Friday, October 8, 2010

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI DI MASA KHILAFAH ISLAM


Tulisan ini seutuhnya diambil dari artikel berjudul “Merintis Kajian Psikologi” (penulis : Yusuf Assidiq) yang dimuat pada rubrik Khazanah, surat kabar Republika edisi Rabu, 6 Oktober 2010. Pada beberapa bagian, Tulas-Tulis memberikan sedikit catatan tambahan, yakni pada bagian-bagian yang ditulis dengan cetak miring dan diarsir warna putih. Di akhir tulisan, juga akan dicantumkan sumber-sumber rujukan yang digunakan untuk catatan tambahan tersebut. Semoga modifikasi tersebut akan membuat artikel ini semakin bermanfaat. Selamat menyimak.

Rahasia jiwa mengantarkan manusia kepada sebuah pengetahuan. Minat yang besar terhadap jiwa juga berkembang di dunia Islam. Yang pada akhirnya, ilmu tersebut populer dengan nama psikologi, yang berasal dari bahasa Yunani. Psikologi bermakna ilmu yang mempelajari tentang jiwa.

Dalam perkembangannya, definisi mengenai ilmu tentang jiwa mulai ditinggalkan bahkan tidak dipakai lagi sama sekali. Di era modern, para ahli lebih menitikberatkan kajian psikologi pada sesuatu yang dapat diamati secara riil (observable) dan bisa diteliti secara objektif, yakni perilaku (behaviour), dari pada berpegang pada konsep yang amat abstrak dan kontroversi seperti jiwa. Atkinson dan kawan-kawan, dalam buku Pengantar Psikologi mendefinisikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Merujuk kepada Altman dan Taylor, perilaku memiliki dua bentuk; 1) perilaku kasat mata (overt behaviour), dan 2) perilaku mental/tak kasat mata (covert behaviour). Antara kedua bentuk perilaku tersebut saling berhubungan dan beriringan, misalnya saat seorang pemain sepak bola menendang (perilaku overt), ia juga mengukur secara mental akan ke arah mana bola itu ditendangnya (perilaku covert). Dari definisi Atkinson tersebut juga dapat terlihat bahwa dalam mempelajari perilaku manusia itu tidak bisa terlepas dari pengetahuan mengenai dalam konteks apa perilaku tertentu muncul. Lingkungan di sini bermakna luas, bisa benda, situasi, orang lain, tontonan dan lain-lain, secara garis besar ialah segala yang individu berada dalam lingkupnya. Menurut Byrne dan Brown dalam buku Psikologi Sosial, lingkungan tersebut tidak harus selalu bersifat secara nyata hadir di hadapan individu, ia juga dapat hadir secara imajiner di dalam pikiran dan perasaan seseorang.

Ilmu ini terus mengalami perkembangan. Salah satu penyebabnya adalah para cendekiawan Muslim yang memandang psikologi atau ilm an-nafsiat sebagai disiplin ilmu yang penting. Bahkan, mereka melangkah lebih jauh dengan mengembangkan tentang pengobatan penyakit jiwa.

Tokoh Muslim legendaris Al-Kindi dikenal sebagai psikolog Muslim pertama. Sedangkan, At-Tabari merupakan sosok yang merintis psikoterapi. Bahkan, langkah At-Tabari ini diiringi dengan pembukaan fasilitas di rumah sakit yang menangani psikoterapi. Selanjutnya, keberadaan fasilitas itu menjadi model.

Al-Kindi, psikolog Muslim pertama.

Literatur psikologi Islam mengistilahkan jiwa dengan an-nafs atau ar-ruh. Kajian ini juga mencakup hal yang berkaitan dengan intelektual (al-aql), hati (qalb), serta kehendak (iradah). Semua itu dianggap sebagai aspek utama pada perialu kejiwaan manusia dalam membentuk kualitas diri demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di dalam Al-Quran, Allah menyebut manusia dengan panggilan yang berbeda-beda. Ada basyar, yang melihat manusia sebagai makhluk biologis semata; butuh tidur, butuh makan, butuh seks dan lain-lain. Ada An-naas, yang melihat manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang butuh untuk berhubungan dengan orang lain. Ada insan, yang melihat manusia sebagai makhluk yang dapat mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Ketika Al-Quran menyebut nafs, ketiga pengertian tersebut tercakup di dalamnya; basyar, an-naas dan insan. Fazlur Rahman menyatakan bahwa nafs merupakan gabungan antara unsur fisik (jasmani) dan unsur psikis (ruhani) manusia. Pada kata nafs, manusia dipandang sebagai suatu totalitas, yakni kesatuan psiko-fisik. Pembagian struktur nafs ke dalam tiga elemen (akal, hati, kehendak) juga diikuti oleh aliran materialisme. Ludwig Feueurbach menyatakan bahwa hakekatnya manusia itu terdiri dari tiga fakultas yakni reason (akal budi), heart (perasaan) dan kehendak (will). Hakekat tujuan hidup manusia ialah untuk mengoptimalkan ketiga fakultas tersebut. Di ranah psikologi modern, pandangan mengenai tiga struktur ini mirip dengan bunyi teori sikap (attitude). Di dalam teori tersebut, sikap dirumuskan sebagai hasil gabungan dari kognisi (aql/reason), afeksi (qalb/heart) dan konasi (iradah/will). Menurut Allport, sikap seseorang terhadap suatu objek merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku.

          Berbeda dengan cendekiawan Barat, konsep psikologi yang dikembangkan Islam sangat menekankan hakikat ilahiyah. Seluruh unsur kejiwaan, seperti moral, fitrah, dan spiritualitas, harus berada pada koridor nilai-nilai Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW.
          Calvin S Hall dan Gardner Lindzey dalam bukunya Teori-teori Psikodinamik mengatakan, berpijak pada hal-hal yang disebutkan di atas, sumbangsih para sufi tak bisa dinafikan dalam pengembangan psikologi di kalangan umat Islam. Dalam beberapa hal, mereka telah bertindak sebagai psikolog terapan.
          Hall dan Lindzey melihat adanya benang merah antara psikologi dan tasawuf. “Tasawuf merupakan dimensi esoteris, atau batiniah dalam Islam, yang mengurai struktur jiwa, penyakit jiwa, dan terapinya, serta proses penyucian jiwa dan cara menjaga kesehatan mental,” papar mereka.
          Dalam pemikiran psikologi yang berkembang di kalangan kaum sufi, dinyatakan bahwa an-nafs berada pada tingkatan paling dasar dalam diri manusia. Di atasnya terdapat qalb dan ar-ruh. Ketiganya adalah pondasi mental spiritual. Tokoh sufi terkemuka yang berkontribusi dalam psikologi adalah Ja’far As-sadiq (702-765 M).
          Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Muhammad as-Sadiq. Dia lahir di Madinah dan sangat dihormati oleh semua kalangan. Kepakarannya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu agama serta ilmu sains. Ia memandang bahwa nafs bisa menghadirkan sifat zalim. Sedangkan qalb mengarah pada unsur moderat atau muqtasid, dan ar-ruh mengacu pada Sang Maha Kuasa (sabiq). As-Sadiq menjelaskan, sifat zalim membuat seseorang menyembah Tuhan demi Kepentingan diri sendiri. Melalui unsur muqtasid, seseorang mencinta Tuhan dengan hati.
          Sementara itu, keberadaan sabiq membimbing orang untuk mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Konsep yang diletakkan As-Sadiq, diikuti oleh al-Bistami, Hakim at-Tirmidzi, dan Ibnu Junayd. Psikolog lainnya, al-Kharraz lantas menambahkan elemen baru, yakni tab’, atau fungsi alamiah manusia.
          Kaum sufi sering menyertakan pula aspek sirr, bagian dari jiwa yang berisi pengalaman ruhaniah. Di sisi lain, as-Sadiq menuturkan bahwa aql merupakan benteng dari penyimpangan nafs dan qalb. Dengan benteng ini, insting terendah manusia tak akan mampu mengganggu kemurnian jiwa.

Bandingkan pendapat as-Sadiq ini dengan teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Ego (aql menurut Sadiq) merupakan jembatan rasional yang akan memediasi keinginan instingtif yang dibawa oleh Id (nafs menurut Sadiq) dan penilaian salah-benar dari Superego (qalb menurut Sadiq). Freud menyatakan bahwa orang yang sehat jiwanya ialah orang yang Ego-nya mengambil kontrol, sehingga terjadi keseimbangan antara terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan tuntutan diri untuk selalu bertindak dengan benar.

          Para filsuf Muslim pun terjun dalam pemikiran psikologi. Mereka tentu memiliki cara pandangnya sendiri. Dalam karyanya, mereka menulis metode terapi kejiwaan dan mental. Al-Kindi, figur yang menguasai beragam ilmu pengetahuan, merupakan salah satu aktor penting yang mengembangkan psikologi di kalangan filsuf. Karya fenomelanya yang berjudul First Philosophy berisi telaah tentang penyebab gangguan jiwa, antara lain rasa sedih dan putus asa. Tetapi, dia berpendapat masalah kejiwaan itu dapat dipulihkan kembali melalui metode terapi yang tepat. Dia juga menggarisbawahi bahwa gangguan jiwa bisa dialami siapapun.
          Ikhwan as-Safa, kelompok persaudaraan para filsuf dan pemikir yang ada pada abad ke-10, juga membicarakan tentang jiwa, otak, dan pikiran. Mereka mempunyai pandangan berbeda dengan filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, yang menempatkan hati sebagai organ paling utama. Ikhwan as-Safa memandang, otaklah yang merupakan organ paling vital. Sebab, otak bertanggung jawab atas berfungsinya aspek persepsi maupun pemikiran seseorang. Sementara itu, dokter Muslim an-Nasyaburi (wafat 1016M) menulis buku Kitab Al-Uqala Al-Majnin.
          Ia mencantumkan isitlah mahwus untuk pasien yang mengalami delusi dan halusinasi. Ia memaparkan secara filosofis fenomena kemarahan dan kelakuan yang kurang waras. Menurut dia, kehidupan adalah semacam percampuran antara unsur yang saling berlawanan, seperti sehat dan penyakit. Literatur filsafat yang lain, yakni Tahdzib al-Akhlaq, yang disusun Ibnu Miskawayh (941-1030M). Ia menuliskan soal ketakutan dan kematian, serta konsep-konsep moral. Termasuk menekankan pada kegiatan filantropis, bisa melalui derma atau menunaikan kewajiban zakat untuk membersihkan harta.
          Begitu pula cendekiawan legendaris al-Ghazali (1058-1111M), yang berbicara mengenai hakikat diri serta penyebab penderitaan atau kebahagiaan. Dia memaparkan isitlah qalb (hati), ruh, nafs (jiwa), dan aql (intelektualitas). Al-Ghazali yang di dunia Barat dikenal dengan nama Algazel berkata ada dua jenis penyakit, yakni fisik dan spiritual.
          Penyakit spiritual dinilai paling berbahaya karena bisa menjauhkan seseorang dari Sang Pencipta. Untuk menangani penyakit ini, al-Ghazali mengajukan konsep terapi berlawanan, misalnya, ketidakacuhan dengan pengajaran atau benci dengan cinta.          

Sumber catatan tambahan :
Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan. Fazlur Rahman.
Pengantar Psikologi. Atkinson dkk.
Pengantar Psikologi Sosial. Dan Brown dan Robert Byrne.
Teori-teori Psikodinamik. Calvin S Hall dan Gardner Lindzey.

3 comments:

  1. Kang ihsan, nuhun pisan lho, tulisannya mencerahkan untuk kembali merenungi ke-psikologi-an ku.
    Terlalu banyak berkecimpung di dunia praktis terkadang terlena oleh rutinitas yang "mematikan".

    ReplyDelete
  2. Hatur nuhun atas kunjungannya Kang Yuki. Ditunggu sharing-nya tentang psikologi dan Islam.

    ReplyDelete
  3. saya lagi mau cari tokoh-tokoh psikologi islam....selama ini kita cenderung berkiblat ketokoh negara bule...padahal diIslam sendiri tentunya ada...

    ReplyDelete