Aku berjalan
membuntutinya. Ayu, wanita yang dipilihkan untuk menemaniku bernyanyi-nyanyi
ria. Kami berjalan menyisir lorong temaram yang diapit kamar berderet-deret di
kanan-kirinya. Genderang musik, riuh tawa, dentang gelas semakin sayup
terdengar di belakang. Gerah, entah karena alkohol yang menguap dari dalam
perutku atau memang lembabnya udara di sepanjang lorong. Kami berhenti di depan
sebuah pintu. Ayu menengok dan mengangguk kecil padaku. Setelah memutar kunci, dengan
dorongan yang lemah pintu itu terbuka, Ayu masuk duluan.
Berdebar. Aku menoleh
menyusuri lorong yang barusan kami lewati, seolah ingin memastikan tidak ada
orang lain yang menguntit. Kosong. Aku menoleh ke sisi lorong lainnya,
mengamati sampai mana lorong ini berujung. Sepi.
“Mas ?,” Ayu memanggil dari dalam. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu masuk.
Yang memanggil kulihat
sudah merebahkan diri di atas kasur yang telanjang tak beranjang. Kasur itu
hanya sebadan, hampir tidak ada celah bagiku untuk ikut berbaring. Aku pun bersila
di atas lantai semen berlapis karpet plastik tipis. Adem.
Sadar telah lalai, Ayu
bergeser merapatkan badannya ke dinding. Tangannya menepuk-nepuk lemah bagian
kasur yang tersisa. Aku hanya mesam-mesem. Ia mengernyitkan kening. Ditepuk-tepuknya
lagi kasur itu, aku masih mesam-mesem. Ia menatapku dalam-dalam, mungkin
mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang aku inginkan. Kemudian ia tersenyum
seakan telah menemukan jawabannya. Tanpa benar-benar bertanya, ia mengangkat
badan sampai terduduk dan langsung melucuti pakaiannya, luar maupun dalam,
semuanya. Segala pakaian itu melambung, masuk ke sebuah keranjang yang ada di
seberang kakinya. Polos. Ia kembali menepuk-nepuk kasur. Rahangku mengeras,
mata terbelalak, namun aku tetap bergeming. Ayu mengernyitkan dahi. Sejurus
kemudian, kami hanya saling bertatapan. Aku gelisah, Ayu tersenyum. Mungkin ia
merasa telah mendapatkan jawaban lainnya. Tanpa berkata-kata, ia bangkit.
Berjalan melintasiku menuju sebuah pintu lain di kamar ini. Kepalaku memutar
mengikutinya. Ia cabut selembar handuk yang menggantung di pintu, menengok
sebentar kepadaku, melempar senyum kemudian menghilang ke balik pintu.
Terdengarlah suara gayung.
Sendirian. Mataku
mengitari seluruh kamar yang hanya berdinding lembaran papan kayu. Asal
menempel telinga di papan itu, aku yakin sudah cukup kuat untuk menyerap hembusan
napas tetangga sebelah. Malah jika cukup keras, serba suara dari sebelah bisa
hinggap sendiri ke telinga. Aku mendongak ke atas, menatap lampu bohlam yang
sesekali mengerjap-kerjap, mengkhawatirkan. Semilir angin menyusup, sejuk.
Kulihat ia datang dari celah di atas pintu setinggi kira-kira satu jengkal.
Celah yang cukup sulit digapai jika orang hanya berjinjit. Tetapi tetap saja
cukup mencemaskan bagiku. Beralih ke kasur yang meninggalkan tapak tubuh Ayu,
aku menelan ludah. Tapi kemudian aku jadi penasaran kenapa seprai kasur itu
terkesan muram; karena cahaya bohlam yang kurang ? atau karena sekedar sudah
terlalu sering dicuci ? atau pengaruh hawa alkohol yang sudah menguap di mataku
saja ?.
“Ikut sekalian mandi,
Mas ?,” Ayu tiba-tiba muncul di lawang pintu kamar mandi yang terbuka
lebar-lebar. Aku terkesiap yang berubah dengan cepat menjadi terpana.
Tajam aku memandanginya.
Aku bisa melihat setitik air di puncak kepala Ayu yang jatuh bergulir dengan
khidmatnya, dari rambut ke dahi, pipi, dagu, leher, bahu terus mengikuti alur
lekuk tubuhnya sampai ke ujung jari kaki.
“Mas ?,” Ayu menunggu
jawaban. Aku menengadah dan mesam-mesem.
Keheranan, Ayu lantas kembali
menutup pintu kamar mandi.
Mataku masih terpaku pada pintu itu, sedang
pikiranku merambah ke baliknya. Sampai tiba-tiba terdengar suara derap-derap
langkah dari luar. Seketika, aku berpaling ke arah pintu kamar. Langkah itu
terdengar menjauh, lemah dan hilang. Aku tertegun, menunggu. Kudengar lagi
suara derap-derap langkah, kali ini lebih cepat seperti orang berlari-lari
kecil. Kuikuti suara itu sampai lenyap. Lama kutunggu, tak ada suara lagi. Baru
saja hendak memalingkan muka, kudengar suara derap yang lain. Langkah yang
pelan tapi ramai. Aku menebak ada lebih dari dua pasang kaki di luar sana. Baru
aku menyadari bahwa tempo detak jantungku mengikuti setiap bunyi derap yang
masuk ke kuping. Semakin dekat semakin berdegup, begitu terasa mencengkeram ketika
langkah itu tepat berada di depan pintu, melandai seiring langkah menjauh. Aku
meniup napas panjang-panjang.
“Lihat apa sih ?,” tahu-tahu Ayu sudah berjongkok
persis di belakangku. Darahku mendidih. Aku berputar, ia sudah berpindah ke atas
kasur.
“Sekarang ?,” tanya Ayu.
Aku menegang. Ia duduk
menyandar dinding, rambut basah menjuntai menutup dada, tangan terkulai, kaki
terjulur sampai kedua tumitnya bertumpu pada pahaku. Wajahku memanas.
“Ayo…,” ajaknya dengan
lembut.
Napasku tak beraturan.
“Mas ?”
Aku mesam-mesem.
“Mau enggak nih ?,” Ayu menyibak rambut yang
menutupi gundukan dadanya.
Aku tersenyum dalam
tekanan.
Dari dalam perut, aku
merasa ada sesuatu yang mendesak. Bergelombang, mendorong-dorong, menusuk dada.
Tersangkut di kerongkongan. Dan termuntahlah :
“Saya mandi dulu ya ?,”
sebaris kalimat yang aku sendiri tak tahu datang dari mana dan bagaimana bisa
aku mengucapkannya.
Ayu terkikik dalam sikap
tak habis pikir; kepala menunduk dengan tangan menopang dahi sembari geleng-geleng.
Bahunya naik-turun seirama tawa. Tanpa menunggu persetujuannya, aku mencoba
berdiri. Anggun kuangkat kedua tumit Ayu menjauh dari pahaku. Seseret demi
seseret aku menuju pintu kamar mandi. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke
belakang.
“Di dalam tak ada
gantungan,” cegah Ayu. Aku berhenti dan berusaha untuk tetap memunggunginya.
“Gantung saja di situ,”
lanjutnya. Kali ini aku terpaksa berbalik untuk mencari ke mana jari Ayu
menunjuk. Aku maju tiga langkah, mendekati sebuah gantungan yang bertengger di
atas keranjang tempat pakaian Ayu tadi mendarat.
Lamban aku menarik kaos.
Aku tak tahu pasti mana yang menyebabkan gerakanku sampai jadi terbata-bata seperti
ini; apakah ragu atau malu. Kaos lepas, kugantung. Lamban kudorong celana jins.
Aku menahan pandanganku pada gantungan demi tidak bersitatap dengan Ayu yang
kusadari betul tengah mengamatiku lekat-lekat dari samping. Celana lepas,
kugantung. Ayu terkikik, bergegas aku masuk kamar mandi. Menemukan sebatang
paku menonjol di dinding kamar mandi, aku ingat ada yang tertinggal. Akupun
membuka lagi pintu sebatas cukup untuk kepala ini menjulur ke luar. Kikuk. Aku
dapati Ayu masih terkikik. Nampaknya dia langsung paham apa yang kucari.
Dilemparnya handuk yang tergeletak tak jauh dari kasur ke arahku. Sigap,
kusanggap dengan sebelah tangan dan cepat aku menarik diri kembali ke dalam
kamar mandi.
Beberapa saat hanya
kupandangi saja handuk yang melebar di pangkuanku itu. Selembar handuk yang
sama digunakan Ayu untuk menyusuti tubuh basahnya. Hidungku bertanya-tanya
apakah ada sesuatu aroma yang membekas di situ. Ah tidak ! Ini keterlaluan !,
otakku menyergah. Hidung menyerah dan kutinggal handuk itu bergantung.
Kubuka keran air sampai
penuh. Air deras meluncur ke dalam tong plastik warna biru yang isinya tinggal
separuh. Suara air bergema dua kali, di dinding tong dan di dinding kamar
mandi. Gemuruhnya cukup memenuhi seruangan kamar mandi yang lebarnya hanya
setengah rentangan tangan lebih sedikit. Kurogoh tong plastik dan menarik ke
luar sebuah gayung.
Gamang. Kutilik-tilik
gayung itu sambil memikirkan apa sebenarnya yang akan kulakukan. Mau mandi, tak
ada niatan mandi. Mau tak jadi, sudah terlanjur di kamar mandi. Jadi mandi,
terus mau apa setelah mandi ?.
Bingung. Namun tetap
kuayunkan juga gayung itu. Menumpahkan air ke badan dengan hampa.
Byuuur…
Byuuur…
Byuuur…
Begitu saja.
Aku berhentipun, begitu saja. Ada yang buat tak nyaman. Kulempar gayung itu ke dalam tong. Dia terombang-ambing, bentur sana-bentur sini, berputar mengitari cucuran air dari keran yang menderas. Resah. Kuperhatikan air keran yang memancar kuat, sambil mengatur napas. Berkali-kali aku menyeka air di wajah yang bercucuran dari ujung-ujung rambut. Keran kumatikan. Si gayung masih berputar, namun dengan lebih tenang sampai akhirnya berhenti sama sekali. Hening.
Handuk menyusur dari
rambut, muka, telinga, leher sampai ke setiap sela. Handuk sama yang dipakai
Ayu, otakku mengingatkan. Kulitku tiba-tiba menghangat. Menghanduki badan
rasanya tak pernah semenghayati ini. Merasa cukup kering, kusarungkan handuk,
dengan jemari kusisir ke belakang rambutku. Kuatur napas benar-benar dan pintu
kubuka. Mantap.
Aku disambut oleh sebuah
sinar yang menyorot wajahku. Kesilauan, serta merta aku mengangkat tangan kanan
untuk melindungi mata. Aku mencoba mengintip dari bawah punggung telapak tangan
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku melihat beberapa sosok tengah
berdiri menghadang, ada yang tak beres. Seseorang dari mereka berjalan
menghampiri, aku hendak mundur dari bibir pintu kamar mandi tetapi cepat ia
meraih tanganku yang sedang menghalau cahaya dan menariknya dengan kasar. Aku
keluar kamar mandi dengan terhuyung. Hampir saja melorot sarung handukku,
cekatan tangan kiri menggapai pinggang, menahan lipatan handuk. Sinar itu kini
langsung menerpa wajah, aku membuang muka dengan mata terpecing. Tanganku terus
ditarik. Sekilas aku melirik ke kasur, Ayu entah ke mana. Seseorang yang lain
mendorong-dorong punggungku, sama kasarnya.
Aku dibawa ke luar kamar
kemudian didorong agar berdiri tegak merapat ke dinding. Dalam kekagetan yang
belum reda, aku menurut dengan tangan kiri tetap memegang lipatan handuk di
pinggang, erat-erat. Sorot sinar berlalu. Aku mengedip-kedipkan mata, mencoba
mendapatkan kembali fokus penglihatan. Perlahan sosok di hadapanku mulai hadir
dalam garis yang tegas. Seorang pria berwajah menantang, menentang mataku.
Mulutnya membuka-tutup dengan cepat, sepertinya ia sedang berbicara atau
mungkin lebih dari itu, berteriak-teriak kepadaku. Entahlah, aku tak dapat
mendengar suaranya. Sekali, dua kali, tiga kali ia menampar-nampar pipiku,
mencoba mendapatkan perhatian dariku yang terbengong-bengong. Ruh-ku belum
hadir seutuhnya, sebagian masih lari dan bersembunyi saking kagetnya.
Linglung. Yang kudengar
hanya lorong ini yang menjadi gaduh. Sangat gaduh. Aku menoleh ke kanan. Seorang
laki-laki paruh baya tengah ditarik paksa oleh dua pria yang lebih muda untuk
keluar dari kamar. Seorang wanita terlihat sedang beradu mulut dengan tiga
lelaki yang mengerumuninya. Aku tak bisa menangkap apa yang terlontar dari
mulut wanita itu, tapi dari ekspresinya yang memancarkan kemarahan, sudah
kupastikan itu adalah umpatan. Aku menoleh ke kiri. Seorang perempuan sedang
berjongkok, menangis sesenggukan. Dibantu agar berdiri oleh pria di hadapannya,
perempuan itu menolak. Ada juga seorang lelaki yang menarik kerah jaketnya
tinggi-tinggi sampai menutupi muka. Seseorang di sampingnya mencoba
menarik-narik ke bawah jaket lelaki itu, mungkin supaya kamera yang menodong
persis di depan muka si lelaki dapat menembak dengan jelas seperti apa rupanya.
Kamera dengan sorot lampunya yang menyilaukan itu.
No comments:
Post a Comment