bertuliskan;

Bedah Buku
“Diari Ambisi”
Sebuah Catatan Kemajuan Eksperimen Menulis
Bersama Penulis : Lukito Candra

Hari Ke-16

            Bau bangkai menyusup keluar. Lukito yang menciumnya pertama kali. Dipukul-pukul papan pintu, tak ada jawaban dari dalam, sunyi. Lantas Lukito pun berteriak-teriak minta tolong dengan histeris.

Hari Ke-56
            Lukito mulai menulis ulang isi buku catatan harian almarhum Syahid.

No comments:

Post a Comment