Friday, August 26, 2011

SHALAT DAN PSIKOLOGI KEPEMIMPINAN


Di bulan Ramadhan tahun ini ayah pergi dinas ke luar kota. Tinggallah di rumah, ibu beserta dua anaknya; yang sulung perempuan, yang bungsu laki-laki. Selesai makan malam, seperti biasa semua anggota keluarga bergegas siap-siap melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena ayah tak ada, mau tak mau si bungsu maju menjadi imam. Padahal kurang apa si ibu dan kakak perempuannya. Si bungsu barulah kelas IX SMP, sedang kakaknya telah menjadi mahasiswi jurusan ilmu Al-Quran dan ibu seorang mubalighah di desa. Dilihat berdasar usia, pengalaman apalagi secara level pengetahuan dan pemahaman agama maka lebih pantas ibu atau setidaknya sang kakak perempuan yang menjadi imam. Namun hukum ialah hukum. Meski awalnya enggan dan lebih ingin shalat sendiri-sendiri, akhirnya si bungsu tetap memimpin makmum-makmumnya yang lebih senior dan andal tersebut. Pada pelaksanaannya, beberapa kali imam dikoreksi ibu dan kakak, ada bacaan-bacaan surat yang ia lupa dan tertukar-tukar. Bahkan di empat rakaat yang kedua, si bungsu sampai harus diperingatkan dengan tepukan ketika ia malah duduk tasyahud di rakaat kedua. Dengan perasaan gugup, bingung, takut salah, akhirnya sebelas rakaat tuntas terlaksana. Usai berdoa singkat, imam mundur ke belakang, salam cium tangan pada kakak dan ibu secara bergantian. Esok malam ayah masih di luar kota, anak bungsu mesti mempersiapkan diri untuk jadi imam lagi.
* * *

Di mimbar-mimbar, para ustadz telah sering mengangkat bahasan ibadah shalat sebagai salah satu model kepemimpinan di dalam Islam. Memang pas, sebab dalam shalat (dalam hal ini berjamaah), terdapat dua peran yang saling berbeda; menjadi imam (leader/pemimpin) dan makmum (follower/yang dipimpin). Banyak hal soal kepemimpinan yang dapat didiskusikan melalui merenungi ibadah shalat. Mulai dari proses seleksi pemimpin yang benar menurut Islam itu seperti apa sistematikanya, bagaimana semestinya hubungan antara leader dan follower yang sehat itu, sampai soal bagaimana mempersiapkan calon-calon pengganti pemimpin. Bahasan mengenai kepemimpinan dalam shalat tersebut biasanya dibahas dalam kerangka pandangan sosial-politik. Sekarang, dalam tulisan ini kita akan membahas unsur-unsur psikologinya, khususnya yang berkenaan dengan peran imam. Singkat kata kita akan mendiskusikan mengenai psikologi kepemimpinan dan hubungannya dengan ibadah shalat.


Sebelum menuju topik psikologi kepemimpinan dan hubunganya dengan shalat tersebut. Nampaknya kita mesti memulai dulu dengan mengenal bagaimana psikologi itu sendiri memandang soal kepemimpinan. Selama bertahun-tahun, sejak awal ilmu psikologi berkembang sampai kini, telah banyak ahli yang menaruh perhatian besar pada soal kepemimpinan. Hanya satu yang mereka coba pecahkan, yakni; “Apa sebenarnya yang membuat seseorang itu bisa menjadi seorang pemimpin yang sukses ?”. Kata “sukses” dalam kalimat tersebut saya terjemahkan secara bebas dari kata “effective” yang sering dipakai para ahli. Bila ditinjau dari sudut pandang manajemen mengenai P-O-A-C, kata sukses atau efektif tersebut merujuk kepada keberhasilan seorang pemimpin dalam mengarahkan (planning), mengatur (organizing), mengambil tindakan (acting) dan mengendalikan (controlling) perilaku-perilaku bawahan/pengikut sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam mencapai tujuan kelompok. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, para ahli telah meneliti perihal kepemimpinan dari berbagai perspektif. Adapun penelitian pertama yang membahas kepemimpinan ialah menggunakan pendekatan sifat (traits approach).

Pendekatan sifat memandang bahwa apa yang membangun seseorang menjadi seorang pemimpin yang sukses ialah adanya sifat-sifat tertentu pada orang tersebut. Sifat-sifat yang dengannya kita dapat membedakan bila si A berpotensi atau layak jadi pemimpin sedangkan si B tidak pantas. Stogdill (1974) merupakan peneliti pertama yang menelusuri mengenai sifat-sifat apa saja yang biasanya ada pada seorang pemimpin itu. Berdasarkan penelitiannya, diketahui bahwa seorang pemimpin yang sukses itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut [1] :
1.   Mudah beradaptasi dengan lingkungan.
2.   Waspada/kesadaran terhadap lingkungan sosial.
3.   Ambisius, berorientasi terhadap prestasi.
4.   Asertif.
5.   Kooperatif.
6.   Penentu (decisive).
7.   Dapat diandalkan (dependable).
8.   Dominan (ada keinginan untuk mempengaruhi orang lain).
9.   Enerjik (tingkat keaktifan secara fisik).
10. Gigih.
11. Percaya diri.
12. Ada keinginan untuk bertanggung jawab.
13. Toleran terhadap stres.

Melanjutkan temuan Stogdill, peneliti lain, House dan Baetz (1979) mempertegas hasil penelitian tersebut. Mereka merinci bahwa ada lima sifat utama yang biasanya ada dalam diri seorang pemimpin [2] :
1.   Intelek,
2.   Dominasi,
3.   Kepercayaan diri,
4.   Enerjik, dan
5.   Memiliki pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya

Sifat-sifat tersebut memiliki korelasi yang tinggi dengan kepemimpinan, dengan rentang korelasi antara 0,4 sampai 0,5. 

Adapun Zaccaro, Foti dan Kenny (1991) menemukan bahwa karakter self-monitoring juga memiliki korelasi positif dengan kepemimpinan [3]. Self-monitoring merupakan keluwesan sosial (sama dengan poin ke-1 dan ke-2 hasil temuan Stogdill), yang tercermin dalam perilaku :
1.   Selalu mempertimbangkan kesesuaian sosial sebelum mengambil suatu keputusan/tindakan tertentu,
2.   Peka terhadap petunjuk-petunjuk (tanda-tanda) sosial, dan
3.   Memiliki kemampuan untuk mengontrol perilaku seseorang agar sesuai dengan gejala sosial tersebut.

Pada intinya, self-monitoring ialah kemampuan seorang pemimpin untuk mendeteksi keragaman dari anggota-anggota kelompoknya serta meresponnya secara berlain-lainan sesuai dengan perbedaan tersebut. Bila dalam suatu kelompok diketahui ada anggota yang sudah mumpuni secara kemampuan dan ada yang masih belum mahir. Pemimpin yang baik self-monitoring­­-nya mungkin tidak akan banyak perintah dan menjelaskan soal kerjaan pada si anggota yang sudah ahli, sedang pada si bawahan yang belum ahli ia akan lebih banyak bersabar bahkan ikut membimbing orang tersebut agar cepat bisa. Beda orang, ya beda treatment.

Yang mesti digarisbawahi dari pendekatan sifat adalah bahwa pendekatan ini memandang sifat sebagai suatu kapasitas yang inborn (bawaan lahir). Melalui pandangan ini kita dapat memahami bahwa pendekatan sifat lebih menganggap seorang pemimpin itu sebagai “seseorang yang dilahirkan”. Memang ada orang-orang tertentu yang sejak lahir memiliki sifat-sifat kepemimpinan, sehingga kelak mereka akan tumbuh dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bisa menjadi pemimpin ialah orang-orang yang sedari lahir tidak mempunyai sifat-sifat kepemimpinan. Sekilas kita melihat, maka akan terasa tragis. Akan terasa betapa kejamnya Tuhan hingga sampai hati Dia ciptakan kita menjadi manusia yang tidak mampu jadi pemimpin yang sukses, sedangkan orang-orang lain dilahirkan dengan kelebihan-kelebihan untuk jadi pemimpin sukses tersebut.

Semakin berkembang ilmu psikologi, semakin pendekatan sifat ini juga mendapat banyak kritik dan koreksi dari peneliti-peneliti lain yang mengambil pendekatan berbeda soal asal-muasal perilaku manusia. Para ahli (terutama yang mengambil perspektif behaviorisme) menemukan bahwa perilaku itu tidak sepenuhnya muncul dari sifat seseorang. Perlu dipertimbangkan juga faktor pengaruh lingkungan. Sifat belum tentu muncul dalam perilaku aktual, itu semua tergantung apakah lingkungannya facilitating (memudahkan, memancing, membebaskan) munculnya sifat tersebut dalam perilaku nyata atau malah inhibiting (menghambat, menghalangi) kemunculannya. Oleh karenanya sifat itu lebih sebagai disposisi (kecenderungan) berperilaku saja. Orang yang diketahui memiliki sifat kooperatif yang tinggi/menonjol, bisa saja malah tidak kelihatan semangat kerja samanya ketika ia berada di lingkungan yang amat kompetitif secara individual. Orang yang tidak punya dominasi tinggi, mungkin malah akan nampak dominan di kelompok karena ia secara kebetulan ditunjuk untuk maju menjadi pemimpin tim. Pada gilirannya, sifat-sifat seseorang akan “berbenturan” dengan kondisi lingkungan.

Pendekatan behaviorisme ini kemudian menggiring kita pada satu pemahaman bahwa seseorang yang kurang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, sebetulnya dapat dibentuk oleh lingkungan agar menunjukkan sifat-sifat tersebut dalam perilaku aktual. Proses pembelajaran ialah sesuatu yang niscaya. Pemimpin itu tidak dilahirkan, tetapi pemimpin itu dicetak !. Pendidikan menjadi kata kuncinya. Untuk menjadi seorang pemimpin, sedemikian rupa seseorang mesti dididik agar dapat berperilaku layaknya seorang pemimpin.

Dari titik ini kita bergerak pada hubungan kepemimpinan dengan ibadah shalat. Dengan segala proses yang terlibat di dalamnya, ibadah shalat merupakan suatu wadah pemupukan jiwa kepemimpinan dalam diri seseorang. Tanpa sering kita sadari, di dalam shalat ternyata terdapat nilai-nilai psikologi kepemimpinan. Ada sifat-sifat kepemimpinan yang terasah melalui ibadah shalat, baik itu ketika kita memposisikan diri sebagai imam maupun ketika menjadi makmum bagi orang lain. Mari kita telisik.

Menjadi imam sama halnya menjadi pemimpin dalam situasi-situasi lain, yaitu membutuhkan modal kepercayaan diri. Bahkan ketika kita mengimami orang-orang yang amat dekat dengan kita (seperti si bungsu dalam ilustrasi di awal tulisan), kepercayaan diri kita tetap akan “diuji.” Coba kita renungi bagaimana pengalaman pertama kita menjadi imam, pasti rasa gugupnya luar biasa. Tidak mudah memunculkan kepercayaan diri ketika kita ditunjuk untuk menjadi imam shalat, sebab kita tahu bahwa menjadi imam itu semestinya memiliki kompetensi-kompetensi tertentu – yang idealnya lebih – dibanding menjadi makmum. Satu saja contohnya yakni dalam hal kefasihan membaca ayat Al-Quran. Tak heran bila kita sering saling tunjuk untuk menjadi imam atau ada orang-orang yang menjadi “spesialis” imam shalat dzuhur dan ashar saja (ketika bacaan tidak di-jahar-kan), di luar kedua shalat itu ia tidak mau setengah mati. Dari sini kita melihat, kepercayaan diri dalam shalat tidak hanya mengenai kepercayaan diri dalam konteks awam, yaitu berani tampil di depan orang lain. Akan tetapi juga mengarah kepada self-efficacy; keyakinan bahwa diri mampu melaksanakan suatu tugas tertentu. Penilaian diri sendiri bahwa saya mampu melaksanakan suatu tugas, mesti memiliki dasar. Satu diantaranya ialah ia memiliki pengetahuan dan kemampuan yang relevan mengenai tugas yang akan ia laksanakan tersebut. Orang yang merasa sudah fasih membaca Al-Quran akan lebih memiliki self-efficacy yang tinggi bahwa ia mampu mengimami. Oleh karenanya ia tampil dengan PD-nya menjadi imam. Akan lain halnya dengan orang yang merasa masih buruk bacaan Al-Quran-nya. Shalat-nya belum mulai, baru penunjukan siapa imamnya, tapi sudah kita lihat di dalamnya sudah tercakup dinamika satu sifat yang boleh dikatakan menjadi modal awal untuk menjadi pemimpin.

Kita belum akan beranjak ke dalam ritual shalat itu sendiri, masih di awal-awal saja. Menjadi imam shalat membutuhkan self-monitoring yang memadai. Sebelum ia mengangkat tangan takbiratul ihram, pertama-tama ia harus memeriksa dulu apakah makmum sudah berbaris dengan rapi, pastikan bahwa tidak ada makmum yang belum tertib. Kemudian ia harus pintar membaca kondisi, misalnya; apakah ada di antara makmum yang tidak kuat berdiri lama-lama atau  apakah waktunya leluasa (tidak terburu-buru). Kondisi-kondisi yang ada menentukan bagaimana ia akan memimpin shalat. Jika ada makmum yang kelihatan payah (secara fisik), imam yang baik akan menyesuaikan; bacaan pendek-pendek, gerakan lambat. Jika waktunya sempit, seperti di mushalla di tempat-tempat umum yang ketika waktu shalat tiba orang-orang sampai antri giliran shalat, imam akan memimpin shalat dengan relatif cepat. Di sekolah-sekolah agama atau pesantren, dalam rangka pendidikan, seseorang yang jadi imam sering kali memilih bacaan surat disesuaikan dengan bacaan-bacaan yang baru saja dihapalkan oleh para santri, sehingga para makmum sambil shalat sambil juga me-refresh hapalan mereka. Dalam kondisi perjalanan yang ada kompensasi (rukhsah) boleh men-jama’ serta men-qashar, imam dengan self-monitoring yang baik akan lebih memilih untuk menggunakan kemudahan tersebut tanpa ragu. Kita bisa melihat bahwa dalam melaksanakan shalat kita juga harus peka terhadap situasi-kondisi lingkungan dan menyesuaikan diri dengan situasi-kondisi yang ada tersebut. Inilah dasar dari self-monitoring. Tentu saja yang mesti diperhatikan bahwa penyesuaian tersebut tidak menyalahi aturan-aturan kaifiyat (tata cara) pelaksanaan shalat itu sendiri.

Shalat juga mengasah kemampuan kooperatif. Ketika imam salah dalam bacaan atau runtut gerakan, ia akan ditegur oleh makmum. Dalam kondisi demikian, seorang imam harus menerima kesalahannya dan mau membetulkan bacaan atau gerakannya tersebut. Bila imam tidak kooperatif, nanti akan membuat kebingungan dalam pelaksanaan shalat, misalnya; sudah tahu imam salah jumlah rakaat (harusnya tasyahud akhir tapi malah berdiri lagi) dan makmum telah memperingatkan, namun ia tetap melanjutkan berdiri, akhirnya makmum kebingungan apakah harus ikut berdiri atau duduk tasyahud saja ?. Contoh kecil tersebut kerap kali terjadi di sekitar kita. Ujung-ujungnya, karena masing-masing jadi merasa tidak afdhal shalatnya, mereka mengulang shalat tersebut sendiri-sendiri. Sungguh menggelikan. Di sisi lain, dari interaksi membetulkan kesalahan imam tersebut, ada sifat asertif yang dibutuhkan dari makmum. Asertif secara mudahnya ialah kemampuan untuk berani mengemukakan pendapat/perasaan. Makmum yang asertif akan tanpa ragu segera membetulkan kesalahan imam ketika hal itu terjadi, sedang makmum yang tidak asertif akan sebaliknya, dia akan lebih membiarkan saja imam berbuat salah yang ini berarti iapun akan jadi terbawa-bawa salah. Adapun asertif itu sendiri merupakan salah satu sifat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Peneliti lain, seperti Deluga (1998) lebih menyebutnya sebagai pro-aktif. Dapat kita lihat bahwa sifat kepemimpinan bisa tergali bahkan ketika kita berada dala posisi sebagai makmum.            
* * *

Semakin kita dalami, kita renungi, semakin banyak kita temui unsur-unsur psikologi kepemimpinan yang terkandung di dalam ibadah shalat. Kepercayaan diri, self-monitoring, kooperatif dan asertif, baru sebagian kecilnya saja. Itu pun nampaknya masih belum utuh dan mencakup keseluruhannya. Rasanya membutuhkan suatu media khusus lainnya yang lebih memadai untuk mengurai masalah ini sampai tuntas dibandingkan sekedar menuangkannya dalam tulisan singkat ini. Yang terpenting ialah adanya pemahaman dalam diri kita bahwa shalat bukanlah sekedar shalat. Lebih dari sebatas ritual semata, dalam shalat juga terdapat hal-hal yang berimplikasi luas pada kehidupan kita, walaupun itu berlangsung tanpa kita banyak menyadarinya. Di sinilah kita perlu meluangkan waktu dan pikiran untuk ber-tafakur.  

Sebuah pepatah lama mengatakan; “rumah merupakan sekolah yang pertama (al-madrasatul uula) bagi seorang manusia.” Tentu kita punya mimpi bahwa dari rumah-rumah kita lah akan muncul di kemudian hari calon-calon pemimpin, baik itu dalam lingkup kecil maupun besar. Sembari kita sendiri mengasah jiwa leadership kita melalui shalat-shalat yang kita lakukan, mari kita juga mencetak kader-kader pemimpin. Mudah saja, yakni dengan mendidik anak-anak kita menjadi imam-imam shalat.


Referensi :
[1] A Review Of Leadership Theory and Competency Frameworks (Centre for Leadership Studies, Exeter University)
[2] & [3] Personality and Organization. Brent D. Smith & Benjamin Schneider. Lawrence Elbraum Associate : 2004

3 comments:

  1. cangih... masih bisa menyempatkan diri disela-sela kesibukanmu kisanak..
    *gigitmawar*

    ReplyDelete
  2. wuis,,keren banget!!
    udah lama ga baca tulisannya kang ihsan,,,
    aku masih harus banyak belajar nih

    ReplyDelete
  3. terima kasih atas kunjungannya...
    semoga isi tulisannya bermanfaat.

    ReplyDelete