Sutradara : DarrenAronofsky
Pemain : Sean Gullete, MarkMargolis, Ben Shenkman, Pamela Hart
Rumah Produksi : Protozoa
Pictures
Tahun Tayang : 1998
Durasi : 84 menit
Awalnya saya tidak
terpikir untuk membuat resensi film π (baca: “Pi”,
sebuah konstanta dalam matematika). Namun obrolan dengan seorang mitra kerja di
suatu sore lepas jam kantor membawa saya kepada film ini. Mitra saya tersebut
menceritakan kepada saya mengenai prediksi terjadinya hari kiamat yang ia dapat
keterangannya dari seorang ustadz pada sebuah pengajian. Dengan memperhatikan
dalil-dalil tentang penciptaan dunia dan perbandingan kehidupan dunia sekarang
dengan akhirat, sang ustadz menyampaikan bahwa kiamat akan terjadi 1400-an tahun
pasca kenabian Muhammad SAW. Dan masa tersebut jatuh pada abad ini.
Saya akan sampaikan
ulang di sini seperti apa prediksi kiamat versi ustadz-nya mitra saya. Meskipun
anda tidak pernah mendengar langsung dari mulut mitra saya tersebut, saya
pastikan bahwa yang saya utarakan ini mungkin sedikit berbeda dengannya, tentu
saja hal ini karena sudah ada unsur pemahaman dan interprestasi saya sendiri di
dalamnya.
Baiklah begini :
Keyakinan umum umat
Islam menyebutkan bahwa alam semesta dan bumi ini selesai diciptakan pada hari
Jumat dan Allah akan menghancurkannya secara total juga pada hari itu. Artinya,
umur hidup dunia itu sebetulnya tidak lebih dari seminggu saja (dari Jumat ke
Kamis). Sebuah ayat mengatakan bahwa lamanya 1 (satu) hari di akhirat setara dengan
1000 (seribu) tahun lamanya di kehidupan kita. Bagi Allah, bumi kita ini hanya
berputar selama 7 (tujuh) hari, yang berarti setara dengan 7000 (tujuh ribu)
tahun bagi kita.
Nah, sekarang mari kita
mulai berhitung. Jarak manusia pertama, Nabi Adam AS ke Nabi Isa AS ialah ±
4000 (empat ribu) tahun. Selama masa tersebut sempat terjadi jeda, yakni hampir
lenyapnya seluruh peradaban manusia dan kehidupan di bumi akibat banjir dahsyat
pada zaman Nabi Nuh AS. Pasca banjir, Nabi Nuh beserta segelintir kaumnya yang
diselamatkan Allah SWT memulai kembali peradaban manusia dari sangat awal
sekali. Dengan demikian, bisa dikatakan peradaban manusia kembali ke titik 0
(nol) tahun pada masa tersebut. Jadi, ada “masa yang hilang” di sini dalam
menghitung umur manusia di bumi. Agar mudah menghitungnya, anggap saja masa
yang hilang tersebut lamanya ± 1000 (seribu) tahun sesuai dengan usia Nabi Nuh
AS. Sampai sini total masa dari Nabi Adam ke Nabi Isa ialah ± 5000 (lima ribu)
tahun. Kemudian dari Nabi Isa AS sampai Nabi Muhammad SAW lamanya ± 600 (enam
ratus) tahun.
“Sampai zaman Nabi
Muhammad, berapa perkiraan usia bumi kita ?.” ± 5600 tahun
“Berapa asumsi umur bumi
?.” ± 7000 tahun
“Jadi berapa tahun
perkiraan sisa usia bumi dari Nabi Muhammad sampai terjadinya kiamat ?.” 7000 – 5600 = ± 1400 tahun
“Jika benar demikian,
kapan genap 7000 tahun usia kehidupan dunia tersebut ?.” Abad ini. Bila merujuk
kalender Hijriah, per tulisan ini dibuat kita sudah berada pada tahun ke 1437.
Batas maksimum ialah tahun 1499 yang dalam hitungan kalender Masehi sama dengan
tahun 2077.
Oke, kita berhenti
sampai di situ saja. Tidak perlu dipikir-pikirkan kelogisannya apa lagi sampai
diperdebatkan panjang lebar. Selain karena kepastian hari kiamat itu pada
ujungnya ialah sesuatu yang tidak pasti, entah kapan terjadi dan kita cukup
mengimaninya saja bahwa ia pasti terjadi. Pun karena bukan hal tersebut yang
menjadi tujuan dan inti dari tulisan ini.
Upaya meng-angka-kan
suatu objek, lalu kemudian menghitungnya untuk menakar atau memperkirakan sesuatu,
seperti yang dilakukan oleh ustadznya mitra saya adalah hal yang menjadi cerita
utama Film Pi. Di awal film, kita langsung disuguhi oleh pemikiran Max Cohen
(Sean Gullete) mengenai hubungan antara angka, matematika dan alam. Ia
berasumsi :
1. Mathematic is a
language of nature (Matematika
adalah bahasa alam)
2. Everything around
us can be represented and understood from numbers (Segala hal di sekeliling kita dapat dinyatakan dan
dipahami melalui bilangan-bilangan)
3. If you graph the
numbers in any system, patterns emerge. Therefore there are patterns everywhere
in nature (Jika anda menggambar
bilangan-bilangan tersebut dalam sistem apapun, muncullah pola. Oleh karena itu
ada banyak pola di alam ini)
Memegang asumsi
tersebut, Max Cohen mencoba menganalisa semesta bursa saham. Max percaya bahwa
bursa saham yang merupakan representasi dari keseluruhan dunia ekonomi bisa
dipahami oleh logika matematika dan oleh karenanya dapat diprediksi secara
akurat.
Max sendiri ialah
seorang pengangguran terdidik. Saya katakan pengangguran karena tidak
ditunjukkan sama sekali apa kegiatan Max yang menjadi sumber penghasilannya.
Terdidik saya simpulkan dari pertemanan Max dengan Sole Robeson (Mark Margolis)
yang nampak tidak sekedar seorang teman, lebih dari itu, ia adalah seorang mentor (mungkin
dulunya dosen Max di perkuliahan). Sole tidak hanya guru bagi Max namun juga
bagi para penonton. Dari mulutnya, terujar kisah-kisah menarik mengenai
matematika dan kehidupan, misalnya ketika ia bercerita tentang Archimides dan
filosofi catur Jepang (catur Go).
Tentu kita tidak hanya
menyaksikan kegilaan seorang maniak matematika mengotak-atik jutaan kombinasi
angka yang terpapar di papan bursa saham. Dalam suatu kesempatan, secara tidak
sengaja Max bertemu dengan Lenny Meyer (Ben Shenkman), seorang Yahudi Hasidik
yang kebetulan juga penggila angka. Lenny mengajak Max untuk membantunya dalam
memecah misteri kitab Taurat yang tengah ia teliti. Awalnya Max tidak tertarik,
namun setelah Lenny mempresentasikan keunikan huruf Hebrew yang segera
ditangkap Max memiliki kemiripan dengan deret Fibonacci, Max pun terjun
terlibat.
Di lain kesempatan Max
terpaksa berjumpa dengan Marcy Dawson (Pamela Hart) yang terus mengejarnya dari
awal cerita. Marcy yang merupakan utusan dari sebuah perusahaan menawarkan Max
sebuah chip computer bernama “Ming Mecca.” Entah apa sebenarnya chip itu, namun
yang pasti chip itu sangat hebat dan berharga hingga Max tak kuasa menolak
tawaran tersebut. Marcy tidak memberikan chip itu cuma-cuma, ia meminta imbalan
kepada Max berupa angka-angka prediksi untuk perusahaannya di bursa saham.
Max yang sudah pusing
dengan penelitiannya sendiri akhirnya lalai baik dengan keterlibatannya di
proyek Lenny maupun tuntutan imbalan dari Marcy. Hal berikutnya yang terjadi
ialah Max diburu oleh kedua pihak tersebut.
Cerita Pi disajikan
dalam layar hitam putih gaya film-film jaman dulu. Dilatari tata suara dan
musik yang selaras, membuat film ini tidak hanya bisa dinikmati jalan ceritanya
melainkan juga cara penampilannya. Sepanjang film sempat muncul beberapa tokoh
lain seperti Davi, seorang wanita muda tetangga apartemen Max yang nampak
menyukainya atau pria tua misterius yang kerap Max temui saat berada di kereta
bawah tanah. Kedua tokoh ini selain menguatkan karakter peran Max sebagai
seorang pintar tapi “aneh” yang tidak peduli apa-apa selain penelitiannya
sendiri. Di sisi lain juga cukup mengundang pertanyaan; “Apakah mereka akan
ikut menjadi bagian penting, bagian utama dalam kisah penelitian Max ?.”
Lalu bagaimana dengan hasil penelurusan Max ?. Apakah ia berhasil menemukan pola baku yang dapat memetakan dunia saham ?. Ya, Max menemukannya. Pola tersebut ada pada sebuah deret yang terdiri dari 216 angka. Sederet angka yang begitu sakti, yang demi menemukannya, Sole sampai-sampai meregang nyawa. Lanjut kemudian disusul oleh Max sendiri.
"Now, what is the moral of this story ?," tanya Sole pada salah satu adegan.
Apa sih yang ingin disampaikan Darren Aronofsky selaku arsitektur film ini pada kita ?. Jawabannya ada pada akhir film ini. Sederhana saja, film ini hanya mencoba menunjukkan kepada kita; bahwa dalam banyak hal, kerap kali yang terbaik ialah menjadi "bodoh" saja. Seorang stand up comedian yang saya tonton aksinya di youtube.com (sayang, saya lupa siapa), mengatakan; "Hidup itu untuk dijalani, bukan untuk dipikirkan." Just make it simple.
-FIN-
No comments:
Post a Comment