Ada sesuatu yang membuat saya geli ketika secara tak sengaja melihat sebuah tayangan film televisi (FTV). Latar ceritanya kehidupan anak muda kuliahan di ibu kota, Jakarta. Tema ceritanya, klasik, kisah cinta seorang pemuda daerah pada seorang gadis kota besar yang gaul. Semakin bertambah klasik, karena si gadis ialah primadona kampus, diincar oleh ratusan cowok sekampus. Derajat klasiknya naik setingkat lagi, karena si gadis gaul yang juga primadona itu sedang didekati oleh seorang mahasiswa ganteng, kaya raya, playboy, dan populer di kampus. Saya kira tingkatan klasiknya tidak akan bertambah lagi, tahunya si mahasiwa populer yang memburu si gadis primadona tersebut, rupanya digila-gilai oleh seorang mahasiswi cantik yang merupakan rival si gadis primadona dalam hal ke-primadona-an. Fiuh… inilah hasilnya, sebuah film kisah romantis remaja dengan derajat klasik pangkat empat. Luar biasa ! Kreatif banget kan sutradaranya ?
Sebetulnya, apa yang membuat saya geli sih bukan ceritanya. Tapi gambaran salah satu tokoh utamanya yang saya sebut pertama, yakni si pemuda daerah. Ia orang Sunda. Logat bicaranya yang kental dengan aksen Sunda, membuat tertawa setiap orang yang mendengarnya. Gaya pakaiannya ialah apa yang disebut anak-anak zaman sekarang sebagai culun. Pikirannya polos, ia tak banyak tahu tentang kehidupan gaul anak muda di kota besar macam Jakarta. Singkat kata, orang ini udik alias kampungan alias kampring alias alay.
Lebih spesifik lagi, yang membuat saya geli adalah; Kenapa selalu harus orang Sunda ? Bukan baru sekali-dua kali saya menonton film yang tokoh utamanya digambarkan sebagai orang Sunda kampungan. Senasib dengan orang-orang Sunda, ialah mereka dari ras Jawa. Bedanya, orang Sunda menjadi kampungan karena selalu diceritakan berasal dari pelosok desa. Sedangkan orang Jawa digambarkan dari kalangan ningrat sebagai penyebab mereka jadi alay. Saya mungkin teralu sensitif SARA. Orang mengatakan; “Sudah lah San namanya juga film, penuh dengan dramatisasi”. Namun terus terang, penggambaran tersebut membuat tidak nyaman hati. Ditambah lagi sebuah fakta bahwa masih relevankah mengangkat tokoh berkarakter kampungan karena berasal dari daerah ? Mengingat “budaya gaul kota besar” kini sudah merambah secara merata ke penjuru daerah. Sampai saya sudah tak aneh lagi mendengar percakapan “lu” dan “gue” di kampung saya, Sukabumi.
Dalam salah satu acara talkshow, Kang Ibing pernah mengatakan bahwa pencitraan orang Sunda sebagai polos dan kampungan itu tak bisa lepas dari pandangan umumnya masyarakat terhadap tokoh cerita termasyhur dari tanah Sunda, yaitu Si Kabayan. Tidak perlu banyak perdebatan, dalam cerita-ceritanya, Si Kabayan memang diilustrasikan sebagai lelaki pemalas, berpikiran konyol, dan lugu.
Akan tetapi, kisah-kisah komedi Kabayan ternyata merupakan komedi satir (satire). Jika direnungkan lebih dalam, pola perilaku Kabayan yang mengundang tawa itu memiliki pesan-pesan moral. “Begitulah cara orang dahulu mengajarkan moral, selalu lewat cerita”, kata Kang Ibing. Lebih lanjut lagi kata Kang Ibing, “Penyampaiannya dalam bentuk komedi melalui tingkah Kabayan yang lucu merupakan ciri khas orang Sunda yang senang guyon, berkelakar”.
Coba kita lihat salah satu kisah Kabayan berikut. Diceritakan Kabayan sedang tidur-tiduran di bawah pohon caringin (beringin). Sambil menikmati teduhnya tiduran di bawah beringin, Kabayan bergumam; “Tuhan tuh gimana sih ? Pohon segini gedenya, tapi kok buahnya kecil-kecil, tidak adil, aturan sih pohon segede gini buahnya itu minimal segede duren !”. Selagi Kabayan tertidur, tiba-tiba jatuh sebutir buah beringin dan Kabayanpun terperanjat kaget. Seketika ia berkata; “Untung buahnya kecil, coba kalau segede duren, matilah aku !”.
Cerita berakhir sampai di situ dan pendengar tertawa karena betapa tololnya Kabayan yang tak punya pendirian. Namun sejatinya kisah itu ialah satir, ejekan kepada kita. Ya, sindiran kepada kita yang selalu gegabah dalam menghakimi Tuhan, yang selalu tak sabar dalam menghayati hikmah-hikmah dari apa yang Tuhan berikan.
Tokoh Kabayan dengan komedinya yang satir ditemukan di seluruh pelosok daerah. Di tanah Sumatra, kita mengenal kisah Pak Belalang Si Ahli Nujum. Jauh di sana, di tanah Arab, ada Nasrudin Hoja, tokoh komedinya kalangan sufi.
Kabayan ternyata tak sebodoh yang kita kira. Hanya kitalah yang terlalu cepat-cepat mengambil kesimpulan. Saya yakin, para blackmania tidak akan seceroboh orang kebanyakan dalam melihat sesuatu. Sebab Djarum Black telah membiasakan penggilanya untuk berpikir secara kritis. Terlihat dari event Black Innovation Award-nya atau gelaran autoblackthrough. Di mata masyarakat, lemari ialah lemari, sebuah benda penyimpan barang. Tapi di mata black innovator, lemari adalah sebuah perahu yang dapat menyelamatkan nyawa dari musibah banjir. Di mata masyarakat, mobil adalah mobil, sebuah alat angkut bermesin semata. Bagi para peserta autoblackthrough, mobil ialah layaknya kanvas bagi para pelukis. Kritis, ya Djarum Black “mengajarkan” kita untuk melihat sesuatu sebagai “sesuatu” yang lain.
No comments:
Post a Comment