Di bulan Ramadhan tahun ini ayah pergi dinas ke luar kota. Tinggallah di
rumah, ibu beserta dua anaknya; yang sulung perempuan, yang bungsu laki-laki.
Selesai makan malam, seperti biasa semua anggota keluarga bergegas siap-siap
melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena ayah tak ada, mau tak mau si
bungsu maju menjadi imam. Padahal kurang apa si ibu dan kakak perempuannya. Si
bungsu barulah kelas IX SMP, sedang kakaknya telah menjadi mahasiswi jurusan
ilmu Al-Quran dan ibu seorang mubalighah
di desa. Dilihat berdasar usia, pengalaman apalagi secara level pengetahuan dan pemahaman agama maka lebih pantas ibu atau
setidaknya sang kakak perempuan yang menjadi imam. Namun hukum ialah hukum.
Meski awalnya enggan dan lebih ingin shalat sendiri-sendiri, akhirnya si bungsu
tetap memimpin makmum-makmumnya yang lebih senior dan andal tersebut. Pada
pelaksanaannya, beberapa kali imam dikoreksi ibu dan kakak, ada bacaan-bacaan
surat yang ia lupa dan tertukar-tukar. Bahkan di empat rakaat yang kedua, si
bungsu sampai harus diperingatkan dengan tepukan ketika ia malah duduk tasyahud
di rakaat kedua. Dengan perasaan gugup, bingung, takut salah, akhirnya sebelas
rakaat tuntas terlaksana. Usai berdoa singkat, imam mundur ke belakang, salam
cium tangan pada kakak dan ibu secara bergantian. Esok malam ayah masih di luar
kota, anak bungsu mesti mempersiapkan diri untuk jadi imam lagi.
* * *
Di mimbar-mimbar, para ustadz telah sering mengangkat bahasan ibadah
shalat sebagai salah satu model kepemimpinan di dalam Islam. Memang pas, sebab
dalam shalat (dalam hal ini berjamaah), terdapat dua peran yang saling berbeda;
menjadi imam (leader/pemimpin) dan
makmum (follower/yang dipimpin).
Banyak hal soal kepemimpinan yang dapat didiskusikan melalui merenungi ibadah
shalat. Mulai dari proses seleksi pemimpin yang benar menurut Islam itu seperti
apa sistematikanya, bagaimana semestinya hubungan antara leader dan follower yang
sehat itu, sampai soal bagaimana mempersiapkan calon-calon pengganti pemimpin. Bahasan
mengenai kepemimpinan dalam shalat tersebut biasanya dibahas dalam kerangka
pandangan sosial-politik. Sekarang, dalam tulisan ini kita akan membahas
unsur-unsur psikologinya, khususnya yang berkenaan dengan peran imam. Singkat
kata kita akan mendiskusikan mengenai psikologi kepemimpinan dan hubungannya
dengan ibadah shalat.
Sebelum menuju topik psikologi kepemimpinan dan hubunganya dengan shalat
tersebut. Nampaknya kita mesti memulai dulu dengan mengenal bagaimana psikologi
itu sendiri memandang soal kepemimpinan. Selama bertahun-tahun, sejak awal ilmu
psikologi berkembang sampai kini, telah banyak ahli yang menaruh perhatian
besar pada soal kepemimpinan. Hanya satu yang mereka coba pecahkan, yakni; “Apa
sebenarnya yang membuat seseorang itu bisa menjadi seorang pemimpin yang sukses
?”. Kata “sukses” dalam kalimat tersebut saya terjemahkan secara bebas dari
kata “effective” yang sering dipakai
para ahli. Bila ditinjau dari sudut
pandang manajemen mengenai P-O-A-C, kata sukses atau efektif tersebut merujuk
kepada keberhasilan seorang pemimpin dalam mengarahkan (planning), mengatur (organizing),
mengambil tindakan (acting) dan
mengendalikan (controlling)
perilaku-perilaku bawahan/pengikut sehingga dapat memberikan kontribusi positif
dalam mencapai tujuan kelompok. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, para ahli
telah meneliti perihal kepemimpinan dari berbagai perspektif. Adapun penelitian
pertama yang membahas kepemimpinan ialah menggunakan pendekatan sifat (traits approach).
Pendekatan sifat memandang bahwa apa yang membangun seseorang menjadi
seorang pemimpin yang sukses ialah adanya sifat-sifat tertentu pada orang
tersebut. Sifat-sifat yang dengannya kita dapat membedakan bila si A berpotensi
atau layak jadi pemimpin sedangkan si B tidak pantas. Stogdill (1974) merupakan
peneliti pertama yang menelusuri mengenai sifat-sifat apa saja yang biasanya
ada pada seorang pemimpin itu. Berdasarkan penelitiannya, diketahui bahwa
seorang pemimpin yang sukses itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut [1]
:
1.
Mudah beradaptasi dengan lingkungan.
2.
Waspada/kesadaran terhadap lingkungan sosial.
3.
Ambisius, berorientasi terhadap prestasi.
4.
Asertif.
5.
Kooperatif.
6.
Penentu (decisive).
7.
Dapat diandalkan (dependable).
8.
Dominan (ada keinginan untuk mempengaruhi
orang lain).
9.
Enerjik (tingkat keaktifan secara fisik).
10. Gigih.
11. Percaya
diri.
12. Ada
keinginan untuk bertanggung jawab.
13. Toleran
terhadap stres.
Melanjutkan temuan Stogdill, peneliti lain, House dan
Baetz (1979) mempertegas hasil penelitian tersebut. Mereka merinci bahwa ada
lima sifat utama yang biasanya ada dalam diri seorang pemimpin [2]
:
1. Intelek,
2. Dominasi,
3. Kepercayaan diri,
4. Enerjik, dan
5. Memiliki
pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya
Sifat-sifat tersebut memiliki korelasi yang tinggi dengan
kepemimpinan, dengan rentang korelasi antara 0,4 sampai 0,5.
Adapun Zaccaro,
Foti dan Kenny (1991) menemukan bahwa karakter self-monitoring juga memiliki korelasi positif dengan kepemimpinan [3].
Self-monitoring merupakan keluwesan
sosial (sama dengan poin ke-1 dan ke-2 hasil temuan Stogdill), yang tercermin
dalam perilaku :
1.
Selalu mempertimbangkan kesesuaian sosial
sebelum mengambil suatu keputusan/tindakan tertentu,
2.
Peka terhadap petunjuk-petunjuk (tanda-tanda)
sosial, dan
3.
Memiliki kemampuan untuk mengontrol perilaku
seseorang agar sesuai dengan gejala sosial tersebut.
Pada intinya, self-monitoring ialah kemampuan seorang pemimpin untuk mendeteksi keragaman
dari anggota-anggota kelompoknya serta meresponnya secara berlain-lainan sesuai
dengan perbedaan tersebut. Bila dalam suatu kelompok diketahui ada anggota yang
sudah mumpuni secara kemampuan dan ada yang masih belum mahir. Pemimpin yang
baik self-monitoring-nya mungkin
tidak akan banyak perintah dan menjelaskan soal kerjaan pada si anggota yang
sudah ahli, sedang pada si bawahan yang belum ahli ia akan lebih banyak
bersabar bahkan ikut membimbing orang tersebut agar cepat bisa. Beda orang, ya
beda treatment.
Yang mesti digarisbawahi dari pendekatan
sifat adalah bahwa pendekatan ini memandang sifat sebagai suatu kapasitas yang inborn (bawaan lahir). Melalui pandangan
ini kita dapat memahami bahwa pendekatan sifat lebih menganggap seorang
pemimpin itu sebagai “seseorang yang dilahirkan”. Memang ada orang-orang
tertentu yang sejak lahir memiliki sifat-sifat kepemimpinan, sehingga kelak
mereka akan tumbuh dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin. Sebaliknya,
orang-orang yang tidak bisa menjadi pemimpin ialah orang-orang yang sedari
lahir tidak mempunyai sifat-sifat kepemimpinan. Sekilas kita melihat, maka akan
terasa tragis. Akan terasa betapa kejamnya Tuhan hingga sampai hati Dia
ciptakan kita menjadi manusia yang tidak mampu jadi pemimpin yang sukses,
sedangkan orang-orang lain dilahirkan dengan kelebihan-kelebihan untuk jadi pemimpin
sukses tersebut.
Semakin berkembang ilmu psikologi, semakin
pendekatan sifat ini juga mendapat banyak kritik dan koreksi dari
peneliti-peneliti lain yang mengambil pendekatan berbeda soal asal-muasal
perilaku manusia. Para ahli (terutama yang mengambil perspektif behaviorisme)
menemukan bahwa perilaku itu tidak sepenuhnya muncul dari sifat seseorang.
Perlu dipertimbangkan juga faktor pengaruh lingkungan. Sifat belum tentu muncul
dalam perilaku aktual, itu semua tergantung apakah lingkungannya facilitating (memudahkan, memancing,
membebaskan) munculnya sifat tersebut dalam perilaku nyata atau malah inhibiting (menghambat, menghalangi)
kemunculannya. Oleh karenanya sifat itu lebih sebagai disposisi (kecenderungan)
berperilaku saja. Orang yang diketahui memiliki sifat kooperatif yang
tinggi/menonjol, bisa saja malah tidak kelihatan semangat kerja samanya ketika
ia berada di lingkungan yang amat kompetitif secara individual. Orang yang
tidak punya dominasi tinggi, mungkin malah akan nampak dominan di kelompok karena
ia secara kebetulan ditunjuk untuk maju menjadi pemimpin tim. Pada gilirannya,
sifat-sifat seseorang akan “berbenturan” dengan kondisi lingkungan.
Pendekatan behaviorisme ini kemudian
menggiring kita pada satu pemahaman bahwa seseorang yang kurang memiliki
sifat-sifat kepemimpinan, sebetulnya dapat dibentuk oleh lingkungan agar
menunjukkan sifat-sifat tersebut dalam perilaku aktual. Proses pembelajaran
ialah sesuatu yang niscaya. Pemimpin itu tidak dilahirkan, tetapi pemimpin itu
dicetak !. Pendidikan menjadi kata kuncinya. Untuk menjadi seorang pemimpin,
sedemikian rupa seseorang mesti dididik agar dapat berperilaku layaknya seorang
pemimpin.
Dari titik ini kita bergerak pada hubungan
kepemimpinan dengan ibadah shalat. Dengan segala proses yang terlibat di
dalamnya, ibadah shalat merupakan suatu wadah pemupukan jiwa kepemimpinan dalam
diri seseorang. Tanpa sering kita sadari, di dalam shalat ternyata terdapat
nilai-nilai psikologi kepemimpinan. Ada sifat-sifat kepemimpinan yang terasah
melalui ibadah shalat, baik itu ketika kita memposisikan diri sebagai imam
maupun ketika menjadi makmum bagi orang lain. Mari kita telisik.
Menjadi imam sama halnya menjadi pemimpin
dalam situasi-situasi lain, yaitu membutuhkan modal kepercayaan diri. Bahkan
ketika kita mengimami orang-orang yang amat dekat dengan kita (seperti si
bungsu dalam ilustrasi di awal tulisan), kepercayaan diri kita tetap akan
“diuji.” Coba kita renungi bagaimana pengalaman pertama kita menjadi imam,
pasti rasa gugupnya luar biasa. Tidak mudah memunculkan kepercayaan diri ketika
kita ditunjuk untuk menjadi imam shalat, sebab kita tahu bahwa menjadi imam itu
semestinya memiliki kompetensi-kompetensi tertentu – yang idealnya lebih –
dibanding menjadi makmum. Satu saja contohnya yakni dalam hal kefasihan membaca
ayat Al-Quran. Tak heran bila kita sering saling tunjuk untuk menjadi imam atau
ada orang-orang yang menjadi “spesialis” imam shalat dzuhur dan ashar saja
(ketika bacaan tidak di-jahar-kan),
di luar kedua shalat itu ia tidak mau setengah mati. Dari sini kita melihat,
kepercayaan diri dalam shalat tidak hanya mengenai kepercayaan diri dalam
konteks awam, yaitu berani tampil di depan orang lain. Akan tetapi juga
mengarah kepada self-efficacy;
keyakinan bahwa diri mampu melaksanakan suatu tugas tertentu. Penilaian diri
sendiri bahwa saya mampu melaksanakan suatu tugas, mesti memiliki dasar. Satu
diantaranya ialah ia memiliki pengetahuan dan kemampuan yang relevan mengenai
tugas yang akan ia laksanakan tersebut. Orang yang merasa sudah fasih membaca
Al-Quran akan lebih memiliki self-efficacy
yang tinggi bahwa ia mampu mengimami. Oleh karenanya ia tampil dengan PD-nya menjadi imam. Akan lain halnya
dengan orang yang merasa masih buruk bacaan Al-Quran-nya. Shalat-nya belum
mulai, baru penunjukan siapa imamnya, tapi sudah kita lihat di dalamnya sudah
tercakup dinamika satu sifat yang boleh dikatakan menjadi modal awal untuk
menjadi pemimpin.
Kita belum akan beranjak ke dalam ritual
shalat itu sendiri, masih di awal-awal saja. Menjadi imam shalat membutuhkan self-monitoring yang memadai. Sebelum ia
mengangkat tangan takbiratul ihram,
pertama-tama ia harus memeriksa dulu apakah makmum sudah berbaris dengan rapi,
pastikan bahwa tidak ada makmum yang belum tertib. Kemudian ia harus pintar
membaca kondisi, misalnya; apakah ada di antara makmum yang tidak kuat berdiri
lama-lama atau apakah waktunya leluasa
(tidak terburu-buru). Kondisi-kondisi yang ada menentukan bagaimana ia akan
memimpin shalat. Jika ada makmum yang kelihatan payah (secara fisik), imam yang
baik akan menyesuaikan; bacaan pendek-pendek, gerakan lambat. Jika waktunya
sempit, seperti di mushalla di tempat-tempat umum yang ketika waktu shalat tiba
orang-orang sampai antri giliran shalat, imam akan memimpin shalat dengan
relatif cepat. Di sekolah-sekolah agama atau pesantren, dalam rangka
pendidikan, seseorang yang jadi imam sering kali memilih bacaan surat disesuaikan
dengan bacaan-bacaan yang baru saja dihapalkan oleh para santri, sehingga para
makmum sambil shalat sambil juga me-refresh
hapalan mereka. Dalam kondisi perjalanan yang ada kompensasi (rukhsah) boleh men-jama’ serta men-qashar,
imam dengan self-monitoring yang baik
akan lebih memilih untuk menggunakan kemudahan tersebut tanpa ragu. Kita bisa
melihat bahwa dalam melaksanakan shalat kita juga harus peka terhadap
situasi-kondisi lingkungan dan menyesuaikan diri dengan situasi-kondisi yang
ada tersebut. Inilah dasar dari self-monitoring.
Tentu saja yang mesti diperhatikan bahwa penyesuaian tersebut tidak menyalahi
aturan-aturan kaifiyat (tata cara)
pelaksanaan shalat itu sendiri.
Shalat juga mengasah kemampuan kooperatif. Ketika
imam salah dalam bacaan atau runtut gerakan, ia akan ditegur oleh makmum. Dalam
kondisi demikian, seorang imam harus menerima kesalahannya dan mau membetulkan
bacaan atau gerakannya tersebut. Bila imam tidak kooperatif, nanti akan membuat
kebingungan dalam pelaksanaan shalat, misalnya; sudah tahu imam salah jumlah
rakaat (harusnya tasyahud akhir tapi
malah berdiri lagi) dan makmum telah memperingatkan, namun ia tetap melanjutkan
berdiri, akhirnya makmum kebingungan apakah harus ikut berdiri atau duduk tasyahud saja ?. Contoh kecil tersebut
kerap kali terjadi di sekitar kita. Ujung-ujungnya, karena masing-masing jadi
merasa tidak afdhal shalatnya, mereka
mengulang shalat tersebut sendiri-sendiri. Sungguh menggelikan. Di sisi lain,
dari interaksi membetulkan kesalahan imam tersebut, ada sifat asertif yang
dibutuhkan dari makmum. Asertif secara mudahnya ialah kemampuan untuk berani
mengemukakan pendapat/perasaan. Makmum yang asertif akan tanpa ragu segera
membetulkan kesalahan imam ketika hal itu terjadi, sedang makmum yang tidak
asertif akan sebaliknya, dia akan lebih membiarkan saja imam berbuat salah yang
ini berarti iapun akan jadi terbawa-bawa salah. Adapun asertif itu sendiri
merupakan salah satu sifat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Peneliti lain,
seperti Deluga (1998) lebih menyebutnya sebagai pro-aktif. Dapat kita lihat
bahwa sifat kepemimpinan bisa tergali bahkan ketika kita berada dala posisi
sebagai makmum.
* * *
Semakin kita dalami, kita renungi, semakin
banyak kita temui unsur-unsur psikologi kepemimpinan yang terkandung di dalam
ibadah shalat. Kepercayaan diri, self-monitoring,
kooperatif dan asertif, baru sebagian kecilnya saja. Itu pun nampaknya masih
belum utuh dan mencakup keseluruhannya. Rasanya membutuhkan suatu media khusus
lainnya yang lebih memadai untuk mengurai masalah ini sampai tuntas
dibandingkan sekedar menuangkannya dalam tulisan singkat ini. Yang terpenting
ialah adanya pemahaman dalam diri kita bahwa shalat bukanlah sekedar shalat. Lebih
dari sebatas ritual semata, dalam shalat juga terdapat hal-hal yang
berimplikasi luas pada kehidupan kita, walaupun itu berlangsung tanpa kita
banyak menyadarinya. Di sinilah kita perlu meluangkan waktu dan pikiran untuk
ber-tafakur.
Sebuah pepatah lama mengatakan; “rumah
merupakan sekolah yang pertama (al-madrasatul
uula) bagi seorang manusia.” Tentu kita punya mimpi bahwa dari rumah-rumah
kita lah akan muncul di kemudian hari calon-calon pemimpin, baik itu dalam
lingkup kecil maupun besar. Sembari kita sendiri mengasah jiwa leadership kita melalui shalat-shalat
yang kita lakukan, mari kita juga mencetak kader-kader pemimpin. Mudah saja,
yakni dengan mendidik anak-anak kita menjadi imam-imam shalat.
Referensi :
[1]
A Review Of Leadership Theory and
Competency Frameworks (Centre for Leadership Studies, Exeter University)
[2] & [3] Personality and
Organization. Brent D. Smith & Benjamin Schneider. Lawrence Elbraum
Associate : 2004
cangih... masih bisa menyempatkan diri disela-sela kesibukanmu kisanak..
ReplyDelete*gigitmawar*
wuis,,keren banget!!
ReplyDeleteudah lama ga baca tulisannya kang ihsan,,,
aku masih harus banyak belajar nih
terima kasih atas kunjungannya...
ReplyDeletesemoga isi tulisannya bermanfaat.