Judul : Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Tebal : 271 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan ke-13, 2007Seakan tidak ada aturan sama sekali di SD Tomoe Gakuen. Di sana siswa berangkat sekolah dengan baju bebas, siswa boleh menentukan tempat duduknya sesuka hati dan berpindah-pindah setiap waktunya, urutan jadwal pelajaran juga siswa yang menentukan hingga meski sekelas tiap siswa punya kegiatan belajar sendiri-sendiri, di waktu kosong siswa dapat berjalan-jalan semaunya sampai jam sekolah usai, kepala sekolah begitu terbuka dengan usul para siswa lantas mengabulkan keinginan-keinginan mereka dan seterusnya. Bahkan di sekolah ini, siswa baik laki-laki atau perempuan bebas dan terbiasa berenang dengan telanjang bulat !. Kesannya sungguh liar bersekolah di sini. Belum lagi jika mempertimbangkan bangunan sekolahnya yang tak lazim, yakni kelas-kelas dan perpustakaan bertempat di gerbong-gerbong kereta bekas.
SD Tomoe Gakuen jelas-jelas bukan sekolah konvensional, begitu pula murid-muridnya. Ada yang tidak mau diam seperti Totto-chan (mungkin Totto-chan memiliki gangguan ADHD), ada yang cacat fisik seperti Yasuaki-chan atau Takahashi, ada Tai-chan yang fisika-maniac dan lain-lain. Murid-murid yang biasanya dibeda-bedakan karena alasan “anak berkebutuhan khusus”, di Tomoe mereka belajar bersama, dalam kelas yang sama dan penanganan yang sama.
Adalah Sosaku Kobayashi, otak di balik Tomoe. Seorang kepala sekolah yang memiliki idealisme tinggi dalam mendidik. Pastinya setiap murid Tomoe waktu itu tidak akan tahu apa sebenarnya misi yang ingin dicapai oleh Pak Kobayashi. Yang mereka tahu hanyalah bersekolah di Tomoe itu luar biasa menyenangkan ! Baru setelah mereka dewasa, mereka menyadari bahwa kegilaan, ketidakumuman, kegembiraan yang mereka alami selama bersekolah di Tomoe itu bukan tanpa maksud. Akan tetapi semuanya merupakan langkah tindakan disengaja dari Pak Kobayashi yang direncakan agar murid mencapai hal tertentu, terutama di kehidupan kelak setelah anak dewasa. Itulah yang dirasakan oleh penulis buku ini sekaligus eks-murid Tomoe, Tetsuko Kuroyanagi.
Kini Tetsuko baru menyadari kenapa dulu ia tidak pernah dimarahi atau dihukum bila berulah merepotkan di sekolah dan kenapa setiap bertemu dengan Pak Kobayashi, ia selalu mengatakan bahwa dirinya adalah “anak yang benar-benar baik.” Rupanya hal itu diupayakan agar Tetsuko tidak menjadi rendah diri dan memilki self-image yang buruk, karena tentu saja di luar sekolah, orang-orang akan mencap Tetsuko sebagai anak nakal. Dan karena alasan nakal itulah, Tetsuko dikeluarkan dari sekolahnya yang pertama dan berpindah ke Tomoe Gakuen. Kini Takahashi yang lahir dengan cacat fisik baru ngeh akan manfaat renang bertelanjang bulat dan sekarang ia tahu kenapa dulu ia yang secara fisik “kalah” dari anak lain justru selalu memenangkan banyak lomba di hari olah raga sekolah. Berenang dengan telanjang bulat serta membaur dengan anak-anak lain yang fisiknya sempurna telah menyirnakan rasa malu Takahashi karena memiliki tangan-kaki-tinggi badan yang lebih pendek dari orang normal. Lomba-lomba di hari olah raga ternyata memang didesain sedemikian rupa oleh Pak Kobayashi agar bisa dengan mudah diikuti dan dimenangi oleh Takahashi. Sesuatu yang mengenyahkan rasa inferior Takahashi sebagai individu cacat.
Dalam menulis, Tetsuko juga sepertinya mengikuti cara Pak Kobayashi. Ketika kita membuka buku ini, yang kita temukan adalah kumpulan cerita pendek yang merupakan pengalaman nyata dari Tetsuko Kuroyanagi selama bersekolah di Tomoe. Totto-chan (tokoh utama dan judul buku ini) adalah nama panggilan waktu Tetsuko masih kecil. Totto-chan mengajak kita untuk menyelami pengalaman masa kecilnya di Tomoe yang penuh keceriaan. Seolah hanya berhenti sampai di situ, buku ini hanya sharing semata. Namun lebih dari itu, lewat kisah demi kisah Totto-chan sebetulnya terjadi transfer ilmu mengenai dunia pendidikan, khususnya mengenai bagaimana idealnya pendidikan dasar itu diselenggarakan. Dari Tomoe akhirnya kita belajar dan mengerti bahwa sebaik-baiknya pendidikan anak ialah yang tidak mematikan sifat atau karakter dasar anak-anak. Hal terpenting dari pendidikan ialah membiarkan seorang anak tumbuh sesuai kodratnya dan anak dapat mengembangkan kepribadiannya yang asli.
Menurut saya, bagian paling sedih dari buku ini ialah ketika Yasuaki-chan, salah satu anak cacat di Tomoe meninggal dunia, kemudian ketika diceritakan tentang perpisahan Ryo-chan (penjaga sekolah) - yang dipanggil negara untuk berperang - dengan anak-anak dan di akhir cerita, ketika Tomoe habis terbakar pada tahun 1945 akibat bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat Amerika. Sedangkan bagian paling menarik ialah justru di akhir buku, yakni ketika Tetsuko mengisahkan sudah jadi apa sekarang anak-anak yang bersekolah di Tomoe, termasuk dirinya.
Membaca buku ini membuat kita malu dalam melihat kenyataan dunia pendidikan kita sekarang ini. Paradigma yang berkembang ialah bahwa pendidikan itu demi mencetak anak pintar dan pintar itu berarti mencapai nilai tinggi di bidang-bidang akademik. Pemikiran itu merasuk ke setiap praktisi pendidikan dari tingkat pengajar sampai penentu kebijakan dan menjadi mindset mereka. Hasilnya sekolah-sekolah kini menjejali anak-anak dengan hal-hal yang sebetulnya belum waktunya diberikan. Lihat saja, di zaman sekarang anak TK sudah diajarkan operasi matematika dasar (tambah-kurang), pulang ke rumah bawa PR, harus sudah bisa baca dengan lancar, dijejali conversation bahasa Inggris dan lain-lainnya yang tidak alamiah. Lihat saja, di zaman sekarang bahkan untuk masuk SD saja ada tes seleksi akademik dan psikotes segala ! Ketika zaman sudah menuntut tinggi seperti ini, para orang tua sering kali merasa malu jika anak mereka berkembang secara apa adanya dan akibatnya ketinggalan ini-itu (aritmatika, cepat bisa baca dll) dari anak lain. Anak-anak yang jadi korban.
No comments:
Post a Comment