Thursday, December 23, 2010

RAHMI DAN OBSESI “PANGERAN NIMO”-NYA


Judul : Cintapuccino
Penulis : Icha Rahmanti
Tebal : 259 halaman
Jenis : chicklit
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : Cetakan ke-17, 2008









Lewat perbincangan kecil dengan beberapa kawan yang akan dan telah melangsungkan pernikahan, saya jadi mengerti bahwa kecemasan pra-nikah itu memang benar adanya. Munculnya bisa sejak rencana menuju pernikahan baru saja disusun, dekat-dekat ke hari pelamaran, selama masa menanti dari pasca lamaran ke hari-H pesta nikahan atau lebih gawat lagi, yakni di hari-hari menjelang akad dan resepsi. Isi kecemasan pra-nikah itu sendiri biasanya berkutat seputar pertanyaan; “Sudah siapkah saya berkeluarga ?”, dan tak jarang pertanyaan itu berujung pada kekhawatiran mengenai; “Apakah dia adalah memang orang yang tepat ? Jangan-jangan saya terburu-buru !”. Yang namanya kecemasan, kadang kala bisa tidak berdasar pada realita. Kita menjadi cemas oleh hal-hal yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. 


Meminjam istilah dari teorinya Alfred Adler, kecemasan pra-nikah ini merupakan manifestasi dari apa yang Adler sebut dengan fear of change (takut akan perubahan). Memasuki pernikahan ialah terjun ke dalam dunia yang benar-benar baru. Dalam situasi dan kondisi yang baru, seseorang tentu saja harus menyesuaikan segala perilakunya dengan peran, tuntutan dan tugas yang baru. Ini berarti ada pola-pola perilaku yang memang bisa terus dipertahankan, ada yang butuh modifikasi atau bahkan harus ditinggalkan sama sekali. Singkat kata, wajib ada perubahan !. Padahal kita sudah sangat nyaman dan terbiasa dengan pola perilaku tersebut. Dari sinilah kecemasan berasal; di satu sisi kita tidak mau meninggalkan kebiasaan dan di sisi lainnya kita takut akan akibat dari meninggalkan pola kebiasaan itu.

Cerita Cintapuccino beranjak dari masalah fear of change tersebut, yaitu ketika seorang Rahmi mendapat kabar mendadak bahwa pacarnya, Raka, benar-benar menunjukkan gelagat serius untuk menikahinya. Hanya saja kecemasan ini menjadi sangat nyata bagi Rahmi karena secara tak terduga ia bertemu kembali dengan Nimo, lelaki idamannya yang hilang kabar entah ke mana dan kini muncul kembali. Nimo bukan sekedar lelaki idaman biasa, sosoknya benar-benar telah merasuk ke dalam otak Rahmi dan hidup menjadi sebuah obsesi di sana. Adapun Raka adalah pria yang sedikit-banyak telah menolongnya untuk terus optimistis setelah Rahmi berani memutuskan keluar dari pekerjaannya yang bonafid.

Jadilah chicklit ini sebetulnya mengisahkan cerita cinta yang sungguh klasik, yakni cinta segitiga. Jika Icha Rahmanti – sang penulis – tidak pandai-pandai dalam menciptakan karakter tokoh Rahmi, menurut saya hilanglah greget dari buku ini. Di sini Rahmi secara luaran digambarkan sebagai model wanita masa kini; mandiri secara finansial, berwawasan, berpenampilan dan gaya hidup modern, berani bertindak serta oke dalam karir. Untuk memudahkan pembaca membayangkannya, di awal-awal bagian sudah disebutkan bahwa Rahmi beserta Alin (keponakannya) dicap oleh keluarga besar sebagai Gank Anak Gaul. Namun kesan wanita-masa-kini tersebut segera buyar ketika Nimo hadir. Di dalam, ternyata Rahmi seorang wanita konservatif yang amat yakin akan fatalisme cinta. Sederhananya, jodoh itu (benar-benar) secara detail telah digariskan oleh Tuhan; kamu akan menikah umur berapa, dengan siapa dan bagaimana caranya. Sampai sini Nimo bukan sebatas obsesi saja, melainkan pada beberapa bagian diceritakan juga bahwa Rahmi percaya ia telah “mendapat pertanda-pertanda dari Atas” untuk berhubungan dengan Nimo.

Dengan posisi Nimo yang sangat spesial bahkan kalau boleh saya berlebih-lebihan, Nimo itu amat-sangat-spesial-sekali, bagi Rahmi. Sampai pertengahan cerita sebenarnya ending sudah dapat diterka, Rahmi pada akhirnya akan menikah dengan Nimo. Satu lagi poin yang menunjukkan kalau cerita cinta pada chicklit ini sungguh klasik. Dalam hal ini kembali saya menilai Icha Rahmanti sebagai seorang penulis yang cerdas, karena ia menyelamatkan “kesucian” tokoh Rahmi dengan membuat bahwa tokoh Raka-lah yang akhirnya tega meninggalkan Rahmi dan bukan sebaliknya. Padahal sedari awal, Raka tampil sebagai pria sempurna, kalau kata band Changcuters: ‘cowok idola, idaman wanita’. Di sini seolah ditegaskan jika wanita itu setia, sedang pria itu “buaya”.

Kejutan beredar di seluruh cerita. Emosi pembaca juga akan dibuat naik turun. Gaya penuturannya luwes. Ketiganya bergabung dan alhasil, saya jamin anda akan sulit untuk berhenti membaca buku ini. Meski temanya klasik namun Icha Rahmanti berhasil membuat buku ini tetap menarik dan bikin pembaca gemas sendiri selama membuka-buka halaman. Meski bergenre chicklit, Cintapuccino tetap sangat mengasyikkan untuk dibaca kaum Adam. Hanya saja menurut saya agak mengecewakan ketika cerita akan mendekati akhir. Perubahan alurnya terlalu cepat, begitu pula dengan watak tokohnya. Tapi nampaknya hal itu bisa dimaklumi karena memang seperti itulah sifat buku jenis chick literature. Ini novel ringan, jika berpanjang-panjang maka bukan chicklit lagi namanya. Oh ya, satu hal lagi yang tak boleh dilupakan bila Cintapuccino adalah chicklit asli buatan Indonesia !.

2 comments:

  1. ayo kang,,coba bahas novel lainnya!!! :D

    ReplyDelete
  2. matur nuwun de' ira, segera menyusul novel2 lainnya... tunggu saja hahahahaha !!! (maap lebay)

    ReplyDelete