Saturday, January 8, 2011

DZIKIR JALAN, BENCANA DATANG


Sebagai seorang muslim, kita wajib memercayai bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan kita, semuanya berlangsung atas kehendak Allah. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut untuk mampu berpikir secara vertikal-horizontal. Pengamatan, kekaguman, penelitian atau perenungan kita atas fenomena-fenomena di alam semesta (horizontal), semestinya membimbing kita untuk semakin taqwa kepada-Nya (vertikal). Demikian juga, keyakinan kita kepada Allah beserta segala perangkat ajaran-Nya (vertikal), harus memotivasi kita untuk semakin tertarik menguak tabir peristiwa-peristiwa dalam kehidupan dan tentu saja, semakin meningkatkan kualitas amaliyah kita (horizontal). Melalui proses berpikir inilah, seorang muslim akan menemukan mawi’dzah (pelajaran) dan tadzkirah (peringatan) atas segala hal yang dialaminya. Hal ini tercantum dalam surat Ali-Imran ayat 190-194. Di ayat tersebut dijelaskan tentang karakteristik orang bertipe ulul albab.
Di negeri kita, saat ini, telah terjadi sebuah paradoks. Di satu sisi, Allah tak henti-hentinya menurunkan berbagai bencana ke bumi Indonesia. Ada tsunami Aceh, lumpur Lapindo, gempa Yogya, longsor Wasior, letusan Merapi dan yang lainnya. Sedangkan di sisi lain, perilaku keberagamaan masyarakat sepertinya meningkat. Kerudung sekarang telah menjadi trend busana, film-film bernuansa Islami laris manis, istighatsah rajin dilakukan bahkan untuk kepentingan sepele semacam sepak bola dan tak ketinggalan, ritual dzikir berjamaah marak diselenggarakan.
 Menarik bila kita mencermati hal yang terakhir disebut, yakni soal dzikir berjamaah. Di awal-awal kemunculannya ke publik, praktek dzikir ini sempat menjadi perbincangan yang panas antara kubu pelakon dan kubu kontra. Namun dari waktu ke waktu intensitasnya kian melemah dan kini gelaran dzikir berjamaah sudah semakin umum.
Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa ketika seorang mayit dishalatkan oleh 40 orang, maka “tiket” surga bagi si mayitpun akan jadi kenyataan. Cukup dengan 40 orang saja. Akan tetapi, mengapa ratusan bahkan sampai ribuan orang merintih karena takut pada Allah di dalam suatu masjid, meminta dijauhkan bala derita, dipimpin ulama-ulama terpercaya pula. Kenyataannya negeri kita terus menerus dirundung nestapa. Hampir setiap momen kita dzikir-berjamaahkan, dari bencana alam sampai tahun baru. Namun musibah demi musibah terus berjatuhan. Dzikir jalan, bencana datang. Apakah Allah tidak mendengar dzikir-dzikir kita ? atau Mungkinkah bencana itu datang justru karena dzikir kita ? Dalam merenungi permasalahan ini, kita memerlukan pola berpikir mendalam ala para ulul albab.
Kita tentunya setuju bahwa dzikir merupakan sebuah perbuatan baik, termasuk kategori amalan shaalihan. Pertanyaannya adalah mungkinkah amal shaleh yang kita lakukan justru berbuah adzab ? Bila kita merujuk pada surat Faathir ayar 37, jawabannya; sangat mungkin ! Ayat ini mengisahkan para penghuni neraka kelak akan menjerit kepada Allah, meminta dikeluarkan dari sana, padahal waktu di dunia mereka gemar ber-amal saleh.
Tentu saja, amal saleh yang mereka lakukan ialah sebatas “saleh-salehan.” Artinya, dianggap saleh padahal salah. Di sinilah kita mesti berhati-hati dalam menerjemahkan makna saleh. Amal saleh sejatinya bukan hanya berarti amal baik, bagus, benar. Perlu ditambahkan sebaris kalimat lagi, yakni; “menurut kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.” Sebab, apa yang dipandang manusia baik belum tentu benar menurut aturan agama. Kita harus ingat akan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 147 bahwa ukuran benar-salah, baik-buruk, saleh-salah itu ialah menurut aturan yang Allah tetapkan. Sebagai sebuah kumpulan tata-aturan, agama itu bersifat kaku. Segala amal-amalan yang kita niatkan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya, mesti berjalan sesuai “juklak-juknis” agama, yaitu yang tercantum dalam Al-Quran dan hadits.
Sampai titik sini, patut kita merenungkan bagaimana posisi praktek dzikir berjamaah. Apakah dzikir berjamaah adalah sebuah upaya untuk ta’aruf dan taqarrub atau sebaliknya, praktek ini membuat Allah murka ?
Sebagaimana etika penelitian di dunia akademik, dalam hal ini yang kita perlukan adalah kemampuan untuk menilainya secara objektif dan menerima hasil secara fair. Objektif yang dimaksud, tentu saja, dalam logika agama itu berarti berdasar Quran-sunnah dan fair di sini bermakna berlapang dada jika hasil penelusuran ternyata tidak sesuai harapan kita bahkan pahit yakni ternyata dzikir berjamaah itu salah.
Kebalikannya, sikap yang mesti dijauhkan ialah berpikir subjektif dan bertingkah takabur. Dalam sikap subjektif, pola pikir yang dipakai ialah berpikir dangkal ala “apa salahnya” (contoh : “Apa salahnya dzikir berjamaah, ini kan tujuannya baik ?”) dan “dari pada-mendingan” (contoh : “Dari pada tahun baru-an hura-hura, mendingan dzikir berjamaah di masjid). Kembali ke surat Faathir ayat 37, sikap subjektif inilah yang membiaskan makna amal saleh dan membuat amal saleh tersebut justru malah mengundang adzab. Adapun takabur merupakan tindakan tak mau berubah, jumud, padahal nyata-nyata kebenaran telah ditampakkan di depan mata. 
Dzikir berjamaah hanya salah satu persoalan. Diangkat dalam tulisan ini karena gelarannya makin populer dan tujuan pengadaannya merambah ke segala aspek persoalan. Tentu masih banyak persoalan ibadah umat lainnya yang mengajak kita untuk merenunginya. Dzikir berjamaah sekadar perwakilan dari modus ritual agama lainnya tersebut yang kini banyak digemari masyarakat. Praktek-praktek keagamaan yang meng-umum dan menggejala di satu sisi, tapi di lain pihak tanah air kita terus digoncang bencana. Mengusik pikiran setiap muslim yang waras; “Bukankah bala bencana hanya diturunkan Allah pada kaum-kaum dan negeri-negeri yang mendustakan-Nya ?”
            Ketika perkara ini diangkat, tak sedikit kalangan yang terburu sinis, melemparkan pandangan miring; “Mengapa perbuatan yang itikadnya baik selalu diributkan ? Mengapa ingin jadi saleh saja susah ?”. Memang, normalnya seorang muslim itu adalah selalu berusaha dan berlomba untuk mewujudkan diri menjadi muslim yang sebaik-baiknya, menjadi insan bertaqwa. Akan tetapi hal itu tidak berarti melahap segala amal-amalan tanpa bersikap kritis dan skeptis; aneka shalat dilaksanakan, macam-macam shaum ditunaikan dan rupa-rupa ritual lainnya. Kehati-hatian mesti dijaga, itulah sejatinya sikap seorang muttaqin. Logika yang dikedepankan ialah mempertanyakan ‘apa dalilnya ?’. Harus ada ketakutan bahwa amal yang kita lakukan, alih-alih menjadi pahala dan penolak bala, melainkan menjadi dosa dan mengundang bencana. Sikap hidup orang bertaqwa adalah lebih baik tidak mengamalkan suatu perbuatan yang ia belum paham hukumnya, dari pada ambil resiko mengamalkannya tapi berujung dosa. Sebuah ketakutan yang efeknya mendorong seseorang untuk mencari tahu dan memahami agama lebih dalam. Dalam sebuah hadits dari Turmudzi dan Ibnu Majah bahkan diungkapkan; “Seseorang tidak akan sampai derajat taqwa hingga ia meninggalkan apa-apa yang sebenarnya tidak berdosa karena khawatir terjerumus dosa.” Mari kita renungkan bersama.

3 comments:

  1. Kunjungan di siang hari untuk memperkenalkan... gaya trendy celbritis jaman sekarang...
    berbagi link untuk yang mau dan bertukar.
    blog ini mempunyai informasi yang cukup berbobot...saluuuut sob lanjutkan jangan berhenti berkarya anda memang sangat luar biasaaaaa

    ReplyDelete
  2. terimakasih atas renungannya,,,,
    dan saya setuju sekali dengan kalimat 'lebih baik tidak mengamalkan suatu perbuatan yang ia belum paham hukumnya, dari pada ambil resiko mengamalkannya tapi berujung dosa. '

    ReplyDelete
  3. terima kasih, sudah berkunjung dan berkomentar...

    ReplyDelete