Saya memiliki kolega yang menjabat sebagai pimpinan redaksi sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta. Tidak seperti sekarang, kala itu, perusahaannya khusus hanya menerbitkan buku-buku bertemakan agraria. Sekali waktu diundanglah pihak penerbit oleh sebuah institut pertanian yang sudah sangat ternama.
Kolega saya menceritakan bahwa saat kunjungan tersebut ada seseorang yang menyindir tentang buku-buku hasil terbitan perusahaan yang ia pimpin. Si penyindir tersebut menyayangkan bahwa ternyata buku-buku pertanian yang diterbitkan tidak ditulis oleh seorang akademisi atau praktisi pertanian. Para penulisnya malah memiliki latar belakang akademik yang jauh dari bidang agraris. Oleh karenanya, isi dari buku tersebut harus dipertanyakan keabsahannya. Disindir seperti itu, kolega saya tersebut balik menyerang; “Perguruan tinggi itu bak sebuah menara emas, baru indah kalau kita mendekat, tapi dari kejauhan tidak nampak apa-apa”.
Secara kasar, pernyataan kolega saya tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut; “Di perguruan tinggi anda itu memang banyak ahli-ahli pertanian, banyak pula kumpulan penelitian mutakhir tentang pertanian, namun sayangnya kesemuanya itu tidak terasa dampaknya oleh masyarakat. Para ahlinya hanya memukau dalam ceramah teori dan penelitian-penelitiannya hanya indah menghiasi rak-rak serta almari-almari perguruan tinggi”.
Serangan yang tajam dan pada intinya ia menyatakan kalau pihaknya lebih baik karena benar-benar membuahkan suatu karya yang berguna bagi masyarakat walaupun tidak ditulis oleh ahlinya.
Idealnya, memang sebuah buku itu ditulis oleh ahlinya. Buku hukum ya ditulis oleh praktisi hukum. Buku psikologi ya dibikin oleh seorang psikolog. Buku sastra ya ditulis oleh seorang sastrawan. Namun kenyataannya, menulis itu bagaikan meramu masakan. Dalam memasak anda tidak perlu menjadi seorang chef handal ala Rudy Choirudin atau Fara Quinn. Yang penting anda tahu bahannya apa saja, takarannya berapa dan langkah-langkah pembuatannya seperti apa. Demikian juga menulis, untuk menulis sebuah buku pertanian, yang terpenting anda tahu bahan materi apa saja yang dibutuhkan, materi mana saja yang relevan dengan tema, kemudian bagaimana cara menyampaikannya agar mudah dipahami pembaca. Simple, tidak mesti anda menjadi sarjana pertanian terlebih dahulu.
Di luar soal menulis, mari kita simak kembali pernyataan yang dikeluarkan oleh kolega saya. “Perguruan tinggi itu bak menara emas”, katanya. Hati nurani mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin benar adanya. Begitu banyak penelitian-penelitian aplikatif yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa atau dosen-dosen di perguruan tinggi. Namun mungkin baru sebagian kecil yang benar-benar diterapkan di masyarakat. Sungguh sangat disayangkan, karena sesuatu yang secara empiris telah terbukti dapat memecahkan suatu persoalan di masyarakat, nyatanya tidak ditularkan. Hanya menjadi bahan diskusi di antara kalangan akademisi atau dipentasseminarkan di ajang-ajang temu ilmiah level regional sampai internasional.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mendorong segenap civitas-nya untuk mempraktekkan penelitian mereka di masyarakat. Jika tingkat mempraktekkan mungkin terlalu sulit. Oke, pada tingkatan ringannya, civitas mesti menginformasikan kepada masyarakat mengenai kegunaan hasil penelitian-penelitian mereka. Salah satu bentuk kongkritnya ialah dengan menerjemahkan penelitian mereka itu ke dalam bentuk buku. Pada titik inilah terjadi transfer pengetahuan dari kalangan pengeyam pendidikan tinggi ke masyarakat secara umum.
Seorang dosen dengan “pangkat” doktoral belum tentu bisa menulis buku yang isinya mudah dicerna masyarakat. Seorang mahasiswa berprestasi belum tentu mampu menulis buku yang penyampaiannya menyentuh otak awam masyarakat. Menulis itu butuh pembelajaran, menulis itu butuh latihan.
No comments:
Post a Comment