Sunday, January 10, 2010

CAMBUK ALGOJO DI HARI NATAL

Aku duduk tak bergairah. Di atas kursi kayu tua, memandang pohon cemara tiruan berhiaskan pernak-pernik yang cantik berwarna-warni. Bintang emas berkilauan menutupi puncak tumpengnya, kado-kado terbungkus rapi bergeletakan di bawahnya. Ada yang hilang Natal tahun ini. Raibnya istri masih bisa dimaklum hati, apa daya manusia bila Tuhan sudah memanggilnya. Lenyapnya anak-anak yang sulit untuk diwajari.

Aku bangkit. Berjalan lemas menghampiri pohon cemara yang bahkan aku merasakan kalau benda mati inipun sampai kehilangan nuansanya. Aku duduk bersila dan mulai memilih kado mana yang akan kubuka terlebih dahulu. Kuambil sebuah kotak berbungkus kertas polos warna cokelat dengan pengikat pita merah menyala. Andaikan istri tercinta masih hidup, ia yang akan membuka kado ini, warna cokelat ialah warna kesukaannya sekaligus sebuah isyarat bahwa hadiah ini dariku, khusus untuknya. Kilasan kenangan manis mengiringi saat aku mulai merobek-robek kado itu. Tanpa terkejut, aku melihat dan menggenggam selembar kain warna ungu terong dari dalamnya. Ini kerudung. Istriku yang seorang muslimah memintanya sejak Natal tahun lalu agar ia dihadiahi kerudung ungu terong di Natal ini.

Secarik kain yang menghidupkan kembali banyak cerita terkubur. Tentang perjumpaan pertama kali dengan gadis elok itu waktu kuliah dulu. Tentang sambutan ramah keluarganya saat aku akhirnya memberanikan diri apel ke rumahnya. Tentang penolakan kerasku atas dukungan bersyarat dari ayah-ibuku; aku diizinkan mengawininya asal aku mampu mendatangkan Tuhan Bapak di Surga ke dalam hatinya. Tentang hilangnya sambutan ramah, naik pitamnya sang ayah, ibu yang menangis berderai-derai, tatapan jijik dari saudara-saudara kandung, saat ia minta restu dinikahkan denganku. Tentang kisah cinta dalam pengasingan, hingga akhirnya kami ditemani tiga orang anak.

Kantung mata hangat terasa, air mata meleleh, mengalir sepanjang lekuk pipi dan jatuh menetes di tepi dagu. Kuseka, kucoba kuatkan diri. Baru beberapa saat tertahan, bendungan air mata jebol lagi. Akhirnya kubiarkan saja diriku menangis sepuasnya, meluapkan kecamuk perasaan. Bahkan aku tidak menangis sedramatis ini waktu kudengar kabar ayahku meninggal. Aku tak ingat, aku pernah merasa sehancur ini sebelumnya. Aku sesenggukan, meratapi kenyataan hidup yang terjadi di luar batas dugaan. Di tengah tangis, sesekali memaki takdir yang sial. Bingung muncul kemudian; aku tidak tahu Tuhan yang mana yang telah tega memberiku kemalangan ini, Allah-ku atau Allah-nya istriku ?.

Aku kembali ke kursi kayu, meninggalkan sisa kado yang sengaja aku sediakan untuk anak, menantu dan cucu. Banyak energi terkuras oleh tangisan. Aku duduk tiada tegap, merosot dengan lemah. Kutengok ke samping, ke sebuah meja antik pasangan kursi ini. Natal tahun-tahun sebelumnya, pada meja ini akan berdiri poci dan cangkir keramik yang diisi teh hangat. Disajikan dengan anggun oleh menantu dari si bungsu. Setiap ia melakukannya, aku selalu menaruh curiga. Ia wanita Jawa tulen yang aku tahu kalau orang-orang Jawa itu pandai menutupi perasaan. Aku tahu dibalik senyum ramah dan lembut suaranya saat ia mempersilakan; “Ini Pak teh kesukaan Bapak”, sebetulnya ia tak nyaman dengan perayaan Natal di rumah ini.

Apa yang dialami si bungsu hampir sama persis dengan yang aku jalani. Ia yang seiman denganku, mengawini wanita yang seiman dengan istriku. Perbedaannya, istriku cepat beradaptasi dengan tradisi-tradisi lintas kepercayaan yang tetap aku pegang teguh. Sedangkan menantuku ini sepertinya tidak. Seperti kubilang, ia hanya pintar bermain peran. Selama ini, ia berhasil diboyong anakku ke sini, lebih karena bujukan istri. Ketika sosok pengundang itu tiada, seperti yang sekarang terjadi, ia tak datang. Si bungsu, atas alasan menghormati ketidaksukaan istrinya, mengabari kalau dengan berat hati ia memlih untuk ikut tak berkunjung. Dengan nada sedih, kukatakan padanya; “Selamat merayakan Natal di sana Nak”, kudengar ia menjawab; “Tak pernah ada Natal di rumah ini Pak”, lalu terputuslah sambungan telepon. Ada kekecewaan untuk si bungsu yang begitu lemah menghadapi tuntutan istri, bagiku itu bukan sifat lelaki. Namun, penilaian inipun kemudian kabur, karena aku sadar bahwa akupun sebetulnya sama saja. Aku berpikir bahwa orang tuaku pastinya kecewa juga, karena aku meninggalkan keduanya demi cinta pada seorang gadis. Sebuah pertanyaan terbesit; Apakah ini yang disebut umat Hindu sebagai karma ?

Belum selesai menebak-nebak apa makna karma, pikiran sudah melayang pada si sulung. Ketidakhadiran anak pertama ini sebetulnya sudah berlangsung selama lima tahun. Ya, telah lima kali Natal ia melewatkan tradisi merayakan Natal bersama di rumah ini. Itu berlangsung sejak kewarasannya sudah melampaui garis genting. Namun, menantu dan kedua cucuku yang beranjak remaja masih tetap datang. Sampai akhirnya tibalah Natal tahun ini, mereka juga mohon diri untuk absen. Lewat pesan singkat, salah satu cucu memberitakan bahwa ia dan adiknya akan merayakan Natal di rumah besanku, hal ini terkait kondisi ibu mereka yang tidak memungkinkan untuk diajak bepergian jauh. Sedari ia menunjukkan gejala tertekan batin, sehingga khawatir akan menyusul suaminya ke rumah gila, menantuku berikut kedua cucu resmi tinggal di rumah besan. Seminggu lagi mendekati tanggal 25, giliran besan yang menghubungi, ia mengundangku untuk merayakan Natal di rumahnya, sekalian menjenguk anak menantu yang masih naik-turun grafik kestabilan jiwanya. Dengan halus aku menolak dengan alasan sudah tak kuat lagi menempuh perjalanan panjang. Ditambah waktu itu, dalam hati aku masih optimis kalau kedua anakku yang lain akan tetap datang ke sini, ke rumah yang ternyata sekarang hanya menyisakan seorang lelaki tua merana.

Sadar bahwa seseorang mesti punya agama agar mudah dalam menyesuaikan diri di masyarakat, pada masa anak-anaknya si sulung dididik sebagai muslim. Setelah basah celana kolornya akibat mimpi mesum di malam hari, istriku memberinya kebebasan; apa mau tetap menjadi muslim sebagaimana ibu ajarkan sedari kecil atau beralih pada kepercayaan ayah. Aku melihat ada sedikit raut kecewa ketika anak lebih suka untuk dibawa ayahnya ke gereja, dibasuh air suci pembaptisan dan dinyatakan sah sebagai katolik. Roman kekecewaan semakin jelas terlihat dari istriku, ketika kemudian di usia perkuliahan si sulung memproklamirkan diri sebagai individu bebas agama, tidak ber-Tuhan. Alasannya sederhana, “Aku bingung”, begitu katanya. Aku mencoba menenangkan istri bahwa anak paling kontroversial ini lebih baik dibiarkan saja untuk menjalani keputusannya, paling tidak di KTP ia masih tertulis punya pegangan Katolik.

Kukira pergolakan teologi anak pertamaku itu akan berakhir setelah ia memutuskan untuk jadi agnotis atau atheis atau apapun namanya itu. Rupanya perdebatan internal itu terus berlangsung tiada padam. Hingga akhirnya, semua pihak setuju untuk menggiring ia ke rumah sakit jiwa. Dengan kesedihan yang mendalam aku meninggalkan anakku di sana dalam keadaan selalu terdorong untuk bunuh diri. Derita belum berakhir, baru-baru ini sakit pikiran itu menular pada istrinya. Besanku menceritakan bahwa sering kali ia hanya duduk termenung, seperti patung, dalam hitungan berjam-jam bukan menit. Seorang kawan memberi tahu kalau itu namanya sakit jiwa model katatonik. Biasa diderita oleh orang yang tak kuat mendapat tekanan hidup, begitu sang kawan menjelaskan. Aku menerjemahkan kata-kata “tekanan hidup” itu sebagai “tekanan punya suami tak waras”.

Lagi-lagi aku menangis. Muncul perasaan bersalah yang amat sangat. Merasa bersalah karena telah sukses membuat anak yang sebenarnya tak punya bibit jadi gila itu, akhirnya menjadi gila juga. Akan tetapi aku tak bisa melacak, di mana letak kesalahanku sampai membuat si sulung jadi seperti itu.

Aku jatuh tersungkur dari kursi. Semua kekuatanku seakan menguap. Untuk kembali dudukpun aku tak kuasa. Terlentang di hamparan karpet bulu yang bagiku tak lagi terasa hangat. Pandangan berkunang-kunang, banyak kerlip bintang kulihat. Aku yakin sebentar lagi aku akan pingsan. Lebih baik tak sadarkan diri, untuk melewati momen-momen suram ini. Aku sungguh ingin segera pingsan, sebab bayangan tentang anak tengah mulai menampakkan diri, tak bisa kutolak untuk enyah dari otak.

Aku kalah. Citra kejadian tiga hari yang lalu itu sekarang terlihat dengan amat terang. Ketika si tengah datang sendirian ke rumah hanya untuk memberi kabar bahwa ia takkan datang pada perayaan Natal tahun ini dan juga untuk Natal-Natal selanjutnya. Ia menambahkan bahwa jangan pula aku mengharap ucapan selamat Natal darinya. Meski demikian ia berjanji akan tetap datang mengunjungiku sesekali dan ia tak mau hubungan ayah-anak ini putus. Sebelum ia pergi, dengan terbata-bata aku bertanya padanya; “Ada apa ini sebenarnya Nak ?”. Jawabannya singkat tapi entah kenapa terasa amat menyiksa hati; “Aku hanya tak ingin masuk neraka bersamamu”. Lalu ia, satu-satunya anak yang menjadi muslim dan juga menikahi muslim, benar-benar pergi dan tak datang hari ini.

Hancur total. Bayangan terakhir itu benar-benar membuat hari ini menjadi Natal terburuk sepanjang hidupku. Pandangan mulai meredup seiring denyut otak yang seakan mau pecah. Kukira aku akan segera pingsan. Namun ternyata terbesit satu pikiran lagi. Aku gundah; jangan-jangan aku memang akan masuk neraka, sedang istriku yang tercinta bersenang-senang di surga. Atau mungkin yang akan terjadi ialah sebaliknya. Oh tidak, aku tidak mengharapkan salah satu dari bayangan itu terjadi. Cita-citaku ialah hidup bersama-sama kembali dengan istriku di surga kelak. Di surga yang mana ? Surga versi keyakinan istriku mengharamkan aku masuk ke sana, surga menurut agamaku melarang keras orang macam istriku untuk masuk bahkan hanya untuk sekedar mampir. Apa jangan-jangan sampai ajal menjemput, istriku sebenarnya menyimpan keyakinan tersembunyi bahwa aku akan disiksa di akhirat nanti ? Tak sampai hati aku membayangkan istriku yang mempunyai keyakinan bahwa suaminya sendiri ialah orang-orang terlaknat. Kenapa aku tidak mau istriku menyimpan keyakinan macam itu, sedangkan pada saat bersamaan aku mengamini khotbah yang mengatakan bila orang-orang di luar gereja ialah kaum yang pantas diadzab ?

Pikiran-pikiran menyakitkan yang tak penah ada sebelumnya datang silih berganti. Aku bak terpidana yang sedang didera hukuman cambuk. Setiap pikiran itu ialah sabetan cambuk algojo yang rasanya perih tak terkira, membuatku berharap lebih baik mati saja dari pada menanggung sakit. Anehnya malaikat maut tak menjawab permintaan mati itu.

Oh Tuhan atau siapapun di sana ! Kenapa aku tidak pingsan-pingsan ?!

No comments:

Post a Comment