
“Film biasa itu memang bisa berpihak, namun unsur-unsur dramatisasinya bahkan mungkin faktor aktor-aktris pemainnya bisa menutupi agenda sebenarnya yang ingin disampaikan oleh film”, begitu jawab Bang Daus. Dalam hati, saya sangat mengiyakan argumen Bang Daus tersebut. Saya membayangkan bagaimana kalau jadinya Film Balibo itu dibuat dalam versi dokumenter saja. Barang kali pemerintah kitapun akan berpikir ulang untuk melakukan pelarangan penayangannya. Betapapun sebuah kisah itu fakta nyata, “based on true story”, saat hal tersebut diutarakan kembali dalam bentuk film biasa. Sangat mudah bagi pihak yang tidak senang untuk mengatakannya sebagai “dramatisasi berlebihan”, “fantasi-imajinasi sutradara belaka”, “ selingkuh fakta” dan lain-lainnya. Sepertinya akan lain ceritanya jika film dokumenter yang berbicara. Karena sutradara akan dapat memajukan saksi-saksi hidup pelaku sejarah untuk menceritakan kejadian di Balibo secara langsung. Kalau sudah mereka yang cerita, nah mau dibilang apa lagi coba ? Ya endak ?
“Sayang di negara kita masih sedikit pihak yang berminat pada dokumenter, baik itu dari pihak penonton maupun dari para aktivis perfilmannya itu sendiri”, lanjut Bang Daus. Saya memandang bahwa dari sisi image, film dokumenter itu terkesan serius, berat, perlu pemikiran mendalam, kolot, filmnya “orang tua”. Wajar jika masyarakat penonton kita kurang menyukainya. Anda sendiri tahu, di zaman sekarang, kita ini ialah bangsa penikmat seni murahan, pemikir yang ringan-ringan, mudah terbuai oleh drama kelas teri. Lihat saja, kita lebih senang menonton sinetron-sinetron tak bermutu, film-film misteri yang tidak keruan, infotaintment-infotaintment yang berita-beritanya amat tak penting, atau film-film cinta picisan yang tak menggugah. Dengan kondisi seperti ini, maklum kiranya jika para pebisnis film ogah-ogahan membuat film dokumenter. Apalagi pertimbangannya kalau bukan soal duit. Jika berani membuat film yang berada di luar garis pasaran itu berarti namanya “bunuh diri”.
“Padahal banyak hal yang mesti disuarakan, yang harus dipihaki, terutama dari kalangan masyarakat bawah, rakyat kecil”, tambah Bang Daus. Waktu beliau mengatakan itu, di benak saya terbayang-bayang tentang Mbok Minah yang dipenjara satu bulan hanya gara-gara maling biji kakao tiga butir, tentang Manisih yang juga dipenjara satu bulan lantaran mencuri sisa tak terpakai dari produksi kapas, tentang Kholil dan saudaranya yang harus meringkuk 15 hari di bui karena (terpaksa) nyuri sebuah semangka, dan yang serba tak enak dirasa nurani lainnya.
“Mari kita tunggu saja”, kata saya menutup diskusi dengan nada setengah putus asa. Maksud saya, mari kita tunggu saja keadaan perfilman di negara kita saat ini berubah. Ya, saya hanya ber-husnudzaan, berprasangka baik, pada sang waktu. Barangkali seiring bergulirnya masa, kondisi yang menyedihkan ini berubah sendirinya. Mungkinkah itu ? Mmmm… sayapun ragu.
Sebab bagaimanapun selalu mesti ada pihak yang menjadi pendorong, pendobrak, katalisator perubahan. Selalu mesti ada pihak yang memancing. Dalam kesempatan ini, mumpung selagi saya ikutan Djarum Black Blog Coimpetition Vol. 2. Saya sumbang saran kepada Djarum Black untuk melebarkan sayap salah satu event unggulannya, yakni Black Innovation Award. Untuk periode lomba berikutnya, barangkali dapat dimasukkan bidang inovasi perfilman, khususon untuk pembuatan film dokumenter. Atau mungkin Djarum Black lebih enak untuk memisahkan event ini sendirian, katakanlah munculnya sebuah program lagi bertajuk Black Documentary Award. Mmmm… Black Documentray Award… It’s sound nice, isn’t it ?
No comments:
Post a Comment