Wednesday, March 31, 2010

Sikap (Attitude)


I.       Definisi Sikap

Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner Dictionary (Hornby, 1974) mencantumkan bahwa sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yang artinya; “Manner of placing or holding the body, dan Way of feeling, thinking or behaving”. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, dan cara merasakan, berpikir, dan berperilaku.
Konsep sikap sebenarnya pertama kali diangkat ke dalam bahasan ilmu sosial pertama kali oleh Thomas (1918), sosiolog yang banyak menelaah kehidupan dan perubahan sosial, yang menulis buku Polish Peasant in Europe and America: Monograph of an Immigrant Group, yang merupakan hasil risetnya bersama Znaniecki. Dalam buku tersebut, Thomas dan Znaniecki membahas informasi sosiologi dari kedua sudut individualistik dan subjektivistik. Menurut pandangan mereka dua hal yang harus diperhitungkan pada saat membahas kehidupan dan perubahan sosial adalah sikap individu dan budaya objektif (objective cultural). Thomas dan Znaniecki (1974) mengemukakan mengenai sikap ini sebagai berikut:

“By attitude we understand a process of individual consciousness which determines real or possible activity of the individual in the social world”

Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan tindakan yang mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya. Thomas & Znaniecki (1920) menegaskan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.
Dalam mendefinisikan sikap, para psikolog sosial fokus pada kecenderungan (tendency) menyukai atau tidak terhadap objek sikap atau perilaku. Jadi, sikap diartikan sebagai tendensi untuk mengevaluasi objek apakah menyenangi atau tidak menyenanginya (Olson & Zanna, 1993). Sikap dapat diarahkan pada objek apapun di lingkungan, misalnya sekelompok orang (grup etnis), isu-isu kontroversial atau objek yang kongkrit.
Allport (1935) melihat sikap sebagai suatu kesiapan bertingkah laku. Lebih jelasnya, menurut Allport sikap adalah:

A mental and neural state of readiness, organised through experience, exerting a directive and dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related

Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait.
            Baron dan Byrne (2004) menyebutkan bahwa studi mengenai sikap menjadi penting karena alasan berikut ini :
1.      Sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial kita, meskipun sikap tersebut tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak (overt). Kecenderungan untuk mengevaluasi stimuli sebagai sesuatu yang positif atau negatif, merupakan langkah awal dalam usaha kita  untuk memahami dunia sosial.
2.      Sikap sering mempengaruhi tingkah laku kita. Hal ini terutama terjadi saat sikap  yang dimiliki kuat dan mantap (Petty & Krosnick, 1995). Karena sikap mempengaruhi tingkah laku, maka memahami sikap seseorang dapat membantu kita untuk memprediksikan tingkah laku tersebut dalam konteks yang luas.

 
II.    Komponen Sikap

Allport (dalam Jalaludin, 2002) merumuskan sikap ke dalam 11 premis berikut ini :
1.      Attitudes are learned. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan.
2.      Attitudes have referent. Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawsan, peristiwa ataupun ide.
3.      Attitudes are social learning. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan.
4.      Attitudes have readiness to respond. Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek.
5.      Attitudes are affective. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan, apakah positif atau negative.
6.      Attitudes are very intensive. Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.      Attitudes have a time dimension. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat vtertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.      Attitudes have duration factor. Sikap dapat bersifat relative konsisten dalam sejarah hidup individu.
9.      Attitudes are  complex. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu.
10.  Attitudes are evaluations. Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan.
11.  Attitudes are inferred. Sikap merupakan penafisran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai.


Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak secara senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup :
1.      Komponen kognisi
2.      Komponen afeksi
3.      Komponen konasi

Sikap sebagai sebuah konsep yang mengandung tiga komponen (kognisi, afeksi dan konasi) dalam gilirannya terus dipertahankan dan digunakan oleh para teoritikus-teoritikus sikap selanjutnya. Pendekatan sikap melalui tiga komponen disebut pendekatan triadik atau model tiga komponen. Salah satu teoritikusnya adalah Zana dan Rempel (1988). Menurut Zana dan Rempel menyebutkan bahwa ketiga komponen tersebut merupakan anteseden dari sikap.
Salah satu sumber yang krusial dari sikap adalah informasi kognitif mengenai target, yakni individu keyakinan mengenai atribut-atribut dari target (objek sikap). Proses kognitif dapat terjadi pada saat individu memperoleh informasi mengenai objek sikap. Proses kognitif ini dapat terjadi melalui pengalaman langsung misalnya pada saat individu minum soft drink kemudian merasakan kesegarannya, atau pengalaman tidak langsung yang diperoleh dengan cara menonton iklan soft drink yang memperlihatkan bintang iklan berubah penampilan menjadi lebih segar setelah minum soft drink tersebut di televisi (Eagly & Chaiken, 1993). Rasa segar yang dirasakan ataupun menyaksikan wajah orang lain yang berubah menjadi lebih segar memberikan informasi kepada individu bahwa soft drink adalah minuman yang menyegarkan menyebabkan individu bersikap positif terhadap soft drink. Pengetahuan mengenai suatu objek dapat datang juga dari pengalaman tidak langsung, seperti dari orang tua, teman dan media.
Evaluasi individu terhadap target dapat juga didasarkan pada bagaimana perasaan terhadap target – jadi, emosi atau afek yang ditimbulkan oleh target. Kadang kala, perasaan memprediksi sikap lebih baik dari dari pada kognisi. Proses afektif dikemukakan oleh Zanna, Kiesler, dan Pilkonis (1970) dapat membentuk sikap pada individu. Afek dan kognisi sering sejalan, proses keduanya berkaitan secara interdependent. Meskipun afek  dapat muncul karena keyakinan, ada juga kalanya afek berasosiasi dengan suatu objek tanpa adanya suatu keyakinan, proses tersebut ialah pengkondisian klasikal. Contoh yang dikemukakan oleh Zanna bahwa objek sikap yang dihadirkan bersama-sama dengan kejutan listrik akan direspon negatif daripada objek yang tidak disertai kejutan listrik.
Komponen perilaku atau komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa keyakinan (belif) dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku (Azwar, 1988).
Ketiga komponen pembentuk sikap ini berkolaborasi dan menghasilkan sebuah sikap tertentu dengan derajat tertentu pula. Oleh karena itu, bahasan mengenai strength tidak boleh dikesampingkan saat membahas sikap. 

Contoh Pembentukan Sikap Terhadap Undang-Undang "Hukuman Mati"


III. Kekuatan Sikap

Salah satu faktor yang penting ketika membahas kaitan sikap dengan perilaku ialah kekuatan sikap (attitude strength). Semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku (Petkova, Ajzen & Driver, 1995). Menurut Petty dan Krosnick (1995), kata kekuatan melibatkan beberapa faktor; ke-esktrim-an atau intensitas dari sebuah sikap (seberapa kuat rekasi emosional yang berhasil dibangkitkan oleh objek), kepentingan (sejauh mana individu peduli dan secara pribadi dipengaruhi oleh sikap tersebut), pengetahuan (seberapa banyak individu mengetahui tentang objek) dan kemudahan diakses (semudah apa sikap tersebut diterima oleh akal sehat dalam beragam situasi). Penelitian mengindikasikan bahwa semua komponen ini memainkan peran dalam kekuatan sikap dan saling berkaitan (Krosnick, dkk, 1993).

          Ketika seseorang menunjukkan perilaku yang berkebalikan dengan sikapnya, inilah yang dinamakan dengan ambivalensi sikap (attitude ambivalence). Beradasarkan Zana (1995), ambivalensi sikap merujuk kepada fakta bahwa evaluasi kita terhadap objek, isu, orang atau kejadian tidak selalu secara seragam positif atau negatif, sebaliknya evaluasi ini sering kali tercampur, terdiri dari dua rekasi, baik positif maupun negatif.

No comments:

Post a Comment