Friday, August 20, 2010

KEPUASAN BERAGAMA

Pendekatan perbandingan-interpersonal dalam ranah psikologi industri memiliki dalil bahwa untuk mengetahui apakah diri merasa puas atau tidak selama bekerja, individu akan membandingkan dirinya dengan orang lain. Jika karyawan menilai bahwa ia selalu berusaha lebih keras dibanding rekan kerjanya namun tetap mendapat besar gaji yang sama atau malah lebih rendah, maka ia akan merasa kalau perusahaan telah bertindak tidak adil. Perasaan tidak adil ini akan membawanya pada ketidakpuasan. Ketika karyawan sudah merasa tidak puas dengan pekerjaannya, alternatif kemungkinannya ada tiga; kinerjanya menurun, ia bertindak indisipliner atau keluar dari perusahaan.


Membandingkan kondisi diri dengan orang lain untuk menakar keadilan, tidak hanya terjadi dalam konteks pekerjaan, yakni hubungan manusia dengan manusia. Hal ini juga berlangsung pada hubungan manusia dengan Tuhan, Allah SWT. Ini berarti, adil atau tidaknya Allah di mata seseorang, diputuskan melalui perbandingan diri orang tersebut dengan orang lain. Mulanya individu menilai dulu seberapa patuh dirinya dalam menjalankan perintah Allah, kemudian menghitung apa yang diperolehnya dari Allah sebagai hasil kepatuhannya tersebut. Hasil penilaian diri itu kemudian ia bandingkan dengan apa yang terjadi pada orang lain. Individu cenderung akan merasa bahwa Allah telah bertindak tidak adil terhadap dirinya ketika melihat kenyataan bahwa dirinya yang merasa lebih saleh dari orang lain ternyata hanya mendapatkan kesenangan hidup yang tidak jauh berbeda bahkan sering kali lebih susah dibanding orang yang ia nilai tidak taat agama sama sekali.
Sama halnya dengan situasi pekerjaan, perasaan ketidakadilan pada Allah ini juga akan menimbulkan ketidakpuasan. Di tahap tidak puas ini, individu mengalami suatu krisis ke-Tuhan-an. Kemungkinan yang terjadi berikutnya ada tiga; 1) individu berintrospeksi, menimbang ulang kalau sebenarnya ia tidak se-saleh yang ia kira, 2) motivasi beribadah individu menurun, atau 3) individu memutuskan untuk “cerai” sama sekali dengan Allah. Dua keputusan yang terakhir ialah yang paling sering dan sebetulnya manusiawi terjadi. Sesuatu yang wajar karena dipikir-pikir buat apa capek-capek jungkelik-jungkedang shalat ini-itu kalau kebahagiaan yang kita dambakan tak kunjung tiba, hidup sama saja dengan orang yang ibadahnya tak se-intens diri kita dan bahkan sering kali keadaan hidup kita lebih berat.
Kita pasti pernah mengalami situasi kritis tersebut. Pada kondisi demikian, idealnya kita mampu memilih keputusan yang pertama, yakni menjalani introspeksi yang hasilnya tidak sebatas memacu kita untuk mempertahankan melainkan juga meningkatkan kedekatan diri kita kepada Allah. Nampak mudah, padahal sulitnya bukan main. Bukan suatu yang mustahil bila proses introspeksi malah semakin memperkuat sangkaan bahwa Allah Yang Maha Adil rupanya malah tidak adil. Untuk mempermudah kita untuk berintrospeksi yang berbuah positif, melalui Al-Quran, Allah mengenalkan pada kita tentang konsep istidraj.
Bila diterjemahkan dalam Bahasa Sunda, istidraj bermakna nyungkun. Melalui konsep istidraj ini Allah menjelaskan kepada kita bahwa memang ada orang-orang yang sering berbuat dosa, gemar melanggar ajaran agama, akan tetapi justru malah Allah berikan ia kesenangan dan kemudahan hidup di dunia. Namanya juga nyungkun, Allah memberikan segala kesenangan tersebut tanpa disertai ridho-Nya. Secara gamblang, Allah menyebutkan bahwa tujuan-Nya memberikan kesenangan itu ialah untuk semakin menjauhkan orang-orang yang sesat tersebut dari-Nya (QS.45:23). Hingga si orang-orang tidak taat itu tambah terbuai dengan kehidupan duniawi, semakin lupa akan kehidupan akhirat, kian menjadi-jadi sifat sombongnya bahwa keberhasilannya itu tanpa campur tangan Allah. Istidraj sendiri sebenarnya merupakan cerminan dari sifat Ar-rahman Allah. Dia biarkan orang-orang yang ingkar pada-Nya bersenang-senang dahulu di dunia, karena di akhirat nanti mereka akan menderita dengan siksa keras dari-Nya. 

Mengenal dan meresapi konsep istidraj akan menyelamatkan diri kita dari bahaya krisis ke-Tuhan-an. Kita justru akan bersyukur dengan segala rintangan dan kesulitan yang Allah berikan kepada kita. Sebab hal tersebut pada hakikatnya ialah ujian untuk menempa kekuatan iman dan takwa kita (QS.47:31). Jika kita paham benar soal istidraj, maka ketika kita melihat ada seorang yang tidak taat agama namun sukses duniawinya bukan kepalang, perasaan bahwa Allah tidak adil akan sirna dan malah kita akan segera mengucap doa perlindungan; naudzubillahimindzalik, memohon agar jangan sampai jadi orang lupa akhirat semacam dia.

No comments:

Post a Comment