Tidak setiap hari semangat nasionalisme kita membuncah dan hadir mewarnai rutinitas sehari-hari. Namun ada satu momen yang pada saat itu jiwa cinta tanah air kita sama-sama terpanggil. Saat itu ialah pada tanggal 17 Agustus. Dipikir lebih dalam, agak keterlaluan memang karena rasa nasionalisme kita hanya keluar sekali setahun. Tapi itu lebih baik, dari pada tidak pernah sama sekali. Di dalam nasionalisme terkandung unsur kebanggaan; “Bangga menjadi rakyat Indonesia”. Theory of reasoned action di dalam ranah psikologi mengatakan bahwa tidak ada satupun tindakan manusia – baik itu secara mental (berpikir, memiliki perasaan tertentu) ataupun secara fisik (tindakan nyata) – yang benar-benar volunteer atau muncul serta merta begitu saja. Setiap tindakan pasti ada ada reason-nya. Oleh karenanya ketika kita merasa bangga menjadi bangsa Indonesia, semestinya kita punya alasan mengapa kita bangga akan negeri tercinta ini. Singkat kata, kita harus bisa menjawab pertanyaan; “Bangga karena apa ?”
Soal rasa bangga ini krusial. Sebab jika rasa kebanggaan saja sudah hilang, maka bagaimana mungkin nasionalisme akan muncul ? Pada akhirnya, nasionalisme yang muncul semu belaka, hambar. Kongkritnya, nasionalisme itu hanya mewujud sebatas luapan kegembiraan dapat mengikuti lomba makan kerupuk atau balap karung pada pesta pora 17-an. Hilang nasionalisme sejati, maka hilanglah will untuk dapat memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa. Padahal, memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa itu tidak selalu harus melalui perbuatan yang “wah”. Ketika anda ditilang polisi dan menolak dengan keras “ajakan 86” dari pak polisi, itu adalah kontribusi positif bagi negara. Karena anda jujur, uang tilang bisa selamat dari oknum polisi, masuk ke kas pemerintah dan menambah pundi-pundi pemerintah untuk menjalankan roda kegiatannya yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Dari sini kita berbaik sangka saja kalau uang anda tidak berakhir di dompetnya orang-orang macam Gayus.
Bangga merupakan suatu penilaian positif dalam diri seseorang. Ia muncul berdasarkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Sullivan, salah satu tokoh psikoanalisis, mengatakan bahwa konsep diri yang baik akan terbentuk dan berkembang pada diri seorang anak dari hubungan yang menyenangkan antara dia dengan figur ibu. Kita tarik dan analogikan teori ini ke dalam lingkup yang lebih besar yakni hubungan kita dengan NKRI. Setiap diri kita ini adalah “anak” dari “ibu pertiwi”. Sebagai “anak”, kita akan merasa bangga akan “sang ibu” dan bangga menjadi “anak bangsa”, jika kita mengalami hubungan yang memuaskan dengannya. Sebaliknya, jika tidak, gambaran negatiflah yang muncul; kita benci pada negara dan merasa hina menjadi bagian dari bangsa ini. Hal terakhir inilah yang mengkhawatirkan.
Kekhawatiran akan hilangnya kebanggan pada bangsa kiranya cukup beralasan. Karena belakangan ini, situasi negara lebih banyak melibatkan kita dalam suatu hubungan yang menegangkan, membingungkan, prihatin, kemarahan dan kejengkelan. Kita geram ketika terbongkar ke publik soal skandal Bank Century. Kita tercengang ketika kasus Gayus dan mega skandal pajak di Surabaya terkuak. Kita prihatin dengan ledakan demi ledakan gas elpiji 3 kg yang meluluhlantakkan pemukiman-pemukiman miskin. Kita sedih melihat kondisi para pengungsi Timor Timur yang dibiarkan hidup melarat, padahal mereka telah menunjukkan patriotisme tinggi, lebih memilih Indonesia dari pada bersatu jadi bagian Timor Leste. Kita malu punya timnas sepak bola yang oleh Laos saja kalah, padahal dulu negara tersebut sering kita permalukan.
Dalam kondisi bangsa yang carut marut, wajar jika rasa kebanggan akan surut bahkan hilang sama sekali. Pada keadaan seperti ini, Nabi Muhammad SAW memiliki tips tersendiri bagi kita. Beliau menyarankan agar kullu haalin Alhamdulillah, yakni ber-Alhamdulillah di setiap kejadian apapun. Mensyukuri suatu momen menyenangkan adalah hal mudah. Lain halnya jika kita sedang berada dalam situasi mencemaskan, kita akan dibuat bingung dengan pertanyaan; “Apa yang harus disyukuri ?” Sesungguhnya, bersyukur ketika mengalami kejadian tidak menyenangkan sama mudahnya dengan bersyukur untuk pengalaman menggembirakan. Apa yang diperlukan ialah proses berpikir out of the box, mampu melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang unik.
Saat hati bosan menyimak berita demo mahasiswa di Makasar berujung bentrok dengan aparat kepolisian. Kita Alhamdulillah, karena hanya sebatas saling lempar batu, tidak sampai mahasiswa itu digilas roda tank baja seperti di Tiananmen. Ketika malu kedapatan timnas kita keok oleh Laos, gagal di Piala Asia. Kita bersyukur, karena momen tersebut justru memacu pemerintah untuk meningkatkan prestasi timnas sepak bola, olah raga paling mahal di negeri kita, tidak malah menghukum skuad timnas dengan menjadikannya pekerja paksa seperti yang dialami timnas Korea Utara pasca Piala Duia kemarin. Waktu kita marah akan kelalaian pemerintah dalam menginventaris budaya-budaya bangsa, sehingga dijarah oleh Malaysia. Kita Alhamdulillah, karena hal ini tidak menimbulkan aksi balas dendam, menyabot Ipin & Upin sebagai kartunnya orang Indonesia, kita bersyukur masih punya martabat untuk tidak menjarah kekayaan budaya bangsa lain.
Intinya, selalu ada segi positif bahkan dalam perisitwa yang pahit sekalipun. Tinggal bagaimana cara kita melihat hal tersebut. Jika kita tetap dapat membangun gambaran positif tentang bangsa, betapapun kacau balaunya keadaan negara ini, maka kebanggaan pada bangsa senantiasa tetap terjaga. Rasa bangga yang akan terus menyalakan api nasionalisme dalam dada kita masing-masing. Dengan selalu mencari sisi positif dan mensyukurinya, pada akhirnya kita akan menemukan jawaban dari pertanyaan genting; “Apa yang membuat anda bangga menjadi bangsa Indonesia ?”
memajukan bangsa dan mencintai Indonesia salah satunya dengan bersikap optimis dan berpikiran positif, minimal memajukan diri sendiri dulu :)
ReplyDeletemasih banyak kok hal yang bisa dibanggakan dari indonesia