Saturday, January 30, 2010

BALIK-BOLAK


"Kasih fasilitas mewah dulu baru kerjanya baik atau suruh kerja baik dulu baru kasih fasilitas mewah ?".




Rapat pertanggungjawaban realisasi APBN Tahun Anggaran 2008 yang berlangsung pada Selasa (26/1) lalu dihadiri sedikit anggota DPR. Meski demikian, rapat tetap berjalan karena jumlah yang hadir sudah memenuhi kuorum, yakni lebih dari separuh jumlah anggota dewan hadir, tepatnya 291 orang dari 560 anggota. Jumlah 291 orang itu berdasarkan daftar hadir. Nyatanya, yang duduk mengikuti rapat tidak sebanyak itu. Dengan kata lain, banyak anggota dewan yang cuma tanda tangan absensi doang, lalu kabur entah ke mana. Payah !

Kejadian di atas ialah yang kedua kalinya. Sebelumnya, pada rapat pertama anggota dewan dengan agenda sidang internal, banyak pula anggota dewan yang mangkir. Sungguh mengecewakan, karena ternyata perilaku malas sidang masih tetap dipertahankan para wakil rakyat kita dari periode ke periode. Catatan buruk lainnya ialah kemalasan anggota dewan untuk melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Dari 560 orang, baru tercatat 229 orang saja yang melaporkan kekayaan mereka. Masih ada satu lagi, yaitu bapak-ibu wakil kita itu rupanya malas juga membuat NPWP. Direktorat Jenderal Pajak mencatat bahwa masih ada 113 orang anggota dewan yang tak punya NPWP. Sungguh, teladan buruk bagi rakyat dari wakil rakyat.

Kemalasan anggota dewan, memunculkan pemikiran bahwa di negara kita terjadi logika yang berkebalikan. Seharusnya seseorang mesti menunjukkan dulu prestasi kinerjanya baru mendapatkan haknya atau boleh menuntut apa yang ia minta sebagai kompensasi atas jerih payahnya. Akan tetapi, di negara kita, khususnya untuk soal perlakuan terhadap pejabat negara terjadi yang sebaliknya. Fasilitas mewah diberikan terlebih dahulu dengan harapan kinerjanya bagus. Walaupun ujung-ujungnya selalu tak sesuai harapan. Lihat saja kemalasan anggota dewan kita, padahal baru 3 bulan mereka menjabat sudah diberi kredit tunai, fasilitas komputer mahal, renovasi rumah dinas mewah, dan tak lama lagi, kenaikan gaji.

Mana yang benar antara kedua asumsi; (1) seseorang dituntut untuk menunjukkan performance-nya yang baik dulu baru kemudian diberi kompensasi istimewa, atau (2) kompensasi diberikan terlebih dahulu dengan harapan performance-nya tinggi.

Tergantung konteks, itu jawabannya. Asumsi pertama benar jika konteksnya ialah sebuah kompetisi, perlombaan. Seperti Black Blog Competition Vol. 2 ini. Peserta dituntut untuk menunjukkan dulu kemampuan menulis mereka yang terbaik, baru setelah itu Djarum Black memberikan kompensasi (baca : hadiah) kepada mereka yang best of the best. Para blackinnovator dituntut untuk merealisasikan dulu ide mutakhir mereka, baru kemudian ia berhak mendapatkan reward yang dijanjikan Djarum Black.

Untuk konteks pekerjaan, asumsi kedua yang benar. Bagaimanapun, salah satu faktor yang memotivasi individu untuk bekerja dengan baik ialah adanya imbalan yang sesuai harapan dan keinginan. Walaupun reward (misalnya gaji) baru diterima belakangan, informasi mengenai besaran reward tersebut sudah cukup untuk mendorong individu agar bisa menampilkan prestasi kerja yang baik. Jika seseorang tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, padahal ia merasa sudah bekerja dengan begitu berat, maka akan muncul ketidakpuasan. Contohnya, lihat saja bagaimana para buruh selalu berdemo dan berdemo untuk menuntut hak yang lebih manusiawi.

Jadi, sebenarnya tidak ada logika yang terbalik pada kelakuan pemerintah kita, yakni dengan memberi fasilitas mewah duluan pada anggota dewan dengan harapan kerjanya bagus. Dengan kata lain, perlakuan semacam itu sudah benar. Akan tetapi dengan mempertimbangkan kinerja anggota dewan yang tetap memble meski sudah dikasih ini-itu. Berarti permasalahannya bukan pada soal pemberian fasilitas mewah. Namun kembali ini lebih kepada soal mentalitas masing-masing individu anggota dewan. Dari sudut pandang ini, tindakan pemerintah dengan memberi fasilitas mewah di muka adalah salah besar.

Kesimpulan akhirnya, dalam bekerja asumsi nomor 2 yang tercantum pada paragraf sebelumnya ialah benar. Hanya saja ternyata ini tidak berlaku di negara kita, khususnya pada bapak-ibu anggota dewan yang terhormat. Sepertinya, pada para wakil rakyat ini harus mulai diberlakukan asumsi yang pertama. Peras mereka dulu dengan sekeras-kerasnya untuk membuktikan janji-janjinya waktu kampanye, baru kasih apa yang mereka mau. Bahkan tak perlu digaji kalau tidak bisa buktikan. Mungkinkah hal itu terjadi ? Ya enggak lah… Itu hanya impian ideal saya dan jutaan rakyat Indonesia yang kecewa lainnya.

2 comments:

  1. Harusnya hapuskan saja tuh NPWP. anggota DPR aja enggak mau daftar. Bikin aja pajak final tanpa ahrus NPWP tanpa harus lapor SPT.

    MAsyarakat jangan diam aja kalo dibuat susah pemerintah akrena pajak. APa-apa wajib NPWP, wajib lapor SPT. Bikin susah hidup ini aja. Kedamaian hidup jadi rusak gara-gara NPWP. kenapa orang penghasilan pas-pasan sekarang juga wajib punya NPWP. Pemerintah bikin susah.. Saya mau pilih Presiden yang bebaskan rakyat dari NPWP.

    ReplyDelete
  2. mmm... memang hal tersebut patut dipikirkan... pajak memang kadang kala mencekik.... saya juga mengalaminya....

    ReplyDelete