Di ranah ilmu ekonomi ada yang disebut dengan prinsip ekonomi. Prinsip tersebut menyatakan bahwa manusia cenderung akan mengeluarkan usaha sekecil-kecilnya demi mendapat hasil semaksimal mungkin. Melalui prinsip ini dapat dijelaskan mengapa negara-negara besar semacam Amerika Serikat selalu risih dengan peredaran barang-barang produk Cina. Terlepas dari isu pembajakan hak cipta, barang buatan Cina memenuhi syarat prinsip ekonomi; harganya murah dengan kualitas yang cukup memuaskan. Wajar jika banyak konsumen menggandrunginya.
Sifat dasar prinsip ekonomi tidak hanya berlaku pada konteks transaksi ekonomi atau kegiatan pasar. Prinsip ini juga akan nampak pada seluruh kegiatan manusia yang di dalamnya terkandung unsur pertukaran cost and outcome. Cost tidak selalu bermakna materi (uang, biaya), secara luas ia dapat diartikan sebagai usaha yang dikerahkan seorang manusia untuk mencapai suatu tujuan. Di dalamnya terkandung aspek harapan. Outcome secara harfiah berarti hasil, bentuknya bisa bermacam-macam. Secara lebih mendalam lagi outcome merujuk kepada perolehan hasil individu yang sesuai dengan harapan dan usahanya. Misalnya dalam sebuah hubungan percintaan, ketika seorang pemuda memberikan perhatian (cost) pada pacarnya, tentu ia menginginkan pasangan melakukan hal yang serupa bahkan lebih kepadanya (outcome). Ketidaksesuaian antara cost dan outcome yang dirasakan individu akan menghasilkan apa yang dinamakan dengan dissatisfaction. Beranjak dari ketidakpuasan, hubungan percintaan seperti yang dicontohkan dapat bubar atau putus.
Begitu pula dalam dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi, prinsip ekonomi tetap berjalan. Masyarakat kebanyakan menginginkan agar cost yang dikeluarkan tidak besar. Pada tataran biaya, ini berarti ongkos kuliah sangat terjangkau atau dengan kata lain murah. Dengan kemurahan biaya ini selanjutnya diharapkan bahwa pendidikan tingkat tinggi juga bisa dicicipi oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pada tataran proses perkuliahan, cost yang kecil bermakna perguruan tinggi menyediakan kemudahan-kemudahan (fasilitas belajar) yang melancarkan studi. Di sisi outcome, jelas masyarakat menginginkan hasil yang optimal. Biasanya, dalam hal ini, masyarakat menginginkan agar gelar kesarjanaan tak sulit diraih dan yang terutama, setelah lulus nanti mudah untuk mencari mata pencaharian (pekerjaan).
“Pada akhirnya, yang paling aman ialah yang sepadan harga. Kita berharap bahwa penerapan dan pelaksanaan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) akan mengawasi hal tersebut, agar perguruan tinggi itu selalu menetapkan harga yang sepadan”
Jika kesemua hal yang tercantum pada paragraf sebelumnya diakomodir, maka tercapailah level Perguruan Tinggi Idaman. Namun pertanyaannya adalah; mungkinkah ada sebuah perguruan tinggi yang lengkap; biayanya murah, fasilitasnya lengkap, dapat gelarnya enteng serta setelah lulus gampang dapat kerja ? Penulis sendiripun pesimis. Perguruan Tinggi Idaman semacam itu benar-benar cuma Idaman belaka.
Apa pasal ? Sebab ada kontradiksi-kontradiksi yang sulit untuk disatukan. Contohnya, ketika bicara fasilitas yang lengkap dan maju, maka tak mungkin akan mampu disediakan perguruan tinggi dengan biaya yang murah. Kemudahan mendapat kerja jelas bukan tanggung jawab perguruan tinggi, hal ini kembali pada perjuangan masing-masing individu sarjana. Demikian juga dengan mudah tidaknya gelar dibanding, ini tergantung pada upaya mahasiswa selama berkuliah. Disandingnya gelar dan memperoleh pekerjaan tidak dapat dijamin dengan besarnya biaya, karena perguruan tinggi bukanlah sebuah perusahaan yang menerapkan kebijakan cash back pada konsumennya; lulus tidak tepat 4 tahun atau setelah lulus menganggur, maka uang kuliah seluruhnya dikembalikan.
No comments:
Post a Comment