Wednesday, April 21, 2010

NEGERI BERHALA


Terlepas dari kontroversi yang muncul selama tragedi “Cicak VS Buaya”. Pada waktu itu, di masyarakat muncul suatu fenomena tersendiri, yakni “pemberhalaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”. “Berhala” KPK dipuja-puji masyarakat sebagai satu-satunya lembaga “suci” di Indonesia. Pembelaan besar-besaran dilakukan di sana-sini, lewat aksi demo nyata ataupun secara maya melalui situs jejaring sosial Facebook.

Usai pertandingan Cicak VS Buaya, sebuah fakta terungkap. Katanya, menurut hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) baru-baru ini. KPK ternyata enggak bersih-bersih amat. Disinyalir ada intrik-intrik korupsi di dalam tubuh si pembasmi koruptor ini. Sungguh satu paradoks yang memilukan.

Berlalu soal KPK, muncul gemuruh di Koja, Jakarta Utara. Ratusan warga bentrok besar dengan ribuan Satpol PP. Konflik kepentingan yang membuahkan maut antara PT. Pelindo yang diwakili Satpol PP dengan Keluarga Ahli Waris Mbah Priok yang diwakili warga setempat. Tercatat tiga nyawa anggota Satpol PP melayang karena amukan massa.

Cukup mengherankan, betapa loyalnya warga membela keberadaan “berhala” makam keramat  Mbah Priok. Padahal, jenazah Mbah Priok sendiri sudah tidak di situ lagi sejak tahun 1997. Almarhum sudah lama beristirahat di TPU Semper. Aneh, sungguh aneh, pindahnya jenazah tidak menjadikan lokasi ziarah juga ikut pindah. Ribuan warga setiap harinya tetap datang ke Koja untuk “menyembah”  bekas makam Mbah Priok. Timbul kecurigaan bahwa ada oknum yang tidak ingin keuntungan basah dari “bisnis ziarah”-nya terganggu, lalu menggerakkan massa untuk menentang niatan baik pemerintah dan PT. Pelindo.

Insiden Koja, merupakan kejadian yang masih hangat. Kembali jauh ke belakang, ke masa-masa (Alm) Gus Dur akan di-impeachment oleh DPR, kita akan diingatkan oleh peristiwa “pemberhalaan” yang lain. Kejadian dimaksud tak lain dan tak bukan ialah pembelaan membabi buta atas (Alm) Gus Dur yang dilakoni ribuan massa PBM alias Pasukan Berani Mati. Ribuan massa yang mayoritas dari tanah Jawa Timur sana merangsek ke Ibu Kota dan menunjukkan keseriusan bahwa mereka tak takut mati demi membela (Alm) Gus Dur. Di masa genting, Muhaimin Iskandar, yang waktu itu masih bergandengan mesra dengan pamannya, sampai mengeluarkan pernyataan pembelaan mutlak; “Kalau Gus Dur bilang langit itu kuning, maka saya akan katakan kuning juga”.

Wah… banyak sekali ternyata “berhala-berhala” di negeri kita ini. Tidak hanya mewujud pada figur seorang tokoh atau benda mati, sampai organisasipun dipuja abis-abisan. Luar biasa ! 

Rupanya, fenomena “pemberhalaan” muncul juga di dunia pendidikan, khususnya dunia perguruan tinggi. Sudah tidak aneh lagi kita melihat dan mendengar ada orang tua yang rela berkorban puluhan juta demi anaknya bisa diterima di sebuah perguruan tinggi yang dicap sebagai Perguruan Tinggi Favorit Indonesia atau Perguruan Tinggi Terbaik.

Sebagai contoh bisa dilihat pada sebuah institut teknologi negeri di Bandung. Sebuah institut yang tidak diragukan lagi sudah menjadi Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia. Jalur seleksi khusus yang (katanya) seharga Rp. 50 juta tidak pernah sepi peminat setiap tahunnya. Padahal, kalau dipikir-pikir, jalur seleksi khusus tersebut sebetulnya cuma akal-akalan bisnis dari institut tersebut. Akal-akalan bisnis ? Ya, bagaimana tidak, peluang masuk tetaplah kecil. Kalau ikut seleksi jalur biasa (SNMPTN), peluang masuknya satu berbanding ribuan. Sedang jika ikut seleksi khusus, peluangnya satu banding ratusan. Nampak lebih kecil, namun yang mesti digarisbawahi plus dicetak tebal ialah bahwa pada jalur seleksi khususpun belum tentu calon mahasiswa itu diterima. Kendatipun calon mahasiswa seleksi khusus tidak diterima, kan uang pendaftaran mereka yang berjuta-juta itu tetap masuk ke kantong institut. Jadi, jelas ini semua sebetulnya hanya strategi institut untuk meraih isi pundi-pundi dengan lebih banyak.

Kalau mendengar cerita ada si anu yang menghabiskan sekian puluh juta agar anaknya masuk perguruan tinggi A. Sering saya menanggapinya dengan berseloroh; “Kalau saya jadi orang tua nanti dan punya banyak uang, lebih baik saya kasihkan itu uang sekiah puluh juta mentah-mentah ke anak saya buat jadi modal usaha, dari pada habis endak keruan untuk masuk perguruan tinggi”.

Seloroh saya, jelas selorohnya kaum menengah ke bawah yang begitu sayang akan penggunaan uang. Bagi kaum berduit, tentu uang sekian puluh juta tersebut bukan masalah besar. Untuk kalangan cekak sungguh tidak rasional biaya puluhan juta kalau hanya untuk bisa masuk. Ingat, hanya untuk masuk saja puluhan juta ! Tapi bagi kaum konglomerat hal tersebut rasional-rasional saja, namanya juga demi kebahagiaan anak.

Ya, seperti itulah “berhala” di dunia perguruan tinggi. “Kaum pemuja” siap serah harta benda, berapapun jua. Pihak perguruan tinggi menangkap peluang dan memanfaatkannya. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar. Ini cuma perkara rasional – tidak rasional. Pun demikian, ini hanya memperlihatkan pada kita bahwa kaum berduit tak secerdas yang kita kira.

No comments:

Post a Comment