Sunday, January 10, 2010
MERENUNGI KEMACETAN
Banyak pakar memprediksikan bahwa pada titik puncaknya nanti, kemacetan jalan raya akan sampai di depan pintu-pintu rumah kita. Artinya, begitu kita mengeluarkan kendaraan dari garasi, kita langsung terjerumus ke dalam rangkaian panjang antrian kendaraan. Terdengar lebay, namun ramalan ini didasarkan para pengamat kepada fakta tingkat pertumbuhan kendaraan yang sudah seperti marmot beranak. Agak lebih pasti terjadi dari pada perkiraan kiamat pada tahun 2012.
Dalam rangka mengantisipasi terjadinya ramalan mengerikan itu, beberapa tahun lalu Pemprov DKI melakukan studi banding ke Bogotta, Kolombia. Pulangnya, mereka membawa oleh-oleh busway dan monorail. Kota besar lain yang memiliki kekhawatiran sama akan bahaya kemacetan, terpancing ikut-ikutan. Alhasil, meskipun tidak sama persis, di Yogyakarta kini telah beroperasi TransJogja. Belakangan, Bandung menerjemahkan busway-nya Jakarta itu ke dalam konsep tidak keruan yang bernama Trans Metro Bandung (TMB). Adapun ide monorail dikembangkan menjadi kereta api subway, namun karena setelah dipikir-pikir agak mustahil, beralihlah lirikan Pemkot ke moda transportasi model mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT).
Reorientasi masyarakat kepada penggunaan transportasi umum, dipandang merupakan cara paling efektif untuk mengurangi dan mencegah kemacetan agar tidak bertambah kronis. Di berbagai media massa, masalah kualitas transportasi umum yang tak memuaskan sering juga dikambinghitamkan sebagai penyebab kenapa masyarakat lebih memilih membeli dan menggunakan kendaraan pribadi yang ujung-ujungnya berbuah kemacetan. Asumsi teoritiknya simple saja; jika masyarakat lebih memilih menggunakan transportasi umum, maka otomatis kendaraan-kendaraan pribadi mereka takkan terpakai, niat untuk membeli kendaraan merendah dan dengan demikian berarti jumlah kendaraan di jalanan akan berkurang.
Mengusahakan agar masyarakat lebih menyukai bepergian dengan transportasi umum, memang salah satu upaya yang mesti ditempuh dengan serius. Namun sebetulnya, usaha ini belum menyentuh area inti dari permasalahan kemacetan. Singkat kata, baru di kulitnya saja. Jika kita mengorek sampai mengoyak dagingnya, maka akan kita temukan bahwa core problem kemacetan ini ada pada soal budaya konsumsi masyakarat zaman sekarang.
Di dunia bisnis modern, gerak perusahaan bukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat lagi, tetapi menjurus ke arah menciptakan kebutuhan di masyarakat. Mengenai hal tersebut, two thumbs up untuk industri-industri otomotif yang berhasil menciptakan kebutuhan baru di masyarakat, yakni kebutuhan primer untuk memiliki mobil dan motor. Semua lapisan masyarakat; kere-kaya, tua-berondong, cowok-cewek, tamatan SD-jebolan universitas, semuanya dicekoki paham mobil-isme serta motor-isme secara merata. Pada tahapan selanjutnya, pemenuhan kebutuhan inipun bergerak dan berubah ke dalam bentuk baru yang disebut gaya hidup. Dengan kata lain, kini masyarakat cenderung ingin memiliki kendaraan bukan karena asas kebutuhan lagi tapi lebih karena trend-nya sekarang sedang seperti itu. Bila dianalogikan, fenomena kepemilikan kendaraan sudah sama seperti kasus kepemilikan HP (hand phone).
Dikarenakan persoalan kepemilikan kendaraan pribadi ini sudah mencapai taraf life style, maka solusi mengurangi kemacetan dengan peningkatan kualitas angkutan umum atau pembuatan angkutan umum model baru, tidak akan memecahkan permasalahan. Peribahasa mengatakan; anjing menggonggong, kafilah berlalu. Pada akhirnya yang menaiki angkutan umum hanyalah orang-orang yang kebetulan sampai saat itu belum punya kendaraan pribadi atau mungkin kendaraannya sedang ngadat. Sementara mereka yang sudah punya mobil-motor pribadi tetap bertahan dengan kendaraan mereka masing-masing, di samping jumlah golongan ini juga akan cenderung terus bertambah. Bukti kongkritnya silakan saja lihat sejauh mana dampak busway terhadap menurunnya tingkat kemacetan di Jakarta; Apakah dampaknya signifikan ? Anda, sebagaimana halnya saya mungkin akan geleng-geleng kepala. Empuknya tempat duduk, dinginnya udara ber-AC dan jalur yang dijamin bebas macet, ternyata belum mampu menarik orang untuk beralih ke busway. Adapun di sisi lain, kendaraan – terutama motor – semakin banyak menyemut di jalanan.
Keputusan Kecil yang Tiran
Di sisi lain, gaya hidup berkendaraan ini, selain menumpulkan keefektifan transportasi umum dalam mengurangi kemacetan, ia juga mencerminkan betapa semakin hari manusia ternyata semakin arogan dan egosentris. Rasa kebersamaan dan kepedulian berkurang secara drastis. Hirsch menyebutnya sebagai “the tyranny of small decisions”. Pertimbangan bahwa jika saya membeli mobil atau motor, maka akan berdampak pada kemacetan atau kerusakan lingkungan menjadi hilang, yang terpenting ialah saya bisa punya kendaraan.
Dalam tataran sederhana arogansi itu terlihat ketika seorang anak remaja mengganti knalpot motornya dengan knalpot racing, yang menurut dia keren tapi bikin orang ingin ngelempar bata padanya. “Kejam benar kalian, sekalian saja istri saya kalian rampas”, pekik eks-Bupati Pelalawan, Azmum Jafar, saat menolak permintaan tim KPK agar beliau sudi menandatangani berita acara penyitaan rekening-rekening miliknya yang diduga diisi dari uang haram hasil korupsi. Nah, kalau yang barusan ialah contoh perilaku egosentris pada tataran yang lebih tinggi lagi.
Semangat Untuk Pulih
Kembali ke soal kemacetan lalu lintas. Oleh karena itu, harus diberlakukan hukum qishash; urusan mata dibayar mata, hutang tangan dibayar tangan, hilang nyawa diganti nyawa. Maka permasalahan kemacetan yang lebih karena gaya hidup dalam berkendaraanpun harus dipecahkan melalui langkah-langkah yang langsung menusuk ke wilayah ini. Apa bentuknya ?
Tentu saja mari kita mulai dari hal yang paling kecil, yaitu dengan dimulai dari diri kita sendiri dulu. Sebelum kita mengambil sebuah keputusan kecil namun tiran, dengan cara membeli kendaraan, mari kita tanya diri kita sendiri; Apakah saya sudah betul-betul butuh beli mobil/motor ? Sejauh apa saya membutuhkan kendaraan ?
Mari kita sama-sama belajar adil. Dalam konsep Islam, adil ialah “wad’u syaiin a’la mahalihi”, atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Nasional RI berarti “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Makna sederhananya; kalau memang butuh ya belilah kendaraan, tapi kalau memang tak perlu atau hanya sekadar “panas” oleh trend saja maka janganlah ia dibuat seolah-olah butuh.
Terlihat mudah namun sebetulnya memerlukan usaha keras untuk bisa mencapai taraf itu. Sejujurnya, penulis sendiripun ragu bisa se-adil tersebut. Salah satu kendalanya ialah toleransi kita yang amat tinggi terhadap kelaziman zaman. Maksudnya, sering kali kita memandang sesuatu yang tak perlu itu tetap harus dilaksanakan hanya karena alasan; memang zamannya sudah berubah, memang tuntutannya sudah berbeda, toh semua orang juga begitu.
Bahanyanya toleransi yang semakin tinggi ini rupanya dapat menular pada hal-hal lain yang menurut kaca mata saya lebih gawat dari masalah kemacetan. Anak si anu married by accident, kita bergumam; “Ah wajar, memang zamannya”. Si B dan si C cerai, padahal baru setahun menikah, kita berkomentar; “Ah biasa, memang zamannya”. Pejabat D korupsi uang rakyat triliunan rupiah, kita menanggapi; “Ah maklum, sudah zamannya”.
Semakin banyak toleransi, semakin kita terbiasa menganggap sesuatu yang urgent sebagai collateral damage semata. Kerusakan sampingan, kalau kata orang kedokteran; side effect. Ya, kita pun sadar bahwa efek samping selalu ada. Kitapun sepertinya setuju dengan Pincus (1972) yang menggambarkan soal efek samping ini melalui pernyataan puitis; “there is no growth without pain and conflict”. Kemacetan dan kerusakan lingkungan ialah dampak ikutan dari pertumbuhan masyarakat yang semakin maju dan modern. Namun tentu saja, kesadaran ke arah sana tidak berarti harus melumpuhkan semangat kita untuk memulihkan pain dan conflict yang timbul seiring bergulirnya roda waktu. Pain yang dirasakan alam akibat asap-asap beracun kendaraan, masih bisa kita perbaiki dengan usaha-usaha pelestarian lingkungan. Conflict sosial yang timbul karena stress kemacetan, masih bisa kita redam dengan perilaku konsumsi yang bijak. Dan mudah-mudahan semangat memulihkan kondisi yang rusak ini tidak hanya di soal kemacetan saja, tetapi juga merambah pada aspek-aspek lain yang sudah masuk stadium genting.
Label:
Macet,
Sosial-Politik,
Transportasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
nice share bro...
ReplyDeletematur nuwun bang ilham...
ReplyDelete