Friday, April 9, 2010

PANGGILAN


             Dua, dua, dua…
            Dua kali kau ingkari

            Tejo langsung terperanjat. Merangkak cepat ia meraih sebuah telepon seluler yang nongkrong di atas monitor komputer. Dilihat layar, nomornya ia tak kenal, segera ia tekan tombol “yes” dan berhentilah Mansyur S berdendang.

             “Halo ?”, sapanya.
            “Jo, aku tak kuliah hari ini, kau kuliah kan ? Biasalah, aku titip absen”, ujar suara di telepon. Dengan logat Bataknya yang kental itu, Tejo mafhum benar siapa yang telepon.
            “Endak, aku juga endak kuliah, kau hubungi saja si Yusuf”, jawab Tejo. Ada kekecewaan di dalam hatinya.
            “Ah kau ini, ya sudahlah, aku kontak kawan yang lain, ah payah kau Jo !”
            “Kamu ganti nomor ? Kok beda ? Kukira siapa yang telepon, rupanya kamu”
            “Tak pentinglah itu, ya sudah, habis nanti pulsaku”, kemudian senyap dan selesailah pembicaraan.
            Tejo merangkak kembali ke atas kasur. Di dekapnya telepon genggam di dada, biar ia tak blingsatan lagi semacam barusan. Tangan kiri dilipat, dijadikan bantalan kepala. Dalam hati ia berharap-harap agar yang telepon berikutnya ialah pihak yang ditunggu-tunggu. Jam menunjukkan pukul sepuluh menjelang siang.
            “Ck ck ck… Tunggu telepon kekasih nampaknya, sampai didekap-dekap begitu”, tiba-tiba terdengar suara berwarna daerah Ambon.
            “Oh bukan, lebih penting dari itu”, balas Tejo pada si orang yang sekarang sedang berdiri di muka pintu.
            “Lebih penting ? Mmm… pasti bapak atau ibunya kekasihmu, kau bikin bunting kali ya pacarmu itu dan sekarang orang tuanya minta kau tanggung jawab ?”, tanya si Ambon diakhiri tawa menggoda.
            “Kerja Bang ?”, seakan tak minat pada guyon Bang Ambon, Tejo malah balik bertanya.
            “Ya, sudah telat nih. Kalau begitu aku pergi dulu ya !”, Bang Ambon pamit dan menghilang dari muka pintu.
            Tejo masih memandang ke luar pintu. Bang Ambon yang pergi kerja mengingatkan Tejo akan sesuatu. Sebetulnya ia punya banyak agenda untuk dikerjakan hari ini. Namun demi menunggu panggilan telepon, Tejo putuskan untuk berdiam diri saja di kamar kos seharian. Konyol memang. Tidak perlu seberlebihan itu. Tetapi tiap orang kan berbeda-beda. Tejo tentu punya alasan sendiri kenapa ia berbuat demikian.
            Matahari terus bergerak menuju titik pertengahan. Sinarnya jauh menerobos ke dalam kamar lewat pintu yang sedari pagi terbuka lebar. Lambat-lambat suasana kamar menghangat. Tejo bangkit sejenak dan menutup pintu kamarnya.
           
            Dua, dua, dua…
            Dua kali khianati

            Telepon genggam kembali mengalunkan suara merdu Mansyur S. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Tejo bertindak setenang mungkin. Pelan-pelan ia ambil telepon itu dan dilihat layarnya. Di sana tercantum nama; Wahyu. Agak ragu Tejo mengangkatnya. Wahyu, si orang Sunda ini, suka bercerita panjang lebar. Tak membosankan, memang tak membosankan. Sebab orangnya pandai berkelakar dan inilah yang membuat obrolan jadi bertele-tele. Tejo takut kalau waktu ia lama mengobrol dengan Wahyu, pada saat yang sama, orang yang ia tunggu menelepon juga. Panggilan yang belakangan tentu tak akan masuk dan bisa jadi orang itu menganggap bahwa Tejo tidak bisa dihubungi. Gawat, tentu saja itu gawat bagi Tejo. Oleh karenanya dengan terpaksa tombol “No” yang Tejo tekan. Beberapa kali Mansyur S menyahut-nyahut lagi, tapi semua panggilan Wahyu itu Tejo tolak. Sampai akhirnya diam sudah sang telepon genggam. Ada sedikit rasa tak enak dalam hati.
            Pukul dua siang. Rasa kantuk menyergap. Tejo berjalan bolak-balik di dalam kamar, mengusir rasa kantuk. Sambil jalan, sambil membayangkan segepok uang ada di tangannya.
            Seminggu yang lalu, Tejo bekerja keras di depan komputer. Berjam-jam ia memeras otak demi menghasilkan cerita pendek delapan lembar. Prosesnya begitu mendetail. Tejo sampai membaca tiga kali balikan setiap paragrafnya sebelum menulis paragraf baru. Begitu rampung, satu-satu tetangga kosannya yang ada tujuh diundang masuk kamar. Disuruhnya mereka membaca cerpen itu dan menilainya. Hasil akhir, ada empat belas jempol untuk Tejo dan sedikit kritik yang sama sekali tidak didengar. Melambunglah asa di dalam dada, dua ratus prosen ia yakin kalau sekarang pihak majalah akan memuat cerpen kirimannya.
            Cerpen berhasil dikirim lewat surat elektronik. Rupa-rupanya pihak majalah sedang adakan sayembara. Hadiah yang ditawarkan lumayan menggiurkan, uang tunai sekian juta untuk satu orang pemenang saja. Tejo mengirim pada batas akhir pendaftaran dan pengiriman cerpen. Cerita yang menang akan dimuat pada edisi majalah berikutnya, dua hari lagi. Pemenang akan dikonfirmasi dulu hari ini lewat hubungan telepon.
            Entahlah apa saktinya empat belas jempol tetangga kosan itu hingga Tejo begitu yakin ia akan menang. Sampai-sampai ia tak mau berkegiatan demi menunggu konfirmasi telepon. Konyol, ya memang konyol. Tapi Tejo ya Tejo. Tiap orang kan berbeda-beda.
            “Tejo, Tejo, Tejo !”, seseorang memanggil dari luar. Membuyarkan pikiran Tejo. Segera Tejo keluar kamar dan mendatangi suara itu.
            “Kita kurang pemain, ayo ikut main bola, yang lain sudah menunggu di lapang !”, kata orang itu dari atas motornya yang masih menderu-deru.
            “Tidak, aku tidak bisa ikut, cari yang lain”, balas Tejo.
            “Justru yang lain tidak bisa, makanya aku ke sini untuk jemput kau”, kata orang itu lagi, sengaja agak lantang karena mulutnya terhalang helm.
            “Tidak bisa”, jawab Tejo singkat.
            “Ayolah Jo, bisa malu kelas kita kalau tidak sampai main gara-gara kurang pemain”, bujuknya.
            “Maaf, tidak bisa, maaf”, Tejo bersikeras.
            Orang di atas motor tidak berkata-kata lagi. Ia mengambil telepon genggam dari saku celana, memencet tombolnya dan menyelipkannya ke sela samping helm. Kurang terdengar jelas, namun sepertinya ia berbicara pada seseorang tentang ketidakbisaan Tejo.
            “Ya kalau begitu pamit dulu Jo, terpaksa kami pinjam pemain orang, kalau ketahuan bukan dari kelas kita, bisa ditendang kita dari turnamen”, ucap orang itu yang kemudian langsung tancap gas.
            Tejo masih berdiri di balik pagar, menyaksikan motor itu sampai lenyap dari pandangan. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati. Si kapten kesebelasan kelas itu pasti sebenarnya kesal, begitu pikir Tejo. Namun Tejo tidak terlalu ambil pusing, toh ia memang sedari awal menolak namanya masuk ke dalam tim. Hanya karena rasa solidaritaslah akhirnya Tejo sudi dicantumkan namanya sebagai pemain cadangan. Benar-benar cadangan, sehingga hanya dibutuhkan saat pemain cadangan lain tak bisa main, seperti yang barusan ini terjadi.
            Tejo kembali ke dalam kamar, kepalanya menggeleng beberapa kali, seakan mengakatan; “Ah ada-ada saja”. Langsung ia raih telepon genggam, siapa tahu tadi ada yang telepon waktu Tejo  di luar kamar. Nyatanya, nihil. Baru saja, telepon itu Tejo simpan. Tiba-tiba Mansyur berdendang.

            Sadarkah engkau kasih
            Mengapa engkau pergi
            Dan kini engkau menyakiti
           

Nomornya tak Tejo kenal namun ia merasa bahwa nomor ini pernah menghubungi. Dan benar saja perasaan Tejo tersebut.
            “Betul kau menolak Jo ? Ada apa ? Kami butuh bantuanmu !”, suara Batak itu lagi. Bedanya, kali ini ada kemarahan di dalamnya.
            “Tidak bisa, betul-betul tidak bisa, maaf”, kata Tejo.
            “Ah sial juga kau rupanya, mampuslah tim kita hari ini !”, bentak si Batak dan telepon diputus begitu saja. 
            Tejo menghela napas. Tergoyah hatinya untuk segera menyusul ke lapang. Jaraknya tidak terlalu jauh dan ada waktu setengah jam lagi sebelum peluit pertandingan berbunyi. Tejo pasti tidak akan telat, tidak akan telat sama sekali. Akan tetapi… Tejo urungkan niatnya itu. “Biar nanti kutraktir mereka makan-makan, maka redamlah amarah mereka, ditraktir dengan uang hadiah tentunya”, kata Tejo dalam hati.
            Seperti tadi lagi, Tejo menunggui telepon berjenak-jenak, jam sudah hampir pukul empat. Mungkin karena kadar asam di perut terlalu tinggi. Mendadak perut Tejo melilit. Maklum, sejak tadi pagi ia belum makan apapun. Hanya dua gelas kopi yang meluncur masuk lambung. Itu saja. Ditahan-tahan malah makin menjadi. Perasaan mengatakan bahwa sakit ini tak bisa dibendung lebih lama lagi. Serrrr… Tejo kelepasan. Reflek, barang kali reflek. Telepon genggam dengan spontan langsung saja dilempar dan Tejo terbirit-birit menuju kamar mandi yang ada di luar kamar.   

* * *

            “Teleponnya tidak diangkat-angkat Pak”
            “Coba hubungi lagi”
            “Ini sudah yang keempat kalinya”
            “Mmmm… Bagaimana ya, kita bisa saja memuatnya langsung tapi… tidak… kita tetap harus konfirmasi dulu, siapa tahu kejadiannya sama seperti yang lalu, penulis yang menang dan dimuat karyanya, menggugat kita lantaran kita tidak konfirmasi dulu. Usut punya usut ternyata dia malu lantaran cerpen yang ia buat ternyata hasil jiplak”
            “Emang ada Pak orang seperti itu ?”
            “Kau kira aku bohong ? Kalau orang jujur ya seperti itulah kelakuannya !”
            “Jadi yang ini bagaimana ?”
            “Batalkan, hubungi saja kandidat kedua. Sudah jam empat lebih nih, harusnya kita sudah pulang, dasar juri-juri sialan ! Cepat telepon biar lekas tuntas urusan kita !”
            “Sedang saya hubungi Pak”
            “Bisa ?”
            “(Mengangguk)... Halo selamat sore……..”

* * *

Berdosakah diriku atau salah padamu
            Mungkin juga kau jemu
            Rayu-rayu cinta palsu             
* End Call *

            Di kamar mandi, Tejo membuang napas lega. Suara air yang mengalir deras dari kran menutupi harapannya. Asap rokok yang terbang keluar lewat sela-sela pintu membawa pergi takdirnya.

1 comment:

  1. Berkunjung menjalin relasi dan mencari ilmu yang bermanfaat. Sukses yach ^_^ Salam dari teamronggolawe.com

    ReplyDelete