Thursday, January 14, 2010

CITRA BESAR DAN SUB-CITRA

"Citra kecil diabaikan, citra tandingan diyakini."


Semua perusahaan selalu dan pasti akan memberikan citra tersendiri terhadap jenis-jenis produk buatannya. Citra, kesan, atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan image, merupakan salah aspek yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih produk tertentu. Seperti manusia, sebuah produk tidak memiliki citra tunggal. Ada banyak citra yang terkandung dalam sebuah produk, yang kesemuanya bernaung pada satu citra utama atau grand image. Pada kenyataannya, konsumen lebih melihat sebuah produk dari grand image-nya. Adapun sub citra-sub citranya diabaikan, bahkan kerap kali dinilai tidak relevan dengan produk tersebut. Berbicara mengenai grand image, hal ini tidak akan jauh-jauh dari seputar soal; (1) strata sosio-ekonomi konsumen, (2) jenis kelamin konsumen, dan (3) usia konsumen.


Mari kita lihat secara jelas hal ini melalui fenomena-fenomena di dunia bisnis rokok. Ambil contoh rokok Djarum Black. Dilihat dari event-event yang digelarnya, seperti Black Innovation Award atau Autoblackthrough dan konsep-konsep iklannya, Djarum Black seolah mencoba membangun image bahwa rokok Djarum Black ialah rokoknya kaum muda-mudi yang kreatif-inovatif. Ide-ide spektakuler senantiasa akan mengalir seiring anda menghisap dan menikmati rokok ini. Sementara jika dilihat dari agenda-agenda acara lainnya seperti Black Motodify, Black Car Community, Black Motor Community. Djarum Black mencoba mengesankan bahwa rokok Black merupakan rokoknya kaum penggemar dan penggelut dunia otomotif.


Rokok merek lain ada yang mencitrakan bahwa rokok mereka adalah rokoknya pria yang benar-benar pria, betul-betul macho dan maskulin. Ada juga yang menampilkan kesan bahwa rokok ini adalah rokoknya mereka yang senang bersahabat, lebih mementingkan teman di atas segala hal, menunjukkan semangat kebersamaan, kelanggengan sebuah hubungan. Sampai ada yang menampilkan image bahwa rokok mereka adalah rokoknya kaum penggemar mobil antik jenis dan merek tertentu.


Sama halnya dengan produk-produk lain, seperti yang telah diutarakan pada paragraf awal, citra-citra kecil sering kali diabaikan. Tolak ukur yang digunakan konsumen tetap bertumpu pada grand image si produk.


Betapapun Djarum Black berkeras menonjolkan kesan inovatif-kreatif, penggila otomotif, inspiratif, berpikir menembus batas. Di mata masyarakat, tetap yang melekat adalah rokok ini rokoknya masyarakat kota dengan tingkat ekonomi menengah ke atas (strata sosial-ekonomi), tidak cocok dikonsumsi orang tua (usia), dan dapat dinikmati baik oleh pria maupun wanita (jenis kelamin). Bicara mengenai aspek jenis kelamin, di masyarakat berkembang sebuah pandangan diskriminatif tersendiri, yakni bahwa rokok jenis mentol ialah rokok khusus untuk kaum hawa saja.


“Kegagalan” penerapan citra-citra kecil juga dialami oleh rokok-rokok merek lain. Sesanter apapun rokok Djarum Coklat menayangkan iklan dan menggelar event yang sifatnya untuk kalangan pemuda, apalagi dengan merangkul grup band icon anak muda seperti Gigi dan Nidji. Tanpa bermaksud merendahkan, lebih-lebih menghina, namun realitas menunjukkan bahwa tetap saja rokok ini dicap masyarakat sebagai rokoknya “tukang-tukang becak” (strata sosial-ekonomi), rokoknya kalangan sepuh (usia), dan amat-amat tidak cocok bagi wanita (jenis kelamin). Sekali lagi saya tekankan, tidak ada niatan saya untuk merendah-rendahkan rokok Djarum Coklat.


Citra-citra kecil gagal diserap masyarakat karena biasanya pencitraan ini jauh dari akal-rasional; “Apakah anda akan menilai bahwa orang yang merokok Gudang Garam itu seorang yang lebih maskulin, nekad, dan pemberani dari anda ?”. Terlalu jauh untuk menghubung-hubungkan hal-hal semacam itu. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah kemunculan “citra tandingan”. Citra tandingan ialah citra yang tercipta secara sendirinya di kalangan masyarakat akan suatu produk, biasanya timbul dari penilaian masyarakat terhadap kalangan mana yang mayoritas mengkonsumsi produk tertentu. Ketika sebuah rokok dijual dengan harga relatif murah, sebut saja Rp. 5000, dan dengan harga tersebut membuat rokok ini lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah, maka akan terbentuk belief di masyarakat bahwa rokok tersebut ialah rokoknya rakyat kecil, tidak eksklusif atau mungkin kurang “bergengsi”. Dari sini kita melihat bahwa kemunculan citra tandingan tidak bisa lepas dari pangsa pasar yang ditargetkan oleh perusahaan itu sendiri. Spesifikasi jenis produk juga menjadi faktor lainnya. Di dunia rokok-merokok, apakah rokok itu kretek atau filter, “rokok putih” atau bukan, tampilannya eye catching atau tidak, sangat menentukan penilaian konsumen.

Bagaimanapun, citra-citra kecil tetap harus ditonjolkan. Di satu sisi, ia berperan sebagai pembeda, menjadi ciri khas produk. Di sisi lain, ia juga merupakan sesuatu yang akan lebih memudahkan perusahaan dalam mengadakan kegiatan-kegiatan di masyarakat, entah itu yang sifatnya promosi, kompetisi ataupun pengabdian (social responsibility). Jika citra kecil suatu perusahaan ditenggelamkan oleh perusahaan itu sendiri. Besar kemungkinan masyarakat akan merasa “kesepian”. Sebagai contoh, bila Djarum Black memadamkan event Black Innovation Award, maka perusahaan rokok mana lagi yang akan serius menyorot soal kreatifitas ?

No comments:

Post a Comment