"Apakah sekarang zamannya N.A.T.O alias No Action Talk Only ?".
Kamis, 28 Januari 2010. Usia pemerintahan SBY jilid II tepat 100 hari. Demonstrasi merebak di mana-mana, menyuarakan satu suara yang sama; “Kekecewaan !”. Dari sisi keamanan, Alhamdulillah, secara umum seluruh aksi berjalan dengan damai. Aksi demo semacam itu, kini sudah tak asing lagi bagi kita. Seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan Bangsa Indonesia di era sekarang yang sering disebut dengan “transisi menuju demokrasi”. Ada kecenderungan bahwa kini, hampir setiap isu selalu memunculkan gelaran unjuk rasa. Tanpa mengabaikan pihak-pihak lain penyelenggara demo, namun umumnya aksi unjuk rasa dilakukan oleh kalangan mahasiswa.
Saya pikir, semakin tingginya frekuensi aksi demo dari mahasiwa beberapa tahun belakangan ini, tetap tak bisa lepas dari tragedi Mei 1998. Waktu itu, puluhan ribu mahasiswa berhasil memakzulkan Presiden Soeharto. Pencapaian prestasi yang luar biasa, karena akhirnya (alm) Jenderal Soeharto mau lengser ke prabon setelah 32 tahun memimpin negara kita. Apa yang ditunjukkan pada Mei 12 tahun yang lalu itu adalah people power sebagai elemen dasar demokrasi dalam arti fisik (kasat mata) yang sebenarnya.
Euphoria, ya, saya berpendapat bahwa keberhasilan tersebut masih meninggalkan jejak-jejak kebahagiaannya yang meluap-luap sampai sekarang. Pengalaman sukses itu juga menimbulkan harapan bahwa aksi unjuk rasa akan berhasil untuk menjawab setiap permasalahan-permasalahan yang muncul. Oleh karenanya wajar bila aksi demo terus dipertahankan malah semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Padahal, roda waktu terus bergulir, musim telah berganti. Era people power dalam arti fisik yakni gerakan massa, unjuk rasa, telah berlalu. Ia telah mencapai klimaksnya pada Mei tahun 1998.
Sekarang ialah masanya berbuat, bertindak, do something real. Rakyat sudah jenuh dengan berita demo tak berbuah hasil sama sekali. Alih-alih mencapai suatu hasil, yang ada malah kerap kali aksi unjuk rasa berbuah kekacauan keamanan. Ujung-ujungnya, polisi juga yang disalahkan. Kasihan bapak-bapak polisi, kepalanya bocor ditimpuk batu, masih pula dicap yang negatif. Sekalinya kepala pak polisi selamat, eh nyawa orang lain yang melayang, contohnya adalah (alm) Bapak Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara.
Ini yang dikhawatirkan, yakni ketika demokrasi diartikan secara dangkal. Bebas dalam artian bebas tak beraturan; Saya mau ngomong ini kek, mau berbuat gitu kek, terserah, ini namanya Hak Asasi Manusia (HAM). Harapannya, dengan demokrasi rakyat lebih dewasa dan matang, namun yang ada malah rakyat semakin impulsif. Layaknya bocah; Kalau saya mau permen ya permennya harus ada, entah caranya seperti apa. Kalau saya ingin BBM turun harga, mau tak mau BBM harus turun, bagaimana caranya ya itu urusan anda, jangan tanya saya.
Di tingkat atas, kita sudah sama-sama muak dengan para politikus yang banyak mengumbar janji kosong sana-sini. Di level bahwa, kita bosan dengan aksi unjuk rasa yang begitu-begitu saja. Berbeda tingkat tapi keduanya sama saja; cuma bisa bicara. Alur cerita sejarah melenceng jauh. Ketika idealnya, zaman sekarang ialah zamannya orang untuk membuktikan dirinya lewat tindakan nyata. Apa yang terjadi justru sekarang menjadi zamannya banyak omong.
Fantasi ideal saya membayangkan bahwa sekarang itu orang-orang sudah seperti laiknya para peserta black innovator dalam ajang Black Innovation Award. Pada gelaran khas-nya Djarum Black ini, unek-unek tidak hanya sebatas di otak dan mulut saja. Akan tetapi dikongkritkan dalam sebuah bentuk nyata yang solutif. Ide-ide para peserta Black Innovation Award ini barang kali dinilai sepele, remeh-temeh. Namun bukan itu poin pentingnya. Yang teramat penting ialah mereka sudah mampu berkarya, betul-betul idenya itu tumpah dalam sesuatu yang real.
Kenapa zaman sekarang tidak se-ideal pikiran saya ya ? Selain mungkin karena faktor euphoria, harus diakui bahwa ngomong itu tindakan yang paling mudah. Berbuat itu sulit karena membutuhkan tenaga-pikiran-waktu dan kadang kala juga butuh biaya. Belum lagi memperhitungkan faktor kegagalannya, sehingga dilakukan berulang-ulang baru berhasil. Wah pokoknya rumit deh !
Soal ngomong dan tindakan ini saya jadi ingat lirik lagunya grup Band Godbless berikut :
Sebaiknya jangan cuma pintar berpikir
Tanpa pernah beraksi
Apalagi ngritik tanpa solusi
No action talk only
Yo ayo sebaiknya kita mulai beraksi
Dari pada ngritik tanpa solusi
(N.A.T.O by GodBless)
Tuhan menciptakan satu mulut, dua tangan lengkap dengan 10 jarinya. Arti filosofisnya, bicara itu cukup satu kali, adapun bertindak harus sebanyak-banyaknya. Ayo kawan-kawan, saudara-saudara sekalian, mari kita mulai banyak bertindak sedari sekarang !
No comments:
Post a Comment