Dalam satu kesempatan tes seleksi masuk sebuah politeknik manufaktur kenamaan di wilayah Bandung, saya mengobrol dengan seorang psikolog yang menjadi project officer kegiatan seleksi tersebut. Dalam obrolan itu si psikolog menyatakan kekhawatirannya tentang semakin sedikitnya lapang kerja bagi sarjana-sarjana psikologi keluaran baru, terutama untuk lingkup kerja di perusahaan (industri dan organisasi). Dia mencontohkan dalam hal psikotes untuk kepentingan rekrutmen atau promosi saja, sekarang mulai banyak “diambil alih” oleh sarjana-sarjana ekonomi. Aneh memang, tes psikologi kok digarap oleh sarjana-sarjana non-piskologi ? Ternyata, alat tes psikologi yang mereka gunakan ialah alat-alat tes model baru yang sifatnya computerize, pengoperasiannya amat sederhana, dan hasilnya tak kalah akurat dengan alat-alat tes “kuno” yang paling banyak dan selalu digunakan selama ini. Tidak perlu seorang sarjana psikologi yang melaksanakan tes tersebut. Hanya dibutuhkan orang yang bersertififkat. Apapun latar belakang pendidikannya, asal dia telah certified ahli dalam menggunakan alat tes modern tersebut, maka ia akan dicari-cari perusahaan untuk disewa tenaganya.
Lucunya, banyak perguruan tinggi yang memiliki program studi psikologi, lambat dalam merespon perubahan zaman ini. Lambatpun masih Alhamdulillah, seperti kata pepatah; “Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Masalahnya kini banyak perguruan tinggi yang masih jumud, bertahan dengan ke-kuno-annya dan membiarkan mahasiswa-mahasiswa mereka bagai kodok terperangkap dalam tempurung. Ketika mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain handal dalam mengoperasikan alat tes psikologi yang baru. Mahasiswa psikologi-nya sendiri malah endak tahu-menahu kalau ada alat tes psikologi yang lebih anyar dan canggih.
Alhasil, menurut pengamatan psikolog senior kolega saya tersebut, banyak perusahaan yang mengeluh karena ternyata sarjana psikologi yang mereka rekrut tidak bisa apa-apa dalam mengoperasikan alat-alat tes terbaru. Pun demikian, sekarang banyak perusahaan yang lebih senang mencari biro yang mampu menyelenggarakan tes-tes dengan alat terbaru, meskipun biro tersebut digawangi orang-orang dengan basic pendidikan non-psikologi.
“Hidup itu bagai arus sungai”, begitu kata filsuf Demokritus. Tidak ada satupun di dunia ini yang statis. Semuanya terus bergerak, tiada hentinya, bahkan sebenarnya manusianya sendiri terus berubah. Manusia akan keteteran kalau tidak mampu mengikuti arus perubahan tersebut. Semua lini dalam kehidupan manusia terus berubah. Tak ketinggalan dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu indikator sebuah perguruan tinggi dicap sebagai Perguruan Tinggi Terbaik ialah dilihat berdasarkan kualitas lulusannya. Adapun lulusan itu sendiri dinilai terbaik atau tidaknya oleh masyarakat. Jika masyarakat puas akan kualitas lulusan perguruan tinggi tertentu, tidak hanya si lulusan yang dicap terbaik, tapi juga telunjuk secara tak langsung mengarah ke institusi tempat si lulusan berasal. Sementara penilaian masyarakat itu berdasarkan kebutuhan mereka. Artinya, jika lulusan mampu memenuhi ekspektasi masyarakat maka yang demikianlah yang dikatakan lulusan terbaik. Sarjana-sarjana yang tidak mampu mengikuti kebutuhan masyarakat, tidak hanya dicap “bukan terbaik”, namun ia juga akan tersingkir dalam persaingan dengan sarjana-sarjana dari perguruan lain. Nasib naas yang semestinya diperhatikan benar oleh institusi perguruan tinggi.
kang ihsan, kalo ada pelatihan-pelatihan alat tes dan akang atu, kasih tau yah?
ReplyDeletehehehe kudu mengupdate diri nih,,,-mengingat nasihat beliau bahwa kita juga perlu menguasai aalat-alat tes model baru :)-
yo i..... kamu juga ya bagi2 info nya...
ReplyDeletePanta Rei, itu mah kata-katanya Heraklitos, bukan Demokritos.
ReplyDeleteTes yang inventory tidak mungkin diajarkan semua di fakultas, sungguhpun dia masuk kategori A atau B. Yang diajarkan di PT adalah landasannya. Setelah itu, ybs yang harus mau belajar sendiri.
Apakah lulusan PT harus siap kerja ? Tidak. Yang siap kerja sebenarnya adalah lulusan magister profesi.