“San gimana sih caranya nulis ?”
Sebuah pertanyaan yang
dulu begitu sering saya terima, baik dari teman-teman di lingkungan kampus
maupun dari pengunjung atau penyiar radio ketika berada dalam acara talk show. Waktu itu secara beruntun
saya menulis tiga buah buku yang kesemuanya dikategorikan penerbit sebagai “buku
psikologi populer”. Sambil senyum (yang sarat kebanggaan diri), sayapun
menjawabnya dengan enteng; “Ah gitu aja lah, duduk depan komputer, terus tulis
deh apa yang ada di kepala, keluarkan saja dulu semuanya, koreksi dan edit itu
belakangan.”
Dipikir-pikir, memang
dulu mudah saja bagi saya untuk mengetik huruf demi huruf. Entah itu untuk
kepentingan menulis buku, ikut sayembara-sayembara penulisan atau sekadar iseng
membuat satu-dua cerpen dan sajak. Apa yang terjadi betul-betul sesuai dengan jawaban
mengentengkan saya; “duduk depan komputer-keluarkan semua yang ada di pikiran.”
Untuk menyalurkan hasrat menulis tersebut, ditambah ada dorongan untuk saling
berbagi pemikiran dengan orang lain, terciptalah blog ini; TULAS-TULIS.
Mulanya tidak ada
kendala sama sekali untuk tulas-tulis
di blog TULAS-TULIS ini. Saya jejali
dia dengan sajak-sajak dan cerpen-cerpen saya yang gagal muat di media cetak
atau kalah dalam perlombaan, resensi dari buku-buku yang saya baca sampai gabungan
materi-materi kuliah. Menulis bahan baru ? No
problemo, lancar-lancar saja. Pada akhirnya, yaaa… bisa dibilang blog ini begitu hidup, demikian juga
dengan diri saya yang saya rasakan begitu bersemangat karena hasrat saya untuk
menulis dapat tersalurkan. Tapi kini lain cerita.
Sekarang terasa
sedemikian sulitnya bagi saya untuk mencurahkan pikiran dalam beberapa kata
saja, hingga blog inipun sampai tak
tersentuh berhari-hari. Padahal dulu, secara berkala, paling tidak seminggu
sekali selalu saya usahakan ada tulisan baru. Malas rasanya melihat monitor komputer
atau beberapa helai kertas bekas untuk saya coret-coreti. Padahal dulu, paling
gemas saya melihat putihnya kertas ms.word
ataupun kertas nyata. Diam-diam sayapun mulai menyalahkan waktu.
Tidak ada yang salah
dengan waktu. Karena ia tak pernah mengurangi dirinya sendiri. Sehari tetap
satu kali siang, satu kali malam. Seminggu tetap tujuh hari dan setahun masih
dua belas bulan baik itu menurut hitungan peredaran bulan atau matahari. Adalah
saya yang mengurangi sendiri waktu saya untuk menulis.
Lelah. Itu saja. Apa yang
membuat saya sampai begitu teganya menyunat kesenangan saya sendiri ialah rasa
lelah. Terutama lelah memikirkan ini-itu soal kerjaan. Sampai ketika saya
pulang ke rumah, sudah jenuh saya melihat layar laptop. Sampai ketika datang
hari-hari akhir pekan, tak mau jauh-jauh aku dari bantal dan guling, menyimpan
pikiran untuk ditulis di alam mimpi. Bahkan untuk satu tulisan curhat yang amat enteng ini, mati-matian
saya menyemangati diri sendiri untuk mau meluangkan waktu sedikit saja.
Yaaa… jika kini ada lagi
orang yang bertanya pada saya; “San gimana sih caranya nulis ?.” Dengan yakin sekarang saya akan menjawab; “Wah, menulis
itu susah !.” Justru saya kini yang akan balik bertanya; “Gimana sih caranya
nulis itu ?.”
Ditulis ketika badan
masih merasakan capek pasca dinas ke luar pulau. Ingin menulis sesuatu tetapi
bingung mau menulis apa karena di otak penuh dengan tumpukan ide yang disimpan-simpan
terlalu lama. Fuh… nulis segini aja langsung kerasa capek…
No comments:
Post a Comment