Judul : Cinta yang Terlambat
Penulis : Dr. Ikram Abidi
Jenis : Novel Romantis
Tebal : 523 halaman
Penerbit : Pustaka Hidayah
Tahun Terbit : 2004
Sebagian orang percaya bahwa cinta sudah ditentukan oleh Tuhan jauh sebelum kita lahir. Dia pertemukan dan ikatkan kita dengan seseorang di alam pra-lahir sana. Kemudian, ketika lahir ke alam dunia dan terpisah, masing-masing saling mencari satu sama lain. Tak aneh, sering kali orang memiliki perasaan ‘sepertinya saya sudah pernah mengenal dia sebelumnya’ ketika bertemu dengan jodohnya.
Bagaimana cinta tumbuh dan terbentuk, dalam novel ini, diceritakan sedemikian kilat. Bayangkan saja, Aariz baru bertemu dengan Komal untuk pertama kalinya dalam sebuah acara pernikahan dan di sini keduanya hanya bicara basa-basi saja. Pada pertemuan kedua, Aariz langsung membuka cerita-cerita pribadinya kepada Komal. Di pertemuan ketiga, selain Komal balas bercerita tentang diri pribadinya, mereka berdua juga menyatakan saling mencintai dan sepakat untuk segera menikah. Sungguh kilat, hanya melalui tiga kali tatap muka dalam waktu seminggu.
Baru kemudian satu demi satu masalah bermunculan, mulai dari perbedaan paham agama (madzhab), Komal yang ternyata sudah dijodohkan sampai pernikahan dadakan yang harus dilakukan Aariz dengan sepupu jauhnya, Zeest. Sebagaimana proses pembentukan cinta antara Aariz dan Komal, kemunculan masalah-masalah tersebut dikisahkan tak kalah kilatnya dan begitu bertubi-tubi.
Mereka sama-sama Muslim ! Oh, itu bukanlah satu-satunya hal yang penting !
Ketika memasuki bagian penentangan dari kedua belah keluarga mengenai rencana pernikahan antara Aariz dan Komal karena alasan beda aliran agama, saya jadi teringat akan cerita orang tua saya. Dulu, katanya, di lingkungan tempat tinggal kami ada seorang pendeta dari jemaat gereja tertentu yang menikah dengan wanita dari jemaat yang berbeda. Sebuah pernikahan yang menghasilkan dilemparinya rumah si pendeta oleh orang-orang dari jemaatnya sendiri. Dan jadi ingat juga saya akan salah satu episode film kartun serial The Simpsons yang menceritakan konflik keluarga karena Bart memutuskan menjadi seorang Katolik padahal keluarga Simpson adalah penganut Protestan. Novel ini mengingatkan bahwa munculnya konflik keluarga atau – lebih luas lagi – sosial tidak selalu muncul dari dua kubu agama yang jelas-jelas identitasnya berbeda. Aariz ialah seorang syi’ah dan Komal seorang sunni, sama-sama Islam namun berbeda dalam banyak hal. Bukanlah satu hal yang mudah saat keduanya berencana untuk bersatu dalam pernikahan. Baik keluarga Aariz maupun Komal menentang keras, padahal di sini mereka diceritakan sebagai keluarga-keluarga moderat bahkan sebenarnya tidak taat agama sama sekali. Situasi semakin sulit karena di Pakistan perselisihan antara kaum syi’ah vs sunni sudah sampai taraf saling serang dan bunuh.
Sering kali kehidupan menuntut kita untuk berkompromi. Tidak hanya berkompromi tentang cita-cita, karir, pendidikan, bahkan dalam cintapun kadang kita perlu berkompromi.
Aariz dan Komal sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan aliran. Mereka bertekad untuk menikah di pengadilan, meski tanpa persetujuan orang tua. Namun takdir berkata lain, suatu hari salah seorang paman jauh Aariz dari pihak ibu dikabarkan tengah sekarat. Ia pun pergi mengantarkan ibunya untuk menjenguk. Ajal benar-benar sudah di depan mata dan di sisi lain si paman memiliki satu orang gadis, anak satu-satunya. Keinginannya yang terakhir ialah dapat melihat anaknya menikah, bersuami, sehingga ia tidak perlu cemas akan bagaimana kelanjutan hidup anak gadisnya itu. Nyonya Ali yang secara kebetulan mengajak anaknya (Aariz), tidak pikir panjang lagi, ia segera memaksa Aariz untuk menikah dengan putri paman, Zeest. Ini bukan hanya pernikahan dadakan, tapi juga paksaan. Akad nikah berjalan lancar, segera setelah itu paman berpulang dengan damai. Adapun Aariz menatap realita hidupnya yang berubah sedemikian cepat dengan jijik. Ia merasa ibunya dan Zeest adalah perusak segala rencana indahnya dengan Komal.
Sebagian orang berharap dapat menikah dengan laki-laki yang mereka cintai. Doaku sedikit berbeda, aku dengan rendah hati memohon kepada Tuhan agar aku mencintai laki-laki yang aku nikahi.
Walau berstatus sebagai suami Zeest, Aariz tetap menjaga hubungan cintanya dengan Komal. Melalui hubungan segi tiga ini, kita selanjutnya dihadapkan pada dua persoalan mendasar mengenai konsep pernikahan bahagia; 1) apakah yang terbaik itu ialah menikah setelah kita yakin telah menemukan cinta sejati kita ?, atau 2) Tidak penting apakah kita merasa yakin atau tidak dengan orang yang kita nikahi, karena cinta itu seperti pepatah Jawa bilang; witting tresno jalaran soko kulino. Hubungan Aariz dengan Komal mencerminkan pandangan yang pertama, idealnya kita menikahi orang yang kita cintai. Sedang hubungan Zeest dengan Aariz mewakili opini yang kedua, cinta itu ialah akibat bukan sebab, meski tak cinta pada awalnya tapi kalau sudah menikah maka sejalan waktu rasa cinta nantinya akan tumbuh dengan sendirinya.
* * *
Secara kualitas cerita, ketika membaca Cinta yang Terlambat, di hadapan saya seolah-seolah sedang diputar sebuah film cinta India atau sinetron Indonesia. Menurut penilaian saya, banyak segi cerita yang sulit dicerna akal dan terlalu didramatisir.
Dari segi penulisan, bagi mereka yang kurang suka dengan jenis novel-novel romantis mungkin akan merasa lelah dalam membaca novel ini. Lelah dengan begitu banyaknya kalimat-kalimat “gombal”, terutama di awal dan di akhir buku. Untuk bagian akhir buku, di sini secara panjang lebar, Dr. Ikram Abidi menggambarkan aksi malam pengantin Aariz dan Zeest.
Menurut hemat saya, pembaca harus berhati-hati dalam mencerna dan memaknai isi kandungan novel ini, khususnya untuk tokoh Zeest. Saya khawatir jika banyak dari pembaca novel ini yang menjadikan tokoh Zeest sebagai representasi dari sosok istri yang shalehah. Lewat tokoh Zeest tampil kesan bila istri yang shalehah itu ialah istri yang pasif dan defensif, terima-terima saja walaupun suami melakukan kekerasan-kekerasan terhadapnya. Tindak kasar dan tidak menghormati dari suami ditelan begitu saja, tidak dianggap suatu hal yang luar biasa, atas nama kesabaran. Apakah memang seperti itu Islam mengajarkan ? Kalau saya berpendapat tidak demikian, justru Islam mendorong para istri untuk bisa mensejajarkan posisinya dengan suami sebagai pendamping hidup. Tapi entahlah jika maksud Dr. Ikram Abidi dengan mengangkat tokoh Zeest itu adalah sebagai representasi muslimah syi’ah, tidak menunjuk kepada kaum muslimah secara global.
Dalam membaca novel ini kiranya pembaca sedikit banyak mesti tahu mengenai perbedaan antara sunni dan syi’ah, sehingga dapat memahami mengapa hal ini menjadi masalah yang amat krusial. Karena persoalan sunni dan syi’ah itu tidak sebatas saya usholli sedang dia tidak, atau dia tahlilan dan saya tidak. Lebih dari itu, perbedaan antara sunni dan syi’ah menyentuh prinsip-prinsip dasar Agama Islam.
Novel yang sarat makna. Jika dikuliti, banyak hal yang dapat kita angkat untuk dijadikan bahan diskusi di forum-forum, pengajian-pengajian, di kelas-kelas atau sekadar bahan obrolan biasa tapi berbobot. Tentang apakah kalimat pernyataan perceraian itu harus selalu diungkapkan secara gamblang ‘aku ceraikan kamu’ atau tidak ? Bagaimana hukumnya secara agama bila seorang istri selama bertahun-tahun ditinggal suami tanpa ada kabar ? Sampai batas mana seorang anak dikatakan sebagai anak yang durhaka pada orang tua ? dan masih banyak persoalan lagi. Nilai positif lainnya ialah di novel ini, Dr.Ikram Abidi mengajak kita untuk melihat mana yang lebih baik dan unggul; wanita yang menutup aurat sesuai ketentuan agama Islam atau mereka kaum liberal yang memandang aturan jilbab (hijab) sebagai pengungkung kebabasan wanita ?
mau donk beli novel'a,,, ada yg jual kah???
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete