"Turunnya sebuah fatwa itu merupakan buah hasil pergelutan pemikiran yang panjang. Setuju ya laksanakan. Tidak setuju jangan mencemooh dong".
Sebagai bangsa majemuk yang terdiri dari macam-macam suku, budaya dan agama, perilaku saling menghormati adalah sesuatu yang mutlak agar bangsa ini selamat dari bahaya perpecahan. Kalimat pembuka tersebut sudah tak asing lagi kita temukan. Didoktrin dengan intens sedari kita duduk di bangku SD bahkan sampai memasuki jenjang perkuliahan melalui pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Dalam berbagai kesempatan perayaan hari nasional, pesan tersebut juga kerap kali terselip dalam pidato-pidato yang disampaikan. Ketika marak kejadian-kejadian perbenturan antara dua kelompok yang saling berlainan, contoh; konflik Poso, konflik Sampit, ribut aliran Ahmadiyah dan Lia Eden, doktrin saling menghormati ini santer digaungkan.
Anehnya, pesan saling menghormati demi persatuan bangsa selalu hilang ketika muncul kasus kontroversi fatwa-fatwa dari MUI atau lembaga-lembaga Islam lainnya. Alih-alih menghormati pendapat-pendapat para ulama, yang tentunya pemikiran tersebut timbul melalui proses yang panjang dan matang. Apa yang lebih sering terjadi ialah nada-nada miring yang menghujat fatwa-fatwa tersebut. Seolah para ulama ialah sekumpulan orang yang merasa berkuasa, yang gegabah menetapkan putusan atas suatu perkara. Kritik negatif tidak hanya terjadi pada fatwa yang belakangan hangat diperbincangkan, yakni tentang haramnya rebounding rambut, tukang ojeg perempuan dan foto pre-wedding. Namun selalu terjadi mulai dari fatwa haramnya bunga bank, golput, haramnya Facebook dan lain-lain. Isu semakin heboh karena media massa mem-blow up beritanya dengan luar biasa.
Padahal, hormati saja lah… Perbedaan di negara kita itu kan sudah biasa terjadi dan selama ini apa yang tetap membuat kita tetap bersatu ialah rasa saling menghormati. Tidak perlu terlalu dipermasalahkan, diributkan dan dinilai macam-macam, yang kadang kala berbau hinaan. Toh umat Islam Indonesia itu bukan tipe muslim yang patuh fatwa, berbeda dengan karakter muslim di negara lain. Kalau tidak setuju ya silakan saja tak usah ikuti fatwanya seperti yang sudah-sudah dan biasanya terjadi, tanpa perlu mencibir segala. Yang perlu kita pahami adalah bahwa tindakan para ulama tersebut merupakan upaya mereka dalam menjaga sendi-sendi agama dan penganutnya.
Ada yang berpendapat, fatwa-fatwa yang sekarang keluar itu tidak mengikuti perkembangan zaman. Masalahnya adalah aturan agama itu kaku. Tidak boleh seorang manusia berinovasi semaunya. Perkembangan zaman yang seharusnya tetap sejalan dengan prinsip dan nilai agama, bukan sebaliknya. Di luar hal itu, soal keduniaan, manusia baru boleh berinovasi seoptimal mungkin, bahkan sampai berkompetisi. Seperti yang terlihat dari para black innovator yang mengikuti ajang Black Innovation Award. Nabi Muhammad pernah bersabda; “urusan agama serahkan padaku (hukum Al-Quran dan Hadits), sedang urusan dunia ya sakarepmu dewek (semaumu saja)”. Dalam persoalan duniawi, baru kita patut mencontoh para peserta Black Innovation Award yang memeras otak mereka agar bisa membuahkan karya mutakhir yang seiring kemajuan zaman.
Kalau agama yang mengikuti perkembangan zaman, ya nantinya bisa gawat. Jangan-jangan nanti ada fatwa halal free sex asalkan suka sama suka. Karena semakin ke depan, ternyata hubungan seks bebas semakin lumrah terjadi. Kacau toh ?
Ada lagi yang berpendapat kalau fatwa-fatwa itu banyak yang tidak masuk akal. Nah, di sini kita harus ingat bahwa tidak semua hal dalam agama dapat diterima oleh akal-logika. Inilah esensi dari keimanan yaitu kepasrahan total kita untuk menelan begitu saja doktrin-doktrin agama walau akal sering bergejolak mempertanyakan dan meragukannya. Penggunaan akal justru lebih diarahkan untuk mencari hikmah di balik penerapan doktrin tersebut. Kalau semua hal dalam agama harus bisa diterima akal, ya ndak usah beragama saja, karena banyak hal-hal prinsipil dalam agama yang justru tak bisa dibuktikan oleh akal.
Kembali ke soal kontroversi fatwa. Mari kita pegang teguh budaya saling menghormati di antara kita, baik pada sesama, lebih-lebih pada yang berbeda. Fatwa itu kan hakekatnya anjuran semata. Sifatnya tidak mengikat, hanya mencoba menjelaskan duduk perkara dari suatu masalah. Ketidaksetujuan baiknya disampaikan melalui cara dan jalan yang lebih etis. Kalau tidak bisa etis, cukup diam dan hormati saja.
Artikel ini mungkin dinilai terlalu berbau SARA. Akan tetapi sejatinya hanya curahan dari hati yang gundah. Rasa nurani berkata bahwa apa yang terjadi sekarang seharusnya tidak demikian. Jika diibaratkan bangsa ini sebagai perusahaan raksasa PT. Djarum, semestinya kita bisa serukun Djarum Black dan saudara-saudara se-Djarum-nya yang lain. Masing-masing punya perbedaan konsep namun tetap dalam kerangka satu bangunan, selangkah seirama mencapai tujuannya. Indah sekali bukan ?
No comments:
Post a Comment