Monday, January 18, 2010

BIAR ADIL MESTI HITAM

"Dalam perspektif hukum, justru kita dituntut bisa hitam agar diraih keputusan yang adil".



Lagi-lagi soal makna kata black, hitam. Dengan demikian, sampai tulisan ini di-posting, berarti sudah ada empat tulisan yang isinya mengorek-ngorek kata hitam. Kini, mari kita bicarakan arti hitam dari segi hukum dan peradilan. Banyak orang berpendapat bahwa makna hitam ditinjau dari segi hukum-peradilan sudahlah jelas, yakni “buruk”, “bersalah” atau “penjahat”. Menurut saya, pendapat yang demikian itu ialah pemikiran yang terburu-buru. Justru, hitam secara hukum dan peradilan bermakna netral, tidak memihak ke kanan ataupun ke kiri. Dari mana munculnya gagasan ini ? Sebelum ke pembahasan, mungkin harus diingatkan sekali lagi bahwa kita telah sepakat bahwa kata “hitam” itu sinonim dengan “gelap”, seperti yang tercantum pada tiga tulisan sebelumnya.

Anda pernah melihat simbol hukum dan peradilan ? Jika di pikiran anda terbayang sesosok wanita berbalut pakaian ala romawi kuno, di tangan kiri memegang timbangan dan tangan kanan memegang sebilah pedang. Ya, itulah yang saya maksudkan. Dengan mudah kita dapat menemukan patungnya di institusi-institusi hukum, membuat wanita ini dekat pemaknaannya dengan pengadilan dan profesi hakim, jaksa serta pengacara. Nama wanita ini Themis. Dipuja-puja bangsa Yunani kuno sebagai dewi keadilan. Sebagai simbol keadilan, segala atribut yang ia kenakanpun merupakan simbolisasi dari keadilan. Timbangan di tangan kiri perlambang pertimbangan. Keadilan akan tercapai jika timbangan menunjukkan berat pada pihak yang salah dan enteng pada pihak yang benar. Selanjutnya, pedang di tangan kanan merupakan simbolisasi dari kekuatan keadilan dan pertimbangan.

Pada abad 15, bangsa Romawi memiliki tradisi baru dalam memperlakukan patung Dewi Themis yang banyak ditempatkan di lembaga-lembaga pengadilan. Mata Dewi Themis selalu ditutupi oleh secarik kain hitam. Sejak saat itu, Dewi Themis mengadili dalam kegelapan, kebutaan. Para pemujanya memiliki harapan yang sederhana dengan menutupkan kain hitam tersebut. Mereka hanya berharap, dalam kegelapan Dewi Themis dapat melihat suatu perkara dengan lebih jernih, tidak terpengaruhi suara-suara dari sana-sini yang dapat melemahkan putusannya serta mencederai rasa keadilan.

Bila kita melihat sosok Dewi Themis itu pada seorang hakim, jaksa dan pengacara sebagai perangkat dalam proses pengadilan. Maka kita dapat mengerti kenapa keadilan itu harus diputuskan melalui kegelapan pandangan. Keberpihakan, inilah yang selalu menjadi masalah utama dalam upaya mencari keadilan di institusi pengadilan.

Dalam tataran sederhana ada yang dinamakan hallo effect, yakni kesan pertama dari seseorang yang mempengaruhi penilaian orang lain atas keseluruhan perilakunya. Contohnya, dalam pengusutan kasus Century. Belum apa-apa, sudah bermunculan orang-orang yang men-judge bahwa tak mungkin Sri Mulyani atau Boediono itu bersalah. Karena keduanya adalah profesional-profesional ekonomi yang reputasinya sudah diakui bahkan oleh dunia internasional. Hallo effect ! Oke, siapapun mengakui bila Sri Mulyani dan Boediono itu bukan sembarang orang di bidang perekonomian. Namun, semua harus sama kedudukannya di mata hukum. Baik Sri Mulyani ataupun Boediono harus dilihat sebagai manusia biasa yang sering khilaf, sehingga sangat mungkin melakukan kesalahan.

Di tingkatan yang lebih tinggi lagi, keberpihakan terjadi karena adanya “uang gelap”. Mafia hukum yang merupakan jejaring orang-orang yang berharga murah (atau mungkin tak berharga sama sekali), ialah musuh utama dari pengadilan dan keadilan. Prinsip mereka KUHP yaitu Kasih Uang Habis Perkara. Asal ada uang maka segalanya bisa diatur. Contohnya adalah Jaksa Urip yang menjadi bagian dari mafia hukum dalam mempermudah kasus Artalyta Suryani.

Hukum, pengadilan dan keadilan justru sering kali cedera saat mata bebas melihat, ketika cahaya terang benderang. Di saat seperti itu, orang dengan mudah terbuai godaan-godaan yang ada di sekitarnya, mudah terpengaruh oleh pendapat-pendapat tak relevan. Dalam hukum, paling tidak manusia mesti (1) mampu melihat sesuatu secara netral, dalam hal ini terkait siapa-siapa yang terlibat kasus, dan (2) teguh pendirian. Untuk teguh, kadang tidak cukup untuk menggunakan kaca mata kuda, kalau perlu lilitkan kain hitam penutup mata.

Pesan yang dibawa secarik kain hitam penutup mata Dewi Themis tidak hanya berlaku di dunia hukum dan pengadilan. Dalam hal apapun, soal ketetapan hati, kita harus punya pendirian yang kokoh. Contoh; jika Djarum Black sudah berkomitmen untuk serius dalam memberi ruang bagi munculnya kreatifitas-kreatifitas dari masyarakat. Maka sampai kapanpun hal ini mesti terus dijaga, jangan terpengaruh oleh pihak lain.

Semoga tulisan ini dapat semakin memperkaya referensi mengenai makna kata “hitam”. Seperti yang sudah saya katakan pada tulisan sebelumnya, kata “hitam” ini asyik untuk diulik. Satu kata beragam makna. Maknanya dapat bermacam-macam bahkan saat kata ini berdiri sendiri. Berbeda dengan kata lain yang terkadang rupa-rupa maknanya baru akan keluar ketika kata tersebut disandingkan dengan kata lain. Pada tataran jangka pendeknya, mengumbar macam-macam makna black ini menjadi bahan tulisan yang menambah jumlah artikel Djarum Black saya sebagai prasyarat kuota artikel di Black Blog Competition Vol. 2. Di tahap jangka panjangnya, tentu proses memeras otak ini dapat menambah dan memperdalam pengetahuan saya yang senang dengan pelajaran-pelajaran filsafat. Pada segi ini, sudah sewajarnya dan adil kiranya jika saya mengucap terima kasih pada Djarum Black dan Black Blog Competition-nya.

1 comment: